Langkahku tertahan di depan pintu lift begitu melihat sosok yang berdiri tak jauh dari pintu utama gedung apartmen.
Sial, kenapa ada dia?
Jimin bersandar pada tralis tangga, mendekap tubuhnya sendiri. Sementara ponsel tampak di sudut sikunya yang terlipat. Jemari sibuk bergerak di atas layar ponselnya. Kini jaket berbusa tebal telah ditanggalkannya, digantikan dengan sweater mustard dan coat hitam panjang. Seketika penampilannya tak lagi norak seperti kemarin. Tapi tetap saja ...
Apa yang dia lakukan di sini?!
Oke, aku akui aku memang sengaja mengulur waktu begitu Jimin mengirimkan pesan berisikan saran agar kami pergi bersama ke akademi karena urusan dengan temannya lebih cepat dari perkiraannya.
Jelas aku tidak mau!
Pergi bersamanya adalah alternatif terakhir. Bahkan aku lebih memilih berjalan kaki dibanding harus bersebelahan dengannya selama perjalanan.
Bukan apa, aku hanya risih dengannya. Mulutnya yang super cerewet, rasa bangganya terhadap keahliannya, dan tingkat penasarannya yang super tinggi membuatku malas berada terlalu lama di sekitarnya.
Jadilah aku mengulur waktu bersiap, berharap dia bosan menunggu dan memilih untuk berangkat duluan.
Sudah tepat empat puluh menit Jimin mengirim pesan jika dia sudah sampai di depan apartemenku. Selama itu pula aku mengabaikan pesannya dan tidak memberikan kabar apapun.
Jimin dan sifat keras kepalanya sungguh bukan kombinasi yang baik. Buktinya dia kedinginan di luar dalam waktu yang lama. Padahal jelas-jelas ia bisa jalan ke akademi duluan dan mungkin sekarang dia sudah duduk di sudut studio dengan segelas kopi panas.
Tapi dia malah lebih memilih menungguku ...bodohnya pria ini.
Aku tidak bisa menghindar kalau sudah begini. Begitu aku membuka pintu, Jimin langsung mengalihkan pandangannya ke arahku. Kedua matanya menatap polos. Lalu sebuah senyum tipis tampak.
"Kenapa kamu di sini?" tanyaku ketus, tidak membalas senyuman Jimin.
"Aku menunggumu."
Ya, aku juga lihat dengan mata kepalaku sendiri kamu dengan bodohnya berdiri di luar sementara angin berhembus kencang. Rambutmu sampai berantakan karena terpaan angin, wajahmu sampai kaku karena terlalu lama menunggu. Haduh, Jimin.
Jujur saja ada sedikit rasa kasihan melihatnya menggelandang seperti ini. Tapi rasa kasihan itu sirna, kalah dengan rasa kesalku karena kebodohannya.
Aku memutar bola mataku dan berjalan duluan. Jimin berlari kecil menghampiriku hingga kami bisa bersandingan.
"Istirahatmu cukup kan semalam? Harus pakai selimut yang tebal ya, soalnya semalam itu dingin banget!" Jimin memecah keheningan di antara kami berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adagio | seulmin✔️
FanfictionKang Seulgi, balerina yang berambisi besar untuk menyaingi kehebatan mendiang neneknya, dipasangkan dengan si pria berambut gulali yang super cerewet dan diam-diam mengaguminya. Sialnya lagi mereka harus memerankan kisah paling tidak masuk akal bagi...