25 - Get Rid Of Bad Smell

9.3K 2.2K 199
                                    

Steven mendekati Neri sebelum gadis itu tiba di tempatnya berada. "Ner, aku bisa jelaskan..."

Neri mengangkat tangannya, memutus perkataan Steven. Tanpa bicara apa pun gadis itu membalikkan badan dan berjalan ke tujuannya semula.

"Ner!" Steven ternyata mengejarnya dan memegang bahu Neri dari belakang. "Aku..."

"Nanti, Steve," jawab Neri tanpa mau menoleh untuk memandang pria itu. "Aku butuh ke kamar kecil," katanya tenang. Melepas pegangan Steve di bahunya dan melanjutkan langkahnya.

Seumur hidupnya Neri tidak pernah mendapatkan segala sesuatu secara mudah. Semuanya memerlukan usaha dan kerja keras karena selama ini tak seorang pun pernah memanjakannya. Dia bukan jenis gadis yang menjadi pusat perhatian pria, jadi tak pernah berharap mendapat perlakuan istimewa. Bukan berarti dia tidak percaya dengan beauty privilege. Neri percaya kok. Karena sepanjang masa sekolahnya dia menyaksikan bagaimana teman sekelasnya yang cantik jelita mendapat perhatian berlebih dari para cowok yang seolah berlomba untuk menarik perhatiannya dengan segala cara. Hanya saja buat Neri, hal seperti itu bukan bagiannya.

Ketika Steven menghujaninya dengan perhatian dan juga hadiah, alarm di otaknya berbunyi, yang semakin lama semakin kencang. Tetapi Neri berusaha tenang dan tidak terburu-buru mengambil keputusan. Dengan sabar dia mengikuti semua permainan Steven ini, seolah sedang menunggu sesuatu akan terjadi. Meskipun merasa dirinya cukup realistis untuk menerima segala kemungkinan terburuk, ternyata Neri tidak imun dari rasa terkejut dan sakit hati. Sialan, Steve! Kenapa kamu harus melibatkan aku, ha? Apa yang terjadi antara dirimu dan Lidya?

Setelah merasa cukup tenang, barulah Neri keluar dari toilet. Dia tidak terkejut melihat Steven telah berdiri menunggunya, tepat di depan pintu. Dan dia juga tidak heran melihat Lidya telah menghilang entah ke mana.

"Ner..." Steven berusaha berbicara. Ketika Neri mendongakkan kepala untuk menatap langsung ke matanya, pria itu terdiam.

"Kupikir sudah waktunya kamu menghentikan kepura-puraanmu, Steve. Nggak capek apa kamu main sandiwara terus?" tanya Neri dengan suara pelan tetapi jelas.

"Pura-pura apa, Ner?"

Neri menghela napas. "Aku aja capek ngeliatin kamu yang mengada-ada begini. Apalagi kamu yang menjalani. Gimana rasanya jadi kamu, Steve? Nggak usah nanya dari mana aku tahu kalau kamu berpura-pura. Dan kamu pikir aku segitu begonya mau percaya begitu saja dengan keteranganmu tentang Lidya yang katamu baru kamu kenal itu kan?"

"Ner..."

"Udah lah, Steve, nggak ada untungnya juga kamu maksain diri sama aku. Dari awal semua juga kelihatan banget kalau dibuat-buat, kok. Iya kan?"

"Tapi aku sungguh-sungguh dan nggak pura-pura, Ner!" Steven ngeyel.

"Percuma, Steve. Aku juga nggak bakal percaya!"

"Kamu pikir kenapa Lidya sampai ngamuk seperti tadi? Itu karena sesuatu yang semula hanya sebuah taktik ternyata benar-benar terjadi, Ner. Memang benar, aku mendekati kamu dengan satu rencana khusus. Tetapi sekarang aku kena batunya dan aku ingin benar-benar serius menjalani hubungan bersama kamu dan melupakan Lidya."

Kemarahan pelan-pelan menguasai Neri. "Siapa sebenarnya Lidya itu, Steve?" tanyanya dengan suara berbisik.

Steve memalingkan wajah sebelum menjawab. "Namanya Lidya Wijaya...." Suara Steven terdengar parau.

Neri tersentak mendengar nama belakang Lidya. Sialan! "Apakah dia putri direktur utama? Yang sudah menikah dengan putra salah satu pemilik perusahaan rekanan?" tanyanya tak yakin.

