Bab 11

553 83 69
                                    

Pelan, Araya melangkah. Melewati kerumunan orang-orang di sekitar yang kini kehadiran mereka tak lagi menganggunya. Juga suara-suara memekakkan seakan perlahan menghilang dari pendengaran. Bibirnya pun tak henti membentuk sebuah lengkungan indah.

"Akhirnya, kita bertemu lagi ...." Araya bergumam saat ia sudah berdiri tepat di samping lelaki itu.

Suara decitan kursi terdengar saat ia duduk. Menunduk dalam saat menyadari lelaki itu menoleh ke arahnya. Hingga, tanpa menyapa, sebuah pertanyaan lebih dulu lolos ia ucapkan.

"Kakak mau pergi?"

Beberapa detik kemudian, Nathan kembali menoleh ke arah perempuan itu dengan heran. Ia menengok ke kanan-kiri, barangkali memang ada orang lain yang sedang diajak bicara oleh perempuan