Page 3

1.5K 297 56
                                    

"Kau serius?!"

"Apa aku terlihat sedang bercanda?" Lisa menimpali dengan kesal.

Jennie menghela napas pendek dan menyandarkan punggung. Bus dua pintu ini tidak terlalu ramai, keduanya duduk di kursi ketiga urutan dari belakang, bus juga melewati dua halte sepi barusan. Setelah keluar dari ruangan khusus “orang bermasalah”, Lisa menjelaskan singkat tentang percakapannya dengan Kwon Soo-ahn dan Jeon Jungkook. Dan seperti tebakannya, Jennie—kawannya dari SMA—memberikan tanggapan dengan mata mendelik, suara pekikan tertahan, serta gigi-gigi yang mengatup geram. Well, anggap saja itu suatu kebiasaan; kebiasaan melebih-lebihkan keadaan.

"Jadi?" Jennie memastikan begitu kekagetannya mereda, menatap Lisa.

"Jadi?" Lisa mengangkat alis sebelah kiri. "Jadi apa?"

Jennie berdecak. "Jadi kau akan ke sana atau tidak?"

Lisa mengangkat bahu, meluruskan pandangan. Bus berhenti di halte ketiga—lima ratus meter dari halte kedua—yang lumayan ramai. Beberapa murid sekolah dan orang kantoran masuk, mengambil tempat duduk secara random.

"Ini akan menjadi bencana besar, Lisa." Jennie memasang wajah serius. "Jauh lebih besar ketimbang masalahmu dengan King Card."

"Jangan menakut-nakutiku, Jennie Kim." Lisa geleng-geleng kepala. "Aku hanya perlu datang dan masalah selesai. Lagi pula, Guru Kwon hanya menyuruh Tuan Psikeater supaya mencatat perkembangan mentalku."

"Itu namanya masalah besar!" Jennie memukul pahanya sendiri. "Tanpa tahu, kau sudah dicap sebagai 'mahasiswa berkebutuhan khusus', Lisa."

"Ya! Aku normal!" Lisa menahan suara di tenggorokan.

"Normal?" Jennie tergelak mengejek. "Perempuan normal mana yang menyukai perempuan, huh? Seisi kampus sudah mendengar rumor Sunmi sunbae menyukaimu, dan mereka bilang kau dan aku berpacaran. Apa itu normal?"

"Tapi aku tidak menyukaimu, Jennie." Lisa menggeleng yakin.

"Ya, ya, ya. Kau boleh bilang begitu, tapi semua orang tahu kalau kau tidak menyukai lelaki."

Lisa membuang pandangan dan mendengus. Merapatkan punggung ke sandaran kursi, kemudian kembali menatap Jennie yang masih menunggu pembelaan darinya. "Kau tahu aku, Jen."

"Tentu. Aku tahu betul siapa kau dan penyakit sialanmu. Tapi bisakah jangan selalu melibatkanku di setiap masalah yang kau buat?"

Lisa maupun Jennie bungkam. Keduanya diam saling berpandangan. Lisa menjauhkan kepala, sepasang matanya sedikit terpicing, menyelidik wajah Jennie. "Kau... marah, Jen?"

Jennie mengempaskan napas, memalingkan kepala keluar jendela, satu tangannya mengepal untuk menopang dagu di kaca. "Menurutmu?"

Lisa berangsur-angsur menjatuhkan pundak, tatapan matanya mengendur. Rasa bersalah mendadak membebat pikirannya. Ia menunduk, memerhatikan celana jeans bagian paha.

Meskipun sangat menyebalkan, Jennie tetaplah Jennie—teman baik Lisa satu-satunya sejak SMA. Keduanya sudah berteman cukup lama. Dan selama itu, mereka berdua sudah berbagi banyak hal. Dulu sekali, saat Lisa pertama kali menceritakan ‘kisahnya’, Lisa tidak bisa melupakan bagaimana wajah terkejut sekaligus ekspresi sedih saat Jennie mendengarnya bercerita. Tetapi untuk masalah sekarang, ini kali pertama Lisa melihat Jennie marah karena kisahnya.

Jennie menoleh dan menurunkan tangan, menyikut lengan Lisa. "Hei, aku bercanda."

"Eh?" Lisa mendongak bingung.

Jennie tersenyum hingga kedua mata sipitnya tertimbun pipi. "Tidak ada alasan yang membuatku marah."

Lisa semakin dibuat bingung.

TINKERBELL || LizkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang