"Lho, Yang? Kok ada di sini? Katanya tadi mau pijet di kamar ibu?" Torra bertanya saat keluar dari kamar mandi, menatap tidak percaya dengan apa yang ada di depan mata, sekaligus mengulum senyum bahagianya tersembunyi.
Inna tak mau menggubris pertanyaan Torra, berpura-pura sibuk membenarkan sajadah di hadapannya, tak lupa mukena di tubuhnya pun ikut menjadi sasaran.
Dua sajadah yang sudah berada di sebelah kanan tempat tidur mereka, seharusnya adalah bentuk dari permohonan maaf Inna, "Mau sholat Maghrib bareng nih, Yang? Katanya tadi mas harus--"
"--Udah iqomah tadi kudengar, Mas. Mau Maghrib bareng apa nggak nih? Aku dulu--"
"--Egh, jangan-jangan. Barengan dong, Yang. Kan aku imamnya." Namun, Torra berpura-pura bodoh, bertanya dan termakan umpannya sendiri saat Inna nyaris menaikan tangan, mengumandangkan bacaan Takbiratul Ihram di awal sholatnya.
Torra bergegas meraih sarung Samarinda yang biasa ia kenakan dalam beberapa hari belakangan ini dan memasukkan kedua kakinya, mengenakannya di pinggang lalu memakai kopiah.
Langkah Torra pun melebar menuju ke depan Inna, menarik napasnya dalam-dalam dan keluarlah lafadz iqomah dengan suara sedang, lalu terdengar di kedua telinga Inna hingga membuat hatinya sedikit bergetar.
Pikiran wanita itu malayang jauh ke depan, sampai-sampai di sepanjang tiga rakaat terjadi, hanya ungkapan syukur yang ia panjatkan.
Teringat betapa alotnya ketika mereka meminta restu pada kedua orang tua Torra, menikah diam-diam dengan menggunakan wali nikah akibat mendiang ayah Inna tidak akan datang jika izin tidak diberikan oleh pihak besannya dan segala-galanya tentang hati hingga takdir bahagia.
Alhasil ketika Torra menyodorkan tangan, Inna pun menyambutnya dengan derai air mata, "Lho, Yang? Kenapa? Perutnya udah sakit?"
"Ma..af, Masss... Ayo... Ayo kita pergi USG sekarang. Hiks..." Merobohkan dinding kokoh yang dibangun sejak empat bulan lalu, saat jenis kelamin bayi-bayi mereka sudah dapat terdeteksi.
Mengira Inna terpaksa melakukannya, Torra menolak secara halus ajakan tersebut, "Sayanggg... Mas nggak keberatan kok kalau kamu nggak mau, Yang. Nggak usah dibahas lagi ya?"
"Nggak mau. Aku mau nyenengin kamu sama ibu. Ayo cepetan ganti baju, Mas. Aku udah SMS dokter Padma tadi pas kamu mandi. Dia bilang bakalan nungguin kita." Tetapi Inna memiliki cara yang lebih jitu, dan dia adalah juara bertahan dalam urusan merengek ataupun memaksa.
"Beneran udah bikin janji, Yang?" Menyimpan perasaan bahagia, tapi sengaja ditutupi, Torra bertanya untuk menegaskan pendengaran.
"Hooh. Udah, Mas. Ayo gendong aku ke tempat tidur dulu sebelum ganti baju." Senyuman manis pun menghiasi bibir Torra tanpa rekayasa, dan itu terjadi saat ia mulai menggendong Inna, membawanya ke atas tempat tidur.
Mantra pun terlontar dari bibir Torra untuk meluapkan rasa yang membuncah, "Makasih, Sayang. Aku sangat mencintaimu. Aku janji-- Hemphhh...! Yang--"
"--Ssttt... Akulah yang lebih mencintaimu, Mas."
"Iya, tapi kita-- Hemphhh...!" Tetapi Inna menajamkan aksi Torra menjadi kian menikuk, melumat bibir tebal suaminya lebih dulu hingga berkali-kali tanpa ampun.
"Oughhh...!" Maka itu, jangan salahkan Torra jika kini telapak tangannya sudah berada di atas gundukan daging di dada Inna, sebab bukan dirinya yang melemparkan umpan.
Rencana bertandang ke tempat praktek dokter Padma pun harus terjeda untuk beberapa saat ke depan menurut Torra, "Nduk? Katanya tadi minta dipijitin? Ini ibu udah bawakan minyak kelapa anget pakai bawang bakar sekalian, Nak."
Tok tok tok
"Shit!"
"Suamiku yang ganteng, sabar ya? Orang sabar pantatnya lebarrr... Hahaha..." Namun, semua rencana di isi kepala gagal terlaksana, sebab suara Indri lebih dulu terdengar di balik pintu.
Mereka bahkan belum menyalurkan kenikmatan satu sama lain, "Ck! Awas ya kamu, Yang. Nanti malam pas kita tidur, bakal aku gigit itumu."
