"Aku cuma minta 5"
Di ruangan itu hanya ada satu penerangan. Sebuah lampu meja yang menyorotkan cahaya putih ke bawah, berbentuk lingkaran. Memperlihatkan alas kayu, selembar kertas dan juga tangan seseorang yang gemetar memegang pensil. Pensil itu berwarna ungu bergaris-garis kuning, motifnya melingkar seperti membentuk spiral. Diujung paling atasnya ada penghapus berbentuk kartun kepala kelinci yang hanya memiliki 2 titik mata. Kelinci itu bergerak tak beraturan mengikuti setiap garis yang ditarik di atas kertas.
Kamar itu kurang lebih berukuran 2x2 meter. Pintunya ada di selatan dan tepat di sampingnya ada meja belajar kayu sederhana yang sudah penuh stiker dan coret-coretan. Di depan meja ada kursi kerja berwarna hitam, ada 4 roda yang masih utuh tetapi tuas dibawah tempat duduknya sudah rusak. Di atasnya ada siluet remaja perempuan yang sedang duduk, setengah badan bagian atasnya menunduk, menulis sesuatu. Ia membelakangi tempat tidur berukuran single yang mengadap ke barat. Spreinya polos berwarna abu-abu sedangkan sarung bantal dan selimutnya putih. Di sudut bagian kepala kasur ada boneka kelinci putih setinggi lutut orang dewasa, matanya berbentuk kancing menghadap kosong ke dinding di depannya.
Sudah berjam-jam ruangan itu hanya didominasi oleh suara detakan jam dinding dan gesekan pensil pada kertas. Kadang-kadang ada suara kucing yang berlarian di atap atau sedang berkelahi. Juga satu atau dua kali suara motor yang lewat lalu menghilang dengan cepat. Masih ada satu jam lagi sebelum waktunya pak satpam memukul tiang listrik untuk memberitahu beliau sedang patroli.
SIluet itu akhirnya berhenti menulis, melipat kedua tangan di atas meja lalu membaringkan separuh kepalanya tepat menghadap kertas yang sekarang sudah penuhi oleh tulisan dan coretan. Kulitnya yang kuning langsat barulah terekspos dibawah lampu meja. Matanya menatap sendu. Irisnya hitam menuju hijau, pantulannya seperti warna batu giok. Rambutnya coklat gelap, tidak keriting juga tidak lurus, hanya sedikit bergelombang di ujungnya. Memiliki poni yang tidak melebihi alis dan panjang rambutnya tidak melebihi pinggangnya.
Matanya tak lepas dari kertas tersebut. Isinya bukan tulisan yang rapih atau gambar yang bagus. Hanya coret-coretan seperti yang biasa ditemui pada halaman paling belakang buku catatan sekolah. Bukan berarti tidak bisa dibaca, hanya penempatannya tidak teratur. Dari air mukanya, sudah jelas ia tidak puas dengan hasil tulisannya. Mengenyampingkan penampilannya yang berantakan, ia menyindir pada dirinya sendiri di dalam hati dengan isi tulisannya yang lebay. Atau begitu menurutnya.
Ia kemudian mengejek dirinya sendiri mengatakan kalau dia sangat tidak berdaya dan bodoh. Ia bahkan tidak sanggup untuk membaca ulang tulisannya karena sudah terlanjur merasa konyol. Tak ada selang waktu semenit sebelum akhirnya kertas itu sudah menjadi gumpalan sampah. Hampir saja kertas itu terbuang, ia tiba-tiba merasa bimbang. Sisi lainnya tidak menerima dan justru membuka lagi kertas itu yang sudah dilukai tekanan kepalan tangannya. Mengasihani diri sendiri, ia melipat kertas itu dengan lebih layak. Dibentuknya sebuah pesawat kertas.
Sekarang pukul 3 lebih dan satpam sudah membunyikan tiang listrik sekitar semenit yang lalu. Figur perempuan remaja itu berdiri menghadap jendela. Ada gorden putih menerawang yang telah tersibak ke sisi kirinya. Jendela tersebut terbuka setelah digeser ke samping. Masuklah hawa dingin angin malam dan suara jangkrik yang sebelumnya hanya terdengar samar-samar.
Lagi-lagi ia merasa konyol. Ia tidak begitu tau apa tujuannya atau apa alasan ia melakukannya. Tapi ia hanya ingin menerbangkan kertas tersebut keluar. Seperti dorongan ingin menekan-nekan plastik gelembung atau saat ingin memukul-mukul sekarung beras yang di pajang di depan warung sembako.
Tanpa ia sadari, pesawat kertas di genggamanya telah menghilang tertiup angin. Tidak merasa puas atau merasa kecewa, ia kembali menutup jendelanya.
"Toh hanya coret-coretan"
Begitulah ekspresi wajahnya berucap.
Ia duduk di atas kasurnya. Pandangannya menyebar ke seluruh penjuru kamarnya yang sempit oleh buku pelajaran, tas, dan baju yang tidak ia rapikan. Di sela-sela tumpukan baju, ada banyak benda-benda kecil yang mungkin akan sulit dicari ketika dibutuhkan. Tapi tidak membuat ia mau bangkit dan mengumpulkannya. Ia justru hanya memandangi tanpa peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 WISHES (Lima Permintaan)
Fiksi RemajaIsca meminta lima permintaan kepada Tuhan. Kalau tidak dikabulkan. Isca akan menemui Tuhan lebih cepat untuk komplain dengan-Nya. -