bagian 1

167 14 2
                                    

Aku masih terbaring diatas tempat tidur yang kini justru beralih fungsi menjadi tempat baju karena Yola sibuk membongkar seluruh isi lemarinya hanya untuk mencari pakaian yang menurutnya pas.

"Yang mana dong? Gue bingung." Yola masih membuka setiap helai pakaian dari mulai yang digantung sampai dilipat tidak ada satupun lolos dari perhatiannya.

"Pakai warna kuning bagus gak?" Ia menunjukan dress berwarna kuning kunyit padaku.

"Bagus." Aku hanya melirik sekilas dan kembali fokus pada layar ponsel.

"Bilang bagus tapi yang dilihat hp." Yola mulai menggerutu, tidak terima dengan jawaban singkat dariku.

"Baju itu udah sepuluh kali kamu tunjukan." Aku bangkit dan duduk di tepian ranjang menghadap Yola. "Pakai saja apa yang menurutmu nyaman. Bagus tapi tidak nyaman percuma."

Yola memang selalu mempersulit hal yang sebenarnya mudah dan tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sebuah gaun yang tentunya ia sudah hafal diluar kepala.

"Tapi, ini pernikahan Ade dan Riska. Aku harus tampil beda."

Aku kembali menghela lemah setiap kali nama Ade dan Riska keluar dari mulut Yola.

"Memangnya kenapa? Ada apa dengan mereka berdua?" Aku pura-pura tidak tau, meskipun sebenarnya aku tau alasan Yola ingin tampil cantik di pernikahan kedua teman SMA kita dulu itu.

"Ade itu mantan pacarku dulu. Jadi aku tidak mau kalah cantik dengan si pengantin wanita." Alasan sama untuk setiap pertanyaan berbeda. Yola tidak ingin tersaingi.

"Itu hanya mantan pas jaman cinta monyet." Kali ini aku benar-benar beranjak dari ranjang dan memunguti satu-persatu pakaian yang berceceran di lantai.

"Lagipula belum tentu Ade menganggapmu sebagai salah satu mantannya, kalian cuman pacaran selama dua puluh empat jam doang."

Siapa yang tidak ingat kisah dua puluh empat jam antara Yola dan Ade. Kisah mereka berdua pernah menjadi hot gosip waktu itu, karena Yola menangis hebat setelah Ade memutuskannya.

"Justru karena itu. Aku ingin membuktikan, aku yang sekarang cantik dan menarik. Bukan Yola cupu si gadis kampungan lagi." Yola dengan bangga mengibaskan rambut dengan jarinya, "Dia pasti menyesal setelah melihat perubahan yang aku alami." Lanjutnya sambil tersenyum pongah.

Yola memang sangat terobsesi menjadi cantik bak model majalah dewasa. Goals dalam hidupnya yang sedikit demi sedikit mulai terwujud. Yola lebih baik dari diriku, setidaknya hidupnya memiliki tujuan tidak seperti diriku yang hanya mengikuti arus kemana nasibku berakhir. Aku tidak lagi bersemangat dalam menggapai cita-cita atau apapun itu. Setelah insiden memalukan yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidup, aku tidak lagi merasa punya harapan. Hidupku sudah hancur berkeping-keping tak bersisa.

"Bajumu mana?" Tanya Yola setelah ia memutuskan memakai gaun berwarna putih untuk dikenakannya hari ini.

"Gak ada." Jawabku.

"Kenapa?"

"Gak kenapa-kenapa. Aku memang tidak berniat datang."

"Kenapa begitu? Gak ada uang? Kamu bisa pakai uangku dulu."

Banyak hal buruk terjadi di hidupku, namun dari kebaikan yang masih tersisa salah satunya adalah Yola. Aku sangat bersyukur memilikinya. Entah apa yang telah aku perbuat padanya sehingga dia memperlakukanku dengan sangat baik dan masih menganggapku manusia normal.

"Uang masih ada." Meskipun dompetku tidak pernah dihuni banyak oleh kertas merah cap dua bapak-bapak, namun sampai hari ini masih terisi meski hanya kertas hijau dan biru yang menjadi penghuni setia.

"Terus kenapa?" Meski bertanya namun nada suara Yola terdengar kesal membuatku menoleh padanya. "Aku gak niat datang. Udah itu alasannya."

"Gak bisa gitu dong!" Yola menghampiriku, menarik beberapa pakaian dari genggaman tangan. "Kamu harus datang. Riska ngundang kita. Bahkan mewanti-wanti sejak awal."

Aku hanya mengangkat bahu, "Dia gak bakalan sadar kalau cuman satu tamu yang gak hadir. Tamunya pasti banyak, nanti juga dia lupa."

"Ini yang kamu maksud lupa?" Yola mengacungkan ponselnya tepat ke hadapanku. "Dari subuh dia sudah ngingetin!"

Sekilas aku membaca pesan Riska yang berisi tidak jauh beda dengan yang di ucapkan Yola barusan.

"Buruan mandi. Ganti baju." Yola mendorong bahuku, "Pakai baju ini. Pasti cocok kamu pakai." Ia meraih sebuah gaun berwarna merah muda dan memberikan padaku. "Gak pake lama!" Lanjutnya.

Aku hanya bisa menghela lemah. Semenjak beberapa tahun lalu aku tidak pernah lagi berada di dalam kerumunan banyak orang. Tatapan-tatapan mengintimidasi mereka masih menjadi musuh terbesar dihidupku. Meskipun aku mencoba mengobati rasa takutku sendiri, namun semakin aku mencoba rasa sakit itu justru terasa semakin membunuh keberanianku secara perlahan.

"Aku gak usah datang ya?" Meskipun sudah mengganti pakaian dengan gaun berwarna merah muda pilihan Yola.

"Kenapa lagi sih, Ra?"

"Gue malu." Jawabku pelan.

"Malu kenapa?" Tanya Yola mengusap pundakku secara perlahan dan menatapku lewat pantulan cermin yang berada di hadapanku.

"Aku takut salah satu tamu pernikahan Riska masih ada yang simpen video itu." Aku tertunduk lemas.

"Gak mungkin. Ade udah jamin, gak bakal ada yang masih simpen video itu."

Aku tidak yakin, meskipun Ade dan Rika berulang kali mengatakan video itu tidak bisa diputar lagi dimanapun.

"Ade dan juga Bang Iman bilang video itu gak bakalan ada lagi, mereka udah kasih virus yang bisa merusaknya secara otomatis. Percaya sama aku dan juga mereka." Yola berusaha meyakinkanku dan membuat aku mendongkak menatapnya.

"Meskipun video itu udah gak ada tapi memori ingatan manusia gak bisa dihapus gitu aja, Yol. Aku yakin mereka masih ingat."

"Gini aja." Yola menggeser kursi yang kutempati hingga menghadap ke arahnya. "Kita datang pas acara udah mau selesai aja. Gimana?"

Aku tidak yakin dengan saran Yola, tapi itu lebih baik.

"Yang penting kita datang jangan sampai Ade dan juga Riska marah, gara-gara kita gak hadir di acara spesial mereka."

"Ade dan juga kakaknya sudah banyak membantu, setidaknya kita memberi selamat untuk acara istimewa di hidupnya sebagai rasa terimakasih karena sudah membantu." Lanjut Yola.

Aku pun akhirnya mengangguk setuju.

Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya. Baik yang disengaja maupun tidak. Begitupun denganku, berjuta penyesalan yang kurasakan rupanya tidak membuat keadaan lebih baik. Sampai detik ini aku masih merasakan akibat dari kesalahan yang pernah kuperbuat dulu. Aku merasa menjadi bintang film panas, karena video hubunganku dan Gibran tersebar luas. Sampai hari ini tidak aku tidak tau siapa yang menyebarkan video tersebut, bahkan sampai detik ini pun aku tidak tau keberadaan Gibran. Lelaki itu menghilang, satu hari setelah vidio itu beredar.

Semua kesalahan dilimpahkan padaku, bahkan aku nyaris masuk Rumah sakit jiwa akibat tekanan sosial dan juga malu yang begitu dahsyat menghantam hidupku.

Saat ini aku hanya bisa bersembunyi di tempat kecil yang aku anggap rumah dan tempat paling aman, yaitu kontrakan yang aku dan Yola tempati.

Aku tidak bisa bekerja seperti orang lain, tidak ada perusahaan yang mau menerima karyawan sepertiku. Selain menghindari pelecehan dari kaum lelaki, juga untuk menghindari tatapan sinis dari orang lain, aku memilih bekerja dari rumah. Yaitu sebagai penulis novel online.

Tidak banyak penghasilan yang kudapat dari menulis online, aku pun berjualan online dan membuka jasa skripsi online. Semua aku kerjakan secara online. Tentu saja dengan nama samaran, agar tidak ada orang yang bisa mengenaliku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEAR MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang