"Yang, ayolah. Ini kan udah masuk bulan ke sembilan. Kapan kita belanja keperluan anak-anak kalau kamu masih kekeuh nggak pengen tahu apa jenis kelaminnya? Memangnya beli baju online itu bisa dipegang dan dilihat bahannya kayak gimana? Duh, Gustiii... Ayo dong, Sayanggg... Kita USG lagi yuk? Atau mas telepon dokter Padma aja buat nanya-nanya boleh kan?" Repet Torra di meja makan, sebegitu panjang nyaris seperti rel kereta api.
Sejak tadi, obrolan tentang jenis kelamin itu memang telah terjadi dan sudah pula mendapatkan respon dari Inna yang ingin berbelanja online dengan memilih perlengkapan bayi berwarna natural, tetapi Torra seakan tidak menerimanya.
Sebenarnya Inna masih enggan untuk menjawab, tapi urung, setelah ia melihat bagaimana wajah ketus Torra menatap ke arahnya, "Kamu pikir aku ini sehat jadi bisa wara-wiri ke manapun sesuka hati? Mikir dong, Mas! Masa iya, sih, aku beliin pakaian anak-anak yang bahannya nggak bagus apa gimana? Kan bisa dilihat mereknya apa? Testimoni yang udah beli kayak apa? Warna-warna natural buat bayi laki-laki atau perempuan ada nggak di situ? Asal kamu kuat bayar aja kan gampang. Gitu aja kok repot! Dasar cerewet!"
"Lho, Yang! Katanya tadi mau makan Coto Makassar. Belum habis ini nih."
"Udah kenyang!" Inna bahkan secepatnya menggerakkan tombol yang ada di pegangan kursi roda, memutar dan meluruskannya kembali sesuai dengan arah jalan menuju ke kamar tidur mereka.
"Nanti jangan dikunci kamarnya ya, Sayang?"
"Bodo!" Membiarkan Torra merasa bersalah karena menurut Inna, suami tampannya itu terlalu memaksakan diri.
Dengan kepayahan Inna turun dari kursi roda dan naik ke tempat tidur, berusaha mencari posisi enak sebab selama di trimester ketiga, acap kali ia menjadi Insomnia akibat pergerakan si kembar di dalam perutnya.
Torra adalah obat tidur mujarab untuk Inna, bahkan ibu hamil itu akan lekas terlelap hanya dengan mencium aroma tubuhnya saja.
"Dasar egois! Udah kayak si Joshua di novel My Sexy Wife aja dia! Edan!" Tetapi malam ini, entah apa yang harus Inna lakukan pada dirinya, sebab To mrra terasa begitu menyebalkan untuknya.
Mengambil ponsel dan berselancar mencari bacaan baru agar dirinya bisa tidur tanpa harus menempel di tubuh Torra, ternyata hal itu tidak mampu mengatasi keinginan Inna, "Aduhhh... Ini betis kok bisa keras banget, sih? Nggak enak rasanya! Tidur di kamar ib--"
Ceklek
"Lho, Yang? Mau ke mana lagi?"
Inna pun berniat untuk naik kembali ke atas kursi roda dan pergi ke kamar Indri, "Mau ke kamar ibu!"
"Udah mau Mahgrib, Sayang. Kita sholat dulu yuk?"
"Nggak mau, Masss... Aku sholatnya sama ibu aja! Betisku sakit jadi biar sekalian dipijitin."
"Kenapa harus nyusahin ibu, sih, Yang? Biar mas aja yang pijitin betisnya."
"Ihhh...! Aku maunya ibu yang mijit, bukan kamu. Lagian laki-laki kata Ustad Yusuf kan laki-laki sebaiknya sholat di Masjid biar lebih banyak pahalanya. Kenapa malah mau sholat di rumah?" Tetapi Torra melarang Inna untuk pergi dari sana, hingga perdebatan pun harus terjadi sekali lagi dan kekalahan telak harus ia alami.
Inna dengan wajah yang merah padam naik ke atas kursi roda sembari membawa guling kesukaannya, dan tiga puluh detik, wanita itu sudah tidak ada lagi di pandangan mata.
"Sabar, Tor. Sabarrr... Dikit lagi anakmu lahirrr..." gumam Torra mengelus dadanya dengan telapak tangan. Malam ini ia membiarkan Inna untuk memilih kesenangan sendiri, sebab itu adalah hal baik untuk beberapa tugas yang masih belum ia selesaikan di kantor tadi.
Rengekan Inna yang tidak bisa menunggu untuk menyantap Coto Makassar adalah penyebab mengapa Torra tidak menyelesaikan pekerjaan tersebut di kantornya, tetapi bukan membolos, melainkan pulang di jam lima sore tanpa lembur seperti beberapa stafnya yang lain.
Torra bergegas masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya, berwudhu dan berpakaian untuk terus melaju ke Masjid terdekat, menjalankan tiga rakaat seusai dengan perintah-NYA.
Sementara di tempat lain yang merupakan kamar tidur Indri, ibu kandung Inna itu keberatan melakukan apa yang putrinya inginnya, sebab memang saat ini bukan waktunya untuk hal demikian, "Aduh, Ndukkk... Ibu mau mandi terus lanjut Mahgrib ini. Kok malah disuruh mijet, sih? Nanti aja habis makan malam ya?"
Inna pun bersikeras agar Indri mau menolongnya, "Tapi sakitnya sekarang, Bu. Kayak kejang gitu betisku."
"Minta tolong mas bojo ae kan beres, Nduk. Tadi bukannya kalian lagi makan Coto?" Berusaha untuk bisa lolos menuju ke dalam kamar mandi, Indri kembali berbicara dan juga membujuk.
"Nggak mau ah! Si mas resek!" Tetapi Inna malah memasang wajah murungnya, menceritakan sepotong bahasa dan membuat Indri menjadi penasaran.
Tentu saja Indri mencoba untuk meminta penjelasan dengan caranya sendiri, "Resek apa, sih? Nggak boleh menunda-nunda sholat itu, Nduk. Ajaklah Mahgrib berjamaah dulu terus lanjut Isya, baru deh acara pijet-pijetan di mulai. Jadi biar nggak ada tanggungan lagi, kalau ternyata nanti yang dipijet bukan cuma betis, tapi itumu juga. Iya kan?"
"Ibukkk... Mesum deh! Katanya mau sholat Mahgrib kok malah mikir gituan?" Indri berusaha menciptakan candaan kecil agar Inna kembali tersenyum, dan ia berhasil meskipun tidak banyak.
Rencana buru-buru membersihkan badan pun harus tertunda ketika Indri mulai merasa nyaman bercerita, "Lha? Ibu salahnya di mana toh? Memangnya sepasang laki-laki dan perempuan yang sudah halal berdua di kamar itu terus main pijet-pijetan itu salah? Wong ibu sama Almarhum bapak dulu juga begitu kok. Kalau nggak ya mana bisa kamu sama mas Indramu ada. Iya kan?"
"Iya, tapi aku lagi kesel sama mas Torra, Bu. Dia ngotot ngajak aku USG ke dokter Padma biar tahu jenis kelamin anak-anak, supaya bisa sekalian belanja baju bayi, padahal kan udah kubilang itu buat surprise aja." Dan memang setelahnya, rasa penasaran Indri terbayar oleh pengakuan Inna tentang keinginan Torra.
Indri menimbang-nimbang apa yang harus ia suarakan agar Inna menyetujui permintaa Torra, sebab dirinya pun ingin mengetahui jenis kelamin kedua cucunya, "Oalah. Betul apa kata nak Torra itu, Nduk. Memangnya salah ya kalau tahu jenis kelaminnya duluan? Kan biar bisa beli baju-baju bayi yang sesuai. Misalnya, anakmu cewek, maka yang dicari pakaian warna pink-pink gitu. Nah, kalau ternyata anakmu cowok, tinggal disesuaikan juga."
"Kan ada warna putih atau warna cream natural gitu yang cocok dipakai sama anak cewek atau cowok, Bu. Warna hitam juga bisa masuk sama jenis kelamin apapun, dan belinya pun mudah tinggan COD di Tokopedia. Pas datang, bayar. Beres." Namun, Inna tetaplah Inna, keras kepala dan sukar untuk mengalah dengan hal yang menarik di matanya.
Itulah mengapa Indri pun melakukan sedikit pengancaman di ujung kalimatnya, "Ckckck...! Ketagihan belanja online kamu ini. Mana seru, Nduk. Nak Torra pasti kan pengen ngerasain apa yang sering kali dibuat sama para suami pas istrinya mau lahiran, Sayang. Itulah kenapa orang-orang sering menyebutkan bahasa suami siaga, siap antar jaga demi kalian bertiga. Bertanggung jawab, Cah ayu. Memangnya tiap tahun kamu bakal lahiran makanya belanja keperluan bayi bisa dilakukan lain kali? Mbok ya sekali-sekali kamu nurut gitu sama Nak Torra, Nduk. Nanti diambil orang lagi baru tahu kamu."
"Ibuuu...! Doain jelek terus deh. Males!" Sebab Indri sangat tahu, bahwa hal tersebut akan berpengaruh di dalam diri putri semata wayangnya.
"Lho, Nduk! Nggak jadi pijet toh?" Terbukti, kini Inna sudah menggerakkan kursi rodanya menuju ke pintu kamar.
"Nggak jadi! Ibu sama aja kayak mas Torra, resek berat!"
Tak mau berhenti mengingatkan, Indri berusaha memastikan Inna untuk menuruti kehendak Torra, "Ajak dia jalan-jalan ke Mall nyari pakaian bayi, Nduk. Kali aja kamu nggak bisa hamil lagi nanti."
"Ibukkk... Jahat ih!"
"Umur, ajal, maut, kelahiran, rezeki, kesialan dan segala-galanya itu rahasia Allah. Kita manusia ini hanya bisa berusaha dan menyerahkan segalanya pada-NYA. Buruan sholat Maghrib dulu gih. Udah adzan, Nduk. Jangan lupaaa...!" Dan di ujung senja yang berarak menuju ke tempat peraduan, kalimat Indri ternyata mampu membekas, mengganggu dan juga mempengaruhi isi kepala Inna.
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...