Tiarma sudah tak di sampingku keesokan paginya. Namun, samar-samar dapat kudengar suaranya yang tengah bercakap-cakap dengan Ma dan Lulan di meja makan. Dengan mata lekat plus mulut bermentega, aku mengambil handuk, kemudian beranjak ke kamar mandi. Kepala sibuk menerka-nerka mengapa Ma membolehkan anaknya yang bujangan dan sudah mengerti mimpi basah ini tidur sekasur dengan perempuan yang hampir sama dewasanya.
Ketika segala persiapan beres, dan seragam koko SMA Kalam Angkasa—yang berwarna biru langit pun menurutku adalah seragam koko paling bagus sedaerah—telah kukenakan, aku memelesat ke meja makan.
"Kirain masih ngorok. Baru saja mau Ma siram pakai air bekas pel."
Sambutan Ma membuatku memutar bola mata, tetapi tak pernah gagal membuatku tersenyum setelahnya. Aku mengambil tempat duduk di depan Lulan, di samping Tiarma. Dan hal paling aneh seumur hidupku terjadi setelahnya, di ruang makan keluarga Sahala; Tiarma menyendokkan nasi ke piringku.
Aku terkesiap pelan, lalu bergumam lirih, "Trims."
Semua orang seperti tak menyadari hal paling tidak mungkin nomor empat di hidup ini telah dimungkinkan oleh Tiarma sendiri. Pa masih sibuk mengunyah, Ma masih ripuh merepet, Lulan masih repot dengan ponsel—oh, Ma ternyata tahu. Kedutan di bibirnya seolah menyatakan kalau ia sepenuhnya sadar dan ia akan sepenuhnya mengolok-olokku nanti.
*
Di sekolah, hariku berjalan seperti biasa. Sekali-dua Bang Jack ribut dengan Tiarma, Kitkat terhimpit di antara mereka. Karya tulis yang kukerjakan bersama Hara dikumpulkan, senyumnya manis sekali. Usai salat Jumat, Kitkat memesan makan siang bersama Bang Jack lagi. Entah perasaanku atau bukan, ada yang berbeda dari tatapan Kitkat sekilas tadi. Aku tak berpanjang pikiran, masalahku sudah cukup banyak tanpa perlu mereka-reka. Ada perlombaan hidup-mati yang mesti—
"Bhum!"
Aku tersentak dari bengong-bengongku. Ketiga temanku sudah berdiri dan mencangklong tas masing-masing, hendak pulang. Kantin sekolah juga mulai sepi. Melamun benar-benar menikam waktu hingga banyak sekali ia gelimpang.
"Pulang?" tanyaku terdisorientasi, yang dijawab Kitkat dengan anggukan. Aku ikutan mengangguk, kemudian lekas membereskan barang-barangku. Bang Jack dan Tiarma pergi terlebih dahulu, sedang Kitkat berbaik hati menungguku.
"Kamu gugup?" tanya Kitkat yang kusejajari langkahnya, tiba-tiba. Butuh waktu beberapa detik untukku mengerti apa maksud pertanyaannya.
"Sedikit."
Maksudku, yang berenang-renang di hadapan adalah neraka selama sebulan, Kitkat jadi mainan Arus Manayu, dan perasaan-perasaan baik terhadap Hara ini terpaksa kujagal sekali lagi. Membayangkan hal-hal yang tak boleh jadi itu saja sudah membuatku ketar-ketir setengah mati, maka siapa yang tak akan gugup?
"Mungkin akan terasa sulit pada prosesnya, tetapi dengan kemampuan yang kamu punya dan banyak kerja keras, kupikir kau akan bisa memenangkannya."
Aku terharu mendengar ucapannya. Hati menghangat, senyum pun terbit. Kurangkul lelaki manis itu penuh-penuh.
"I believe in you, Bhum."
Satu kalimat itu cukup untukku mencium lembut putih pipinya.
*
Pukul empat sore, kujemput Kitkat di kos-kosannya. Rencananya kami akan ke salah satu tempat makan yang mengirimkan pesan langsung ke akun Instagram-ku beberapa hari lalu. Tempat makan ini bernama Dapur Derana, baru soft-launching kira-kira seminggu lalu. Di dalam pesan yang dikirim, mereka memintaku mempromosikan tempat makan mereka.
Sebelum pulang tadi, sudah kuajak Bang Jack dan Tiarma, tetapi mereka menolak. Yang satu sibuk part-time, satu lagi sibuk melatih. Beruntung, Kitkat tidak mempunyai agenda apa-apa malam ini, jadilah kita berdua menyusuri jalan-jalan di bawah langit petang kota tercinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whatever Float My Boat
Novela JuvenilTak ada salahnya untuk cari aman sendiri. Sungguh. Maksudku, pada akhirnya, dirimu dan hanya dirimu sajalah yang bisa kauandalkan, bukan? Ya, kan? Kau setuju, kan? Pun tak ada salahnya memanfaatkan kebaikan orang lain demi keuntunganmu, selama tak a...