CHAPTER 4
***
Ziano meniup-niup wajah Ana, guna membangunkan Ana yang sedang tertidur pulas.
" Enghh ...." Ana mengerang kecil, membuat Ziano terkekeh.
"Gue kira lo bakal bangun, ternyata cuma gitu doang." Ziano berdecak pelan, melihat kelakuan Ana saat tertidur.
"Woi curut! Bangun!" Ziano sedikit menaikkan suaranya.
PLAK!
Tangan Ana melayang begitu saja ke wajahnya, membuatnya terlonjak kaget.
"Buset! Niat gue mau bangunin lo. Bukan ngajak berantem! Eh ... malah wajah gue dipukul. Untung-untung wajah gue gak penyek gara-gara lo," gerutu Ziano kesal, sambil meraba-raba wajahnya.
"Berisik!" balas Ana dengan suara seraknya. Namun Ana tetap tertidur, tanpa mau membuka matanya.
"Lo mau tidur di mobil? Ha?" tanya Ziano, dengan kesabaran yang masih terselip.
"Apaan, sih?! Jalan lagi sana. Ngapain berenti di tepi jalan," ujar Ana dengan tak sadar.
"Mimpi apa, sih lo?!" tanya Ziano geram.
Hanya terdengar gumaman dari mulut Ana. Ziano menghembuskan nafas panjang. Lalu keluar dari mobil.
"Kebo banget, bikin lambat aja. Gue juga belum mandi. Nyamuk juga udah banyak mepet-mepet ke gue, gara-gara lo, Ana." Ziano membuka pintu mobil Ana, lalu menggendongnya.
"Aa! Gue melayang!" Ana terlonjak kaget saat dirinya digendong oleh Ziano.
"Lebay lo! Telinga gue kasihan, curut!" balas Ziano, masih dengan posisi menggendong Ana.
"Malam minggu sekarang," ucap Ana dengan kesadaran yang perlahan mulai terkumpul.
"Ngapain lo?" tanya Ana heran, saat Ziano hendak menurunkannya.
"Nurunin lo, lah. Ngapain lagi? Gelindingin lo?"
"Gak boleh! Tetap gendong!" perintah Ana, dengan tangan yang dilingkari ke leher Ziano.
"Monyet!"
"Sahabat lo!" balas Ana, sambil membuka pintu.
"Sahabat gue lo. Berarti lo juga monyet," kekeh Ziano, berhasil mengalahkan Ana.
"Iya, lo menang." Ana memutar bola matanya.
"Kok--" Bunda Ana terheran-heran saat melihat Ana digendong. Ya ... walaupun tak langka lagi baginya. Namun, aneh saja. Biasanya, Ana digendong saat Ana terjatuh atau terjadi sesuatu.
"Monyet tidur, Bun," jawab Ziano membuat Ana berdecak kesal.
"Aduh, Ana ...." Bunda Ana geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya itu.
"Gapapa kali, Bun. Zian aja gak masalah." Ana melirik ke arah Ziano.
"Gapapa kepala lo," balas Ziano tak terima.
"Turun Ana, turun ...," ucap sang Bunda dengan perasaan geram.
"Turunin, monyet! Ngapain masih gendong-gendong gue? Nyaman banget gendong gue," ujar Ana membuat Ziano melotot.
Bukan! Bukan masalah Ana meminta turun, tapi masalah Ana menanyakan 'ngapain masih gendong-gendong gue'. Jelas saja itu fitnah.
"Lah? Kok di sini kayak gue yang salah?" tanya Ziano tak terima.
"Terus? Gue yang salah gitu? Cewek gak pernah salah, ya!" tegas Ana.
Bunda Ana geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua anak SMA ini. Selalu begini jika bersama. Tiada hari tanpa suara ributan, tuduh menuduh.
"Mau debat terus? Gak mau mandi dulu? Gak lihat? Nyamuk juga ikutan berantem sama kalian berdua?" tanya Bunda Ana, membuat keduanya terdiam. "Mandi dulu, baru berantem. Biar nyamuknya gak ikutan," lanjut Bunda Ana membuat keduany tertawa.
"Sana lo mandi dulu. Gue juga mau mandi," suruh Ziano, sembari memegang bahu kiri Ana.
"Eh, iya. Lo nanti malam main ke sini, 'kan?" tanya Ana membuat Ziano berdecak.
"Lo nanya kayak gitu, seakan-akan gue orang lain yang jarang ke rumah lo. Hampir tiap jam gue ke rumah lo. Iya, 'kan, Bun?" Ziano melirik ke arah Bunda Ana yang sedang memijit pelipisnya.
"Mending kalian mandi. Kalo Bunda ladeni, kalian gak akan mandi-mandi, malah lanjut debat." Bunda Ana berdecak geram.
"Ya udah, Zian pulang dulu, Bun." Ziano mencium tangan Bunda Ana.
Tak heran lagi jika Ziano akrab dengan Bunda Ana. Ziano sudah menganggap Bunda Ana Bundanya juga, begitu juga Ana sebaliknya.
"Hati-hati, Zian," ucap Bunda memperingati.
"Ya elah, Bunda. Rumah Zian cuma beberapa langkah, kok," ucap Ziano terkekeh.
"Melawan aja lo!" timpal Ana sewot.
"Apaan, sih? Sewot aja lo curut!" balas Ziano, lalu melangkah keluar.
"Udah, Ana ... mandi sana. Nyaman banget kamu gak mandi," cibir Bunda membuat Ana memanyunkan bibirnya.
"Bunda kok gitu ...." Ana merengek bak anak kecil.
"Udah, sana mandi."
Ana mencuri satu ciuman di pipi Bundanya, lalu melangkah masuk ke kamarnya yang berada di lantai atas. Ana menginjak satu persatu anak tangga sambil bersenandung.
"Hp gue mana?!" Ana merogoh isi tasnya, namun ia tak menemukan handphonenya.
"Ah! Pasti tinggal ni, di mobil Zian."
Ana kembali turun, melupakan tasnya yang masih ia gandeng di bahu kiri.
"Kemana lagi?" tanya Bunda heran.
"Ke rumah Zian," balas Ana, lalu kembali melangkah.
"Kamu gak numpang mandi, 'kan, Ana? Air di rumah cukup kok!" ucap Bunda membuat Ana terkekeh.
"Gak kok, Bunda. Handphone Ana ketinggalan di mobil Zian. Ni mau ngambil."
"Nanti aja," saran Bunda, namun Ana menggeleng.
"Ya udah," putus Bunda akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Friends to Lovers✅
Novela JuvenilPersahabatan. Satu kata yang menjadikan kita dekat. Satu kata yang membuat kita selalu bergenggaman tangan. Satu kata yang membuat rasa sayang, cinta, kasih menjadi satu. Persahabatan berbeda jenis, tak bisa memungkiri timbulnya rasa suka--lebih tep...