Lagi-lagi Steve memalingkan wajah. Dan Neri seketika menyimpulkan dari apa yang dilakukan pria ini sepanjang pesta serta aksinya mengenalkan Neri kepada semua orang penting, terutama kepada direktur utama. Juga reaksi istri direktur utama malam ini. Apakah... "Steve, apakah selama ini kamu menjalin affair dengan Lidya?" tanyanya berhati-hati dengan suara berbisik yang tak yakin.

Steve terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk lemah.

"Ya ampun..." dan Neri merasa bego sekali.

"Hubungan kami sudah lama," Steven mengakui. "Bahkan kami sudah menghadap kepada orang tua Lidya untuk meminta mereka merestua hubungan kami. Tapi apalah artinya aku di mata mereka..."

Neri menggeleng-geleng. Tak mengerti lagi harus bereaksi bagaimana. "Lalu kalian pikir melakukan perselingkuhan diam-diam begini sebagai solusi?" intensitas suara Neri mulai meninggi.

"Lidya tidak bahagia dengan pernikahannya, Ner. Bahkan suaminya pun berselingkuh di Singapura."

"Itu alasan yang absurd, Steve. Dan dengan alasan itu kamu pikir tindakanmu benar dengan meniduri istri orang? Iya, kan? Kalian..." Neri menggeleng bingung. "Nggak mungkin hubungan kalian cuma pacaran kayak anak SMA yang cukup puas hanya dengan pegangan tangan! Dan rumah yang kamu sewa di pinggiran kota ini adalah sarang mesum kalian berdua. Benar kan?" tanya Neri sambil bergidik.

Neri heran melihat Steven kehabisan kata setelah semua boroknya terbuka.

"Lalu kenapa melibatkan aku?" kejarnya. "Kalian kan bisa diam-diam menutupi kebobrokan ini tanpa harus merusak reputasiku dengan semua aksi konyolmu malam ini?" Neri sungguh tak terima diperlakukan begini. "Apa salahku? Kenapa aku?" tuntutnya.

"Ner..." Steven menggeleng, bingung harus memulai dari mana.

"Bahkan di saat seperti ini kamu juga masih mau bohong? Begitu sulitkah buat kamu jujur pada orang tak bersalah yang sudah kamu manfaatkan habis-habisan ini, Steve?"

"Karena... Karena affair ini sudah tercium oleh pak direktur. Terutama sejak suami Lidya lebih sering tinggal di Singapura dari pada di Surabaya. Membuat Lidya banyak menghabiskan waktu denganku."

"Lalu apa hubungannya denganku?" tantang Neri.

"Menjalin hubungan denganmu akan bisa menjadi alibi paling bagus buatku. Terutama sejak pak direktur notice kemampuanmu."

"Apa? Jadi aku memang hanya dimanfaatkan untuk..."

"Ner! Dengar dulu. Semula rencananya memang begitu. Tetapi semua berantakan karena ternyata aku..."

"Apa?" tanya Neri galak.

"Aku beneran jadi suka sama kamu, Ner. Itu yang bikin Lidya murka."

Neri menyipitkan mata. "Dan kamu pikir aku dengan bodohnya bakal percaya omongan tak berdasar begitu?" tanyanya dengan penuh kemarahan.

"Ner!"

Neri mengentakkan kaki, membalikkan badan dan bersiap pergi.

"Neri! Dengar dulu!" Steven menahan gadis itu dengan mencengkeram bahunya. "Ner! Kamu harus tahu bahwa aku nggak bisa mengabaikan hal ini begitu saja. Karena Lidya mengancam akan membuatmu dipecat!"

Neri tertegun. Gadis itu kembali menoleh untuk memandang wajah Steven. "Begitu? Kenapa harus aku yang dipecat? Kenapa nggak kamu aja yang keluar dari sini?" tanyanya dengan sakit hati.

Tanpa peduli lagi, Neri melepaskan diri dari Steven dan bergegas pergi, kembali ke tempat acara. Meskipun suasana hatinya tak keruan, acara ini harus diselesaikan. Demi Tuhan! Dia benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana kalau kariernya di perusahaan ini berakhir hanya karena urusan mesum tak bermutu demi menutupi nafsu pasangan itu! Karena rezeki untuk keluarganya masih bergantung dari gaji bulanan yang dia terima!

Notes: update dikit ya. Ntar disambung lagi.

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang