Kabut tebal tengah menyertai keluarga Mahardika kini. Inna tidak menyadari jika dirinya tengah mengandung, dan karena harus mendampingi ibu Frans yang merupakan istri dari Bupati Kabupaten Kupang, maka saat itulah hal buruk menimpa dirinya. Ya, perdarahan hingga membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Torra yang mendengar kabar tersebut di ujung telepon, tanpa banyak kata keluar dari ruangan rapat sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kupang, mengesampingkan banyak tatapan mata demi bisa secepatnya sampai di hadapan Inna.
Alhasil, Kuretase harus dilakukan oleh dokter Padma sekali lagi, setelah Inna dipindahkan ke RSUD Prof. Dr. WZ Johannes Kupang, "Jangan kebobolan lagi ya, Bu Inna? Kalau memang masih mau hamil dan punya anak, maka jalan satu-satunya harus program kayak kemarin itu. Nggak bisa asal kayak gini. Biar saya bisa kasih obat penguat kandungan, karena rahim ibu lemah. Coba bayangkan sudah berapa kali nggak jadi? Ini jatuh yang ketiga kan? Tahan dulu ya, Bu?"
"Maaf, Dok. Saya pikir karena sudah lewat tiga tahun lebih, kandungan ini bakalan sehat kayak pertama kali hamil Almarhumah Kakak. Ternyata sama aja." Dan kesedihan terlukis jelas di wajah cantik Inna, setelah proses tersebut selesai dilakukan tujuh jam lalu.
"Nggak usah lagi, Bun. Ayah nggak mau bunda kenapa-napa. Nara dan Rana sudah sangat cukup untuk ayah." Pun tak jauh berbeda dengan Torra, yang duduk tepat di sebelah kanan Inna seraya menggenggam telapak tangannya.
Dokter Padma pun sekali lagi berbicara selaku orang yang menangani kasus perdarahan tersebut, "Masih bisa, Pak Torra. Cuma saya sarankan itu tadi. Diprogram biar lebih waspada dan aktivitasnya pun bisa sedikit dikurangi ya kan? Kalau dalam keadaan nggak tahu gini terus jatuh, kan harus Dilatasi lagi. Bakal baru bisa jadi kembali."
"Ya udah biarin ajalah, Dok. Biar nggak usah hamil lagi."
"Tenang aja, Bu Inna. Pokoknya kalau ada pikiran ke sana tahun depan atau dua tahun lagi pas anak-anak udah pada sekolah, tinggal konsultasi ya? Saya akan selalu ada untuk keluarga ini." Menguatkan dan juga mendukung walau proses kehamilan Inna tidak akan semudah pasiennya kebanyakan.
Benar saja, setelah tiga tahun berlalu dari keguguran ketiga yang Inna alami, ternyata kuasa Tuhan terjadi kembali, "Jadi mau pilih tanggal betapa ini untuk lahirannya, Pak? Ibu? 1 januari bisa lho kalau mau. Tapi saya sarankan mendingan di tanggal 22 desember aja biar bertepatan dengan hari ibu."
"Gimana, Yah? Mau nggak?" Program kehamilan yang Inna dan Torra jalani membuahkan hasil, tetapi kali ini tidak dua, melainkan satu.
Pasangan suami istri tersebut, bahkan sedang merencanakan jadwal kelahiran si jabang bayi yang berjenis kelamin laki-laki, "Belum genap 39 minggu kayak lahiran si kembar memangnya nggak apa-apa, Dok?"
"Kalau melahirkan dengan jalan seksio sesarea alias operasi ya dari delapan bulan udah bisa kali, Pak. Asalkan berat bayinya udah cukup aja. Cuma kan batin pasti tersiksa pas anaknya lahir belum bisa digendong bebas kayak kakak-kakaknya dulu. Harus masuk ke ruangan bayi dan ditidurkan dalam inkubator lebih jelasnya."
"Amit-amit jabang bayi, Nak. Udah tanggal
1 januari aja nggak apa-apa, Dok.""Jangan dong, Bun. Nanti kalau sekolah, dia dihitung ke tahun yang berikutnya. Tanggal 22 desember, atau 20 sekalian. Bisa kan, Dok?"
"Bisa, Pak. Beratnya si dedek udah cukup kok 2,9 kilo. Nanti sampai di rumah makan es krim aja yang banyak, biar pas tanggal 20 beratnya udah naik 3,1 atau 3,2 kilo oke?"
"Hah? Masa gitu, Dok?"
"Iya, Bu Inna. Coba aja kalau nggak percaya besok makan es krim sebanyak mungkin asalkan perutnya jangan sampai mules, terus dua hari datang lagi ke sini buat diperiksa. Haha... Saya kemarin lahiran si bungsu juga gitu soalnya."
"Nggak dimarahin sama dokter Goris makan es krim kebanyakan, Dok? Kalau si ayah mah pasti marah tuh. Iya kan, Yah?"
"Hahaha... Nggak, Bu. Dia juga nyaranin kayak gitu efek selama hamil saya susah makan dan harus tetap on time di rumah sakit pas di trimester kedua. Dimarahin terus sayanya kayak bapak-bapak ngomelin anaknya, padahal mah dia brondong."
"Aduh-aduh. Bahagia selalu ya, Dok? Saya senang dokter Padma sekarang sudah bisa move on. Yang jahat jangan dipikirkan lagi ya, Dok? Abaikan kalau kata bahasa anak alay jaman now mah."
"Hahaha... Pasti, Bu Inna. Jadi curhat kita di depan pak Torra. Hehe..."
"Lanjut, Dok. Saya pura-pura nggak dengar kok dari tadi." Namun, ujung dari obrolan bercabang kemana-mana, bahkan pernikahan dokter Padma dengan dokter Goris pun menjadi salah satu topik pembicaraan.
Ya, demikianlah adanya. Kedua tenaga medis tersebut akhirnya menikah, setelah pelakor berhasil merebut mantan suami dokter Padma dan membuatnya harus menjadi seorang janda, "Jadi ini deal tanggal berapa tadi, Pak Torra?"
"Tanggal 20 desember aja, Dok. Bisa kan?"
"Siap, Pak Torra. Jadwal kampanyenya diselipin untuk ibu Inna juga ya?"
"Beres, Dok. Pak Frans gampang diatur kok orangnya."
"Semoga bisa dua periode, Pak. Saya selalu mendukung."
"Amin. Makasih banyak, Dok." Tetapi tak berlangsung lama, dokter Goris mendekati dan berhasil menurunkan hipertensi di hati wanita itu.
Buah dari kesabaran memang akan terasa begitu melegakan, terlebih ketika berdamai dengan masa lalu juga sudah dilakukan.
Bukan hanya dokter Padma yang ikut merasakannya, tetapi Inna dan Torra pun demikian, "Oek oek oekkk..."
"Yuhuuu... Jagoan kedua lahirrr...!" Setelah dua minggu sudah berlalu sejak keduanya merencanakan jadwal kelahiran si putra kedua.
Anak ketiga mereka pun lahir dengan jalan pembedahan, selamat tanpa kurang suatu apapun, "Anak kita udah lahir, Yah. Masya Allahhh...!"
"Terima kasih banyak, ya Allahhh... Terima kasih juga, Bundaaa... Alhamdulillahhh...!" Membuat Inna dan Torra begitu bahagia di sana.
Segala kepenatan selama bedrest, bahkan seketika hilang seperti tersapu oleh gelombang tsunami dari dalam diri seorang Inna Bastari, "Cepat adzanin, Yah. Biar jadi anak sholeh kayak ayahnya."
"Siap, Bun. Siappp..." Berganti dengan kebahagiaan setelah tangisan bayi mungil itu terdengar di telinganya.
Inna menyuruh Torra untuk segera melakukan tugasnya tanpa menunda-nunda seperti saat si kembar lahir ke dunia, dan pria itu pun menyanggupi, dengan segera melangkah menuju ke arah dokter anak yang sedang bersiap memotong ari-ari si bayi, "Saya aja adzanin dulu baru dipotong bisa kan, Dok?"
Dokter yang bertugas pun memberi izin ketika Torra menyampaikan tujuannya, "Oh, iya-iya. Boleh, Pak."
"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Asyhadu allaa illaaha illallaah. Asyhadu allaa illaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. Hayya 'alashshalaah. Hayya 'alashshalaah. Hayya 'alalfalaah. Hayya 'alalfalaah. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah..." Lalu lafadz pun menggema di seluruh ruangan operasi dari pita suara Torra, yang menunjukkan tanggung jawab pertamanya untuk si jabang bayi.
Tanggung jawab itu sudah pasti akan bertambah lagi dan lagi, tetapi tidak ada keraguan satu pun dari diri Torra untuk menghindarinya.
Inna, Nara, Rana dan Nato adalah kebahagiaan Torra, rumah untuknya melepas kepenatan ditengah kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan.
Bahagia bukanlah dia yang hebat dalam segalanya, tetapi dia yang mampu temukan hal sederhana dalam hidupnya dan tetap bersyukur.
-- SELESAI --
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...