Bab 10

110 10 1
                                    

Perang dingin masih terjadi antara Hadi, Gina dan Bu Mamik, bahkan suami Bu Mamik sendiri pun tak mampu ikut mendamaikan. Sejuta tanya dalam dada Gina pun tak jua mendapatkan titik terang. Semua masih tampak gelap, segelap mendung yang bergelayut di langit.

Mentari yang dinanti tak kunjung menampakkan sinarnya, burung-burung yang selalu ramai berkicau pun entah menghilang kemana. Hanya kesunyian yang setia menyelimuti batin Gina. Rasanya masih tak percaya, Hadi lelaki yang sangat dicintai bisa pulang dalam kondisi mabuk dan hampir seluruh tubuh dipenuhi noda lipstick.

Benarkah suaminya itu telah berselingkuh dan untuk menutupi kebobrokannya justru dia yang memfitnah Gina selingkuh? Semakin Gina memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk itu, semakin kepalanya berdenyut hebat.

Ingin rasanya detik itu juga Gina bisa terlelap dan sejenak melupakan semua tanya yang berkecamuk dalam dada. Namun baru saja mata hendak terpejam, kesadarannya kembali datang seiring adrenalin yang terpacu kala mendengar suara Bu Mamik yang melengking di ruang tamu rumahnya.

Dada Gina berdegub kencang. "Masalah apalagi yang akan menghampirinya sepagi ini?"

Bukan hanya Gina yang terkejut, bahkan para buruh pengarajin batik dan kue semprong yang menuju rumah Bu Mamik, ikut berbelok arah dan berkerumun di depan rumah Gina sekedar memastikan apa yang sedang terjadi. Sontak Bu Mamik pun membubarkan mereka yang ikut berkerumun dengan suara garang.

Ketajaman mulut Bu Mamik sudah menjadi rahasia umum, namun sebagian besar penduduk Desa Kayu Ambon memilih untuk diam dan menyingkir sebagian dari mereka menggantungkan hidupnya menjadi pengrajin dan buruh di usaha keluarga Bu Mamik.

"Apa-apaan ini, laki-laki sudah capai cari duit malah dibiarkan tidur di kursi!" suara Bu Mamik terdengar melengking memecah kesunyian pagi.

Gina merasa sangat enggan keluar kamar dan meladeni omelan Bu Mamik, namun semakin lama dia berdiam diri di kamar ocehan mertuanya itu tak kunjung reda. Dengan muka yang kusut masai, rambut acak-acakan dan kantong mata yang tampak menggantung, Gina bulatkan tekad untuk keluar kamar.

Badan Gina tampak sangat memprihatinkan, bahkan sekedar berjalan saja tampak begitu gontai. Namun semua kondisi itu tak jua mampu menimbulkan sedikit iba dalam hati Bu Mamik. Kekesalan dan kemarahan tergambar jelas dari wajahnya yang memerah dan mulut yang tak henti-hentinya memuntahkan segala sumpah serapah.

"Hari masih pagi, Bu. Daripada marah-marah mending Ibu menemani bapak jalan-jalan dan olahraga biar badan dan pikirannya segar," Gina berujar enggan.

"Lancang Kamu! Tak ada sedikit pun hak Kamu untuk memerintah Ibu!" sorot mata Bu Mamik tampak begitu menyeramkan, kilat dan badai kemarahan jelas tergambar dari tatapan yang menghujam jauh ke dalam manik-manik mata Gina.

Andai bisa, ingin rasanya Gina menjambak-jambak rambut wanita baya dihadapannya atau sekedar menyumpal mulut bawel itu dengan kain lap sehingga tidak terus mencerocos. Reflek tangan Gina memegang kepalanya, sesekali tampak jari-jari tangannya lincah memijit kening dan pelipis ketika denyut di kepalanya semakin menghebat.

"Lagian Ibu itu aneh, masuk ke rumah orang tanpa permisi terus seenaknya saja marah-marah," Gina masih enggan menanggapi kemarahan Bu Mamik yang tanpa dasar.

"DENGAR!! Ibu tak akan pernah bisa ikhlas melihat anaknya yang sudah bekerja keras mencari nafkah hanya tidur di kursi ruang tamu seperti ini!" Bu Mamik yang semakin kehilangan kesabaran berteriak histeris sambil menuntuk ke tubuh Hadi yang masih terlelap di kursi ruang tamu.

"Masih beruntung Kang Hadi yang mabuk bisa sampai rumah," Gina menjawab sekenanya dengan kedua tangan masih memegangi kepala.

Alih-alih bisa peka dan mengerti akan kondisi menantunya itu, Bu Mamik justru semakin berang "Ooooo ... jadi Kamu lebih suka jika suami tidak pulang atau bahkan mati ya! Jadi Kamu bisa bebas berselingkuh dengan laki-laki mana pun yang diinginkan!" mulut Bu Mamik semakin pedas mengeluarkan caci maki yang justru memperuncing perselisihan yang ada.

Jangan Ada Lara (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang