Prolog

1.6K 103 0
                                    

'Jika ada waktu yang begitu ingin kuulangi lagi, maka itu adalah waktu di saat kita bersama, bertemu setiap harinya, sehingga aku bisa memandang wajah penuh senyummu itu dan menjadikannya sebagai pemandangan yang membuatku kecanduan.'

- 2012 -

"Hey, apa yang kau lakukan?"

Remaja laki-laki yang semula tengah asik sendiri memandangi langit sore dalam diam, kini menoleh menatap seorang temannya yang tadi bersuara. Ia sontak tersenyum saat melihat sang teman yang begitu mungil itu seakan tenggelam oleh besarnya tas gitar yang dibawanya. Terlihat begitu menggemaskan. Hanya saja, sedetik kemudian ia tersadar dan menepis pemikiran tersebut. Temannya adalah seorang laki-laki, dan dirinya pun begitu. Tidak seharusnya sebuah

perasaan yang berlebihan hadir di antara mereka. Ia hanya takut kalau benih kesalahan itu lama-lama tumbuh di hatinya dan membuatnya menjadi tersiksa sendiri.

"Ah, tidak, aku hanya melamun. Pemandangan sore di tempat ini bagus, tau." balasnya kemudian.

Sang teman berjalan mendekat dan ikut berdiri di sampingnya.

"Hmm, iya juga, sih. Tapi kita kesini bukan untuk mengagumi pemandangan sore, omong-omong."

Ah, benar juga. Mereka datang ke tempat ini karena akan melakukan busking. Keindahan sore itu benar-benar menjeratnya hingga ia melupakan tujuan awalnya.

"Ah, lupa!"

Ia menepuk jidatnya, membuat sang teman tertawa geli saat melihat tingkah lakunya tersebut. Sang teman sendiri tak sadar kalau wajah manisnya yang tengah tertawa itu membuat seseorang tengah menatapnya dengan begitu dalam.

"Sudah, yuk, balik. Yang lain pasti sudah selesai bersiap-siap."

Ia tersadar dan segera memalingkan wajahnya. Sebagai balasan atas ajakan tersebut, ia hanya mengangguk. Untuk sesaat, harapan aneh itu muncul lagi di benaknya. Apakah ia akan terus bisa melihat wajah tersenyum itu untuk waktu yang lama? Apakah ia boleh berharap? Tapi sayangnya, ia masih tidak yakin dengan itu semua. Ia ragu dengan perasaannya yang ia tau bukanlah sesuatu yang benar. Sedangkan di sisi lain, ia sadar bahwa bagaimanapun itu, sekeras apapun ia berharap, dirinya akan tetap kalah oleh realita karena skenario Tuhan terus membayanginya.

Tanpa sadar, tangannya terulur untuk meraih tangan sang teman hingga sosok itu pun menoleh dengan heran ke arahnya.

"Hng? Ada apa?"

Terdiam. Mata itu seolah membuatnya membeku sesaat.

"Suatu hari nanti, ayo debut bersama."

Sang teman ikut terdiam saat mendengar kalimat tersebut. Tapi sesaat kemudian, ia tersenyum lebar dan mengangguk.

"Kalau begitu, ayo berusaha bersama."

Dan angin sore yang semakin dingin di musim gugur mulai menerpa surai mereka berdua, seakan menjadi saksi dimana seolah perkataan tersebut menjadi sebuah janji untuk masa depan.

*****

It's Not Right, I Know ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang