Pernahkah kalian merasa terlalu sakit sampai akhirnya kebas dan tidak mampu merasa sakit lagi?
Aku sudah merasakan bermacam gejolak dalam diriku, dan sebagian besarnya buruk.
Aku rasa aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Aku tidak bisa membedakan mana rasa sakit, sedih, dan marah.
Semuanya sama saja. Karena perasaan itu menjelma menjadi diriku setiap hari.
Aku rasa indra perasaku sudah mati.
×××
Aku merindukan ibuku.
Maksudku ibu yang melahirkanku.
Sebenarnya aku tidak tahu ini perasaan rindu atau bukan. Aku hanya seolah memiliki kewajiban untuk berhasrat menemuinya, meski pada akhirnya tidak pernah diizinkan.
Makin lama, aku makin tidak kecewa.
Rumpangnya pertemuan mungkin membuat perasaanku kian gamang. Aku membenci wanita yang menggantikan peran ibuku sekarang, namun rasa sayangku terhadap ibu kandungku juga berkurang.
Hidup ini lucu, bukan?
Hari ini pelajaran olahraga, aku juga membencinya. Sungguh aku hanya menyukai sastra, aku menyukai dunia kepenulisan. Dan tentu saja hal tersebut juga dilarang. Lagipula aku tidak pernah berharap banyak.
Aku 'kan tidak boleh memiliki mimpi. Semuanya akan dipatahkan begitu saja. Tapi seperti yang kukatakan tadi, aku sudah tidak lagi peduli. Dunia terlalu menjijikkan jika aku terlalu menyelaminya.
Aku menggunakan jaket biru tua di tengah terik matahari. Cukup menguras tenaga, memang. Mengingat kemarin pun aku melewatkan makan malam.
"Apa kau tidak merasa panas?" Yoshi tiba-tiba muncul dari sisi kananku, entah sejak kapan ia ada disana.
"Ah, tidak. Biasa saja. Ayo, kali ini giliran kelompok kita!" jawabku seraya berjalan ke tengah lapangan. Menghiraukan tatapan Yoshi yang mungkin bingung melihatku memakai pakaian panjang di cuaca sepanas ini.
Mau bagaimana lagi?
Setelah dua jam akhirnya pelajaran olahraga selesai. Kami menenggak habis air mineral yang berjejer di sisi lapangan kemudian satu persatu meninggalkan lapangan untuk berganti baju.
Aku dan Jaehyuk termasuk golongan akhir yang meninggalkan lapangan.
Padahal aku ingin sendiri.
Entah sejak kapan aku merasa ada beberapa orang yang mulai menanyai masalah pribadiku. Apakah tamengku mulai terbuka sedikit demi sedikit?
"Aku haus, ayo pergi ke kantin dahulu." ajak Jaehyuk yang mendadak menarik lengan kananku dengan keras ke arah kantin.
Aku tersentak dan tanpa sadar berteriak tertahan, lalu perlahan mulai meringis.
Ah, ternyata aku masih bisa merasakan sakit.
"Kau kenapa?" bisa kulihat raut wajah khawatir dari Jaehyuk. Namun aku akan tersenyum seperti biasa dan berkata aku tidak apa-apa.
"Kau menarik tanganku terlalu keras tahu." ucapku seraya memajukan bibir bawahku, kemudian kulihat Jaehyuk menghela napas lega dan berkata, "ah, kukira apa, mengagetkan saja."
Aku dan Jaehyuk kemudian berjalan ke arah kantin seraya memperdebatkan minuman apa yang akan dibeli. Tak lama, para siswa yang sudah berganti baju berhamburan keluar, kini giliranku dan yang lain untuk berganti baju.
Aku membuka jaketku dan mencium bau amis dari sana. Ah, benar saja, Jaehyuk membuat lukanya kembali menganga. Untung saja tidak sampai menembus jaket.
Aku dengan cepat melipat jaketku dan berganti pakaian. Kemudian membalut luka gores —yang jumlahnya tak sadar sudah lumayan banyak— dengan perban.
Aku menatap lengan kiriku. Luka gores yang kutorehkan beberapa minggu lalu sudah mengering. Aku pun masih membawa perban yang cukup.
Aku duduk di atas kloset seraya memainkan cutter biru yang selalu tersimpan rapi di saku jaketku.
Apa aku harus menggoresnya lagi?
Tapi setelah ini masih ada dua pelajaran.
Ah, lagipula aku menulis dengan tangan kanan.
Darah kembali merembes, membasahi ujung cutter dan sedikit memercik ke jariku.
Tidak sakit.
Ternyata indra perasaku kembali tidak berfungsi jika aku sendirian.
Monday,
Nov 9th, 2020
[07.41 PM]
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days
Short StoryTujuh hari setelah hari ini, aku harap aku masih ada disini. This isn't a mystery/thriller story, this is just-story about someone who's trying his best to survive, to stay alive. [A N G S T] ⚠Warning Including : suicidal thought, broken home, sel...