Invisible 1

112 3 1
                                    

Seharusnya di bulan ke empat pernikahan kami akan menjadi bulan terindah yang pernah ada dihidupku. Niken istriku yang lembut dan manis itu memberi kabar bahagia. Ketika itu pukul enam sore sepulang dari kantor, seluruh penat dan kelelahanku seperti menguap sirna melihat wajahnya tersenyum sumringah menyambutku di teras rumah. Terlebih ketika dia menyediakanku teh hangat manis-manis jambu, dia menghadiahiku sebuah tespack dengan dua garis merah terang, aku memeluknya dan mengelus pelan perutnya yang masih rata, lengkap sudah kebahagiaanku kala itu.

***

Pemakaman terasa begitu menyesakkan dadaku, tak adalagi airmata yang mengganjal dipelupuk mata, hanya sesal dan kehilangan menyakitkan, aku tau hari ini kehilangan itu masih berada dilevel terbawah dan level itu akan semakin tinggi seiring berjalannya hari. Aku masih belum yakin apakah aku akan mampu melewatinya?

Nikenku yang kucintai telah pergi, membawa hatiku dan calon anakku bersamanya. Kehamilan ektopik yang dipertahankan karena rasa cintanya kepada makhluk yang belum berbentuk itu membawanya pulang menghadap Ilahi. Tinggallah aku sendiri, seharusnya dia membawaku serta, bukan meninggalkanku seperti ini. menghadapi hari esok saja rasanya aku tidak akan sanggup. Siapa yang menyiapkan bajuku? sarapanku? memakaikan dasiku? menyuguhiku senyum menawan dan teh hangat disore hari? Tuhan, ini sungguh menyakitkan.

Perlahan-lahan pelayat yang mengantarkan Niken ke peristirahatan terakhirnya bubar, kebanyakan dari mereka menghampiri keluarga Niken dan tentu saja juga menyapaku, memberikan kalimat-kalimat seperti : Yang sabar ya, turut berbelasungkawa ya, semoga Istrimu bahagia di sisi Allah, tapi kalimat pertama adalah yang paling sering, seperti mereka bisa bersabar saja jika mengalami hal sepertiku ini. Tapi aku hanya tersenyum lemah dan mengangguk menjawab rasa simpatik yang tidak kusukai ini, membuat rasa hampa dan kehilangan ini semakin nyata saja.

"Makan dulu mas, aku ambilkan ya?", Kata Nuning kepadaku yang baru masuk ke rumah duka dengan terduduk lesu, kemudian aku duduk dengan kepala merebah pada sandaran kursi jepara milik ibu mertuaku. Memang disini Niken terakhir disemayamkan, rumah sewa kami memang tak jauh dari sini, tapi ruang tamunya kecil dan halamannya nyaris tak ada.

"Ndak usah Ning, mas belum laper, nanti saja", kataku pada Nuning, adik bungsu dari istriku yang tiga bersaudara, ada Mas Angga, Niken dan Nuning anak di keluarga ini. Nuning mengangguk lemah, tampak sedih dan khawatir ketika menatapku.

"Yo wis, nanti kalo mas mau makan panggil Nuning saja", Nuning masuk kedapur untuk mengambil sapu, lalu membersihkan ambal tempat para pelayat tadi, rumah sudah tak seramai tadi, hanya tinggal keluarga dekat yang  bersedia jauh-jauh datang yang tersisa. Aku mengangguk lalu bangun menuju sebuah kamar yang dulu ku tempati bersama Niken ketika kami masih menumpang disini.

Kamar ini sangat rapi, berbeda dengan ketika siang tadi kutinggalkan. Sebelumnya bantal berserakan, sprainya nyaris terlepas dan jendelanya tertutup. Aku ingat betul ketika mengambil jam tangan dan dompet sebelum menuju pemakaman, kamar ini tidak seperti ini. Kini sprainya rapi dengan dua bantal tersusun manis di ujung tempat tidur, selimutnya telah terlipat dan kain jendela telah tersimpul di tepiannya. Ah mungkin ibu atau Nuning yang merapikan, fikirku. Lalu mataku terpaku pada mesin jahit Niken, di atasnya ada segelas air dan post it berwarna hijau stabillo, ada vitaminku tergeletak disana, vitamin yang rutin kuminum tiap pagi. Pada post it itu tertulis Jangan lupa di minum mas. Aku tertegun menatapnya, bukan pada kalimat sederhana atau segelas air dan Vitamin itu, tapi ini adalah tulisan Niken! Kapan dia menulisnya? kapan dia meletakkannya disini?

Segala tanya dan jawaban terangkai dikepalaku, tapi apa mungkin Niken meletakkannya sehari sebelum ia meninggal? Bukannya pendarahan hebat yang dialaminya membuatnya nyaris tak bisa bangkit dari tempat tidur? lalu siapa? apa mungkin nuning? tapi ketika aku membantunya mengerjakan tugas tulisannya tidak bersambung begini. Aku yakin ini tulisan istriku, tapi kapan? Aku semakin kebingungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dikepalaku. Tapi tetap kubuka bungkus alumunium foil vitamin c ku, memasukkannya kedalam mulut lalu menelannya bersama air putih. Nikenku paling tau kalu mulutku yang hipersensitif ini tak bisa mengemut obat-obatan sekalipun tidak pahit. Dia selalu menyediaan air putihnya.

Hatiku menghangat, aku tau perasaan bahagia yang sentimentil ini seketika menyergapku. Kuhapus air mataku yang meleleh tanpa kusadari. Kubuang segala prasangka, aku tak perduli bagaimana caranya, yang pasti vitamin dan air putih ini adalah dari Niken. Bagiku saat ini itu saja sudah cukup. Ku ambil post it itu dan memasukkannya kedalam dompet, kuanggap saja pelipur laraku ketika merindukannya.

Mau tau respon pembaca dulu deh baru ngelanjut, makasih yang udah mau mampir. Votenya dong? #nyengirkuda (Btw kalo typo-typo ya muun maap :))

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Invisible LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang