Bunyi gesekan di antara rel dan roda kereta, bersamaan dengan kepakan sayap burung yang berterbangan menjauh, dengan semilir angin pagi yang melengkapi. Sungguh situasi dan kondisi yang menyegarkan andai kata gadis itu memiliki tujuan lain.
Ia yang semula duduk, berjalan menuju garis kuning. Menatap pasang-pasang kepala yang keluar dari kereta. Dan hingga penumpang terakhir turun, ia tidak menemukan mereka. Satu hari lagi, menunggu dalam ketidakpastian.
"Ya, mungkin tidak hari ini"gumamnya dengan senyum riang, dan memilih pulang.
Entah sudah ke berapa kalinya ia bolak-balik ke stasiun tua itu. Dan entah sudah berapa lama hingga membuat menanti, menjadi keharusan sebelum kembali bekerja di kecamatan.
Dan kali ini ia kembali lagi masih dengan tatapan yang sama. Matanya menatap seorang bapak-bapak dengan rambut yang sedikit memutih namun masih tampak lebat sedang mengibas-ngibaskan topinya. "Pagi, tuan masinis!!"sapa riangnya membuat laki-laki berkumis itu ikut membalas dengan lambaian tangan serta senyuman lebar.
"Ku pikir kau tidak datang hari ini"ucap masinis itu seraya mendekatinya.
Gadis itu tertawa kecil. "Hehe, ada yang harus ku selesaikan terlebih dahulu. Omong-omong. Apa tidak ada nama mereka di antara para penumpang?"tanyanya dengan kedua tangan yang ditangkupkan di depan dada, mata hitamnya itu menatap memelas dengan rambut kecoklatan yang di kepang rapi disampirkan ke bahu kirinya.
Masinis itu menghela nafas pelan, menatap frustasi gadis di depannya. "Sudah lebih dari 15 tahun Yerin, untuk apa kamu mengharapkan mereka yang tidak pernah mencarimu, yang meninggalkan mu sebatang kara di desa terpencil ini, lebih baik kau melupakan mereka Yerin, ini juga demi kebaikanmu"
Pria itu lagi-lagi menasehati nya, namun untuk gadis itu, nasehat seperti apapun, asal ia sudah memutuskan maka ia akan melakukan, hingga ia menyerah dengan sendirinya. Dan selama harapan akan janji lama itu masih ada, ia tidak akan menyerah.
"Sudahlah Bondan, selama gadis itu belum patah hati, nasihatmu tak akan masuk ke kepala batunya itu"ujar seorang kakek tua dengan suara serak berjalan tertatih dengan tongkat kayu yang menunjuk Yerin.
"Selamat pagi Kakek~"sapa riang gadis itu. membuat kakek tua itu menghela nafas, senyum itu terlalu kuat untuk membuatnya marah pada gadis itu.
"...., Pagi, ku dengar kau mendapatkan tawaran dari orang kota itu"
Gadis itu hanya tersenyum. "Ya, tapi aku menolak tawaran mereka"balasnya riang membuat kedua lelaki itu bersamaan menghela nafas panjang.
"Ay~. Pekerjaan orang kota itu terlalu sukar untuk gadis desa seperti ku, apalagi kehidupan di sana, dengan tabunganku pun hanya sanggup bertahan beberapa bulan"ucapnya mendapat tatapan tajam kakek tua itu.
"Alasan. Katakan saja kau tidak ingin pergi karna masih menunggu mereka"ucap tajam kakek tua itu dan gadis itu tetap tersenyum.
Ia lantas memilih pamit, lebih tepatnya kabur, sebelum kedua pria itu mengoceh lebih panjang tentangnya. Namun suara serak kakek tua itu menghentikan langkahnya, membuat tubuhnya kaku.
"Besok kau tidak usah datang"
Ia berbalik menatap memelas kakek tua itu. "Kek~"
"Lusa... Ada jadwal kedatangan atas nama dua orang itu, namun mereka tidak hanya berdua, seorang putra kecil menemani mereka"lanjut kakek itu membuat jantung nya yang sudah berdetak kencang kini mungkin berhenti.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan untuk tidak mengigit kuku nya. ia menarik nafas dalam lantas kembali tersenyum. "Terimakasih atas infonya Kakek"riangnya menunduk sebentar lantas merubah rautnya menjadi penuh bahagia, menghilangkan raut khawatir kedua lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kereta Penantian [END]
Krótkie OpowiadaniaIni tentang seorang gadis Dan kereta penantian