"Thank, Sa." Genta menerima sebuah roti dan sebotol kopi. Ditatapnya sebentar bungkusan roti isi daging asap yang diterimanya lalu ia masukan ke dalam saku sneli.
Mahesa duduk di kursi samping Genta dan matanya memerhatikan wajah Genta yang ditempeli plester di bagian pipinya. "Dimakan rotinya. Lo butuh tenaga." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Mahesa.
Nafsu makan Genta telah hilang sejak tadi pagi.
"Udah, Dek. Nggak bisa ditolong lagi pasiennya," ujar dr. Gilang yang baru saja memeriksa hasil rekam jantung terbaru dari pasien. Wajah pria itu sama lelahnya dengan Genta namun dia tampak lebih berwibawa, tidak terlihat tanda-tanda bahwa dia berusaha melawan kantuk hebat atau usaha untuk meredakan pegal dengan memijat bahunya. "Kak, tolong diurus. Gue ngomong ke keluarganya dulu. Lo ikut gue, Dek."
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin ..." Belum sempat kalimat itu selesai diucapkan, istri pasien meraung sambil menghamburkan tubuhnya ke arah dr. Gilang. Wanita itu terus memaki dengan kata kasar dan berusaha memukul dr. Gilang dan Genta harus menerima cakaran di pipinya karena berada tidak jauh dari lokasi. Anggota keluarga lain juga sama marahnya, namun mereka hanya melontarkan kalimat cacian. Menambah kebisingan di lorong rumah sakit sampai harus dipanggil beberapa orang keamanan.
Genta tidak paham.
Selama hampir lima jam berusaha melakukan segala upaya untuk menyelamatkan pasien, dia (dan para dokter jaga) justru mendapatkan caci maki yang tidak pantas. Padahal mereka melihat dengan mata kepala mereka bagaimana kerasnya usaha dr. Gilang semalam. Padahal semua perawat pun sudah berkali-kali memperingatkan bahwa usaha mereka akan sia-sia, tapi dr. Gilang tetap berdiri di sana.
Bukan salah dr. Gilang bahwa kondisi pasien yang sempat membaik pada pukul lima pagi mendadak drop. Bukan pula tangan dr. Gilang adalah penentu hidup matinya seseorang. Apa pantas mereka disebut binatang setelah semua perjuangan itu?
"Nyokap lo pernah ngalamin gini juga, Sa?" tanya Genta sambil memerhatikan botol kopi yang telah diminum separuhnya. Aneh. Tangannya masih terus bergetar sejak pagi tadi. Tubuhnya pun terasa panas dan tidak nyaman walau dia sempat mandi ala kadarnya. "Dikatain binatang setelah nolong pasien, dipukulin, dan sampe dipanggil sama pihak rumah sakit."
Mahesa terdiam untuk melirik sebentar pada Genta lalu kembali meneruskan menulis laporan pasien pada bukunya. "Nggak pernah cerita, sih. Cuma seinget gue dia pernah dipanggil ke persidangan karena pasiennya meninggal di meja operasi."
Genta mengernyit. "Terus?"
"Ya, lolos. Semua tindakan sesuai prosedur, under legal consent, dan pihak rumah sakit balik nuntut karena pencemaran nama baik." Mahesa memainkan pena di tangannya. Dia tidak bisa hadir untuk membantu karena kondisi dua pasien yang sedang diawasinya tidak memungkinkan untuk ditinggal. Satu pasien harus dia laporkan setiap lima belas menit langsung ke kontak asisten dan selalu ada instruksi baru setiap ia selesai melapor, Jangankan untuk membantu Genta, mau ke toilet saja dia harus dapat izin dari perawat yang berjaga semalam. "Doctor is not god who decides on someone's life and death. We do something we're capable of to help people and do no harm. Itu yang sering dia omongin ke mahasiswanya."
Itu sebabnya seorang dokter belajar seumur hidupnya, semua demi bisa melakukan yang terbaik untuk masyarakat ... kalimat itu tiba-tiba terngiang dalam kepala Genta. Kalimat yang diucapkan oleh dr. Alya saat kuliah dulu dan selalu diulang setiap kali dr. Alya memberikan materi pada mahasiswa. Awalnya kalimat itu terdengar membosankan dan dijadikan candaan setiap kali ada mahasiswa yang kena marah dr. Alya.
Baru hari ini Genta memahami arti sebenarnya kalimat itu.
"Ta, mendingan lo makan dulu, deh. Itu tangan lo udah kayak pasien parkinson," kata Mahesa sambil menunjuk tangan Genta yang belum berhenti bergetar. "Terus nanti lo kabarin Robyn sama Luki. Mereka nungguin kiriman makanan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
ChickLit[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...