"Ih, enak aja! Putus dong. Hahaha..." Itulah alasan mengapa Torra benar-benar merasa kesal, tetapi ia tak tahu harus berbuat apa, selain bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu kamar.
"Lho, Nak Torra? Ibu kira sholat Maghrib di Masjid tadi," ujar Indri sedikit terkejut, melihat menantu kesayangannya muncul dari balik pintu kamar.
Sedangkan yang Torra lakukan hanya tersenyum kikuk sembari menggaruk kepalanya, menjawab pertanyaan ibu mertuanya sesopan mungkin, "Nggak jadi, Bu. Kami mau ke tempat prakteknya dokter Padma, jadi tadi ba'dah maghrib di sini bareng Inna."
Basa basi kecil pun terjadi di antara mereka setelah Indri berhasil melebarkan senyum dan mengerlingkan sebelah matanya ke arah sang putri, "Lho. Beneran nih?"
"Iya, Bu. Mau USG jenis kelaminnya anak-anak. Biar bisa sekalian beli perlengkapan bayi yang sesuai, tapi mungkin besok kali belanjanya. Iya kan, Yang?"
"Iya, Bu. Udah simpan aja dulu minyaknya. Nanti malam aja habis dari dokter baru betisnya Inna dipijetin. Boleh kan, Bu?"
"Oh, ya boleh dong. Ngomong-ngomong, ibu nggak diajak jalan nih? Cuma berdua aja?"
"Ibu nggak usah ikut. Nanti mas Torra nggak bisa cium Inna lagi kayak barus--"
"--Yang!"
"Oalahhh... Mana ibu tahu, Nduk. Yo wes lanjutkan. Ibu tak simpen minyak e dulu. Hahaha..." Dan ujung dari pembicaraan tersebut adalah ejekan demi ejekan harus diterima Torra secara langsung maupun tidak langsung, akibat kejadian panas yang gagal terjadi beberapa saat lalu.
Inna begitu menikmati perbuatan nakalnya pada Torra, sementara Indri terkekeh geli setelah berbalik, akibat wajah menantunya yang sudah memerah.
Puas dengan aksi tersebut, Inna pun menyusul Torra untuk berganti pakaian dan malam itu ia memilih untuk mengenakan gamis batik yang dibelinya via online.
Serupa tapi tak sama, Torra ternyata memilih jenis pakaian yang tak jauh berbeda dengan Inna, "Udah, Yang? Aku juga pakai kemeja batik biar kembaran."
"Alamakkk... Ganteng banget, sih? Suaminya siapa, hm?" Menghadirkan kembali sisa kelakar dari bibir Inna kembali terjadi di sana.
Torra yang tak mau kalah, ikut berpartisipasi dengan gurauan alay ala remaja masa kini, "Suaminya ayang bebeb dong. Memangnya siapa lagi?"
"Ayang bebeb? Siapa tuh ayang bebebnya?"
"Kamulah, Yang. Istriku tersayang dan mamanya anak-anak."
"Gombal! Belajar dari mana tuh?"
"Lho? Kok gombal? Kan tadi ayang yang duluan ngegombalin aku. Lupa ya?" Menghasilkankan serangkaian derai tawa semanis madu, dan itu bukan hanya milik Inna seorang, tetapi Torra pun demikian.
Sepuluh detik kemudian, Inna pun berhenti tertawa, lalu meminta pertolongan Torra, "Hahaha... Udah ah, Mas. Ayo gendong aku ke atas kursi roda."
"Mau bawa itu juga, Yang? Mas gendong aja lebih romantis kali."
"Nanti diceramahin dokter Padma lagi, Mas. Udah ah, cepetan."
"Bener juga. Ayolah." Dan hari itu, Torra berutang banyak ungkapan syukur kepada sang pencipta, atas hasil dari membolak balikkan hati yang beberapa saat lalu sangat bertolak belakang.
Ya, Maha Esa dan Maha Sempurna. Di dalam dunia ini, memang segalanya dapat dengan mudah berubah-ubah, jika memang sudah menjadi takdir-NYA.
Yang buruk, bisa secepat kilat berganti menjadi baik, sesuai kuasa-Nya. Dunia hanyalah tempat persinggahan, jadi jika Torra Mahardika tidak segera mempertahankan dan memperbaiki biduknya, maka tenggelam adalah hasil akhir dari segalanya.
Memaafkan dan menerima bukanlah perkara mudah, tetapi satu kesempatan yang Inna Bastari berikan, merupakan usaha terbaik daripada tidak sama sekali.
Cinta akan menjadi jalan menuju kebahagiaan yang sejati, "Sudah siap, Istriku?"
"Sudah, Suamiku." Dan semoga cinta selalu ada, dalam hati kita.
-- TAMAT --
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
Storie d'amoreMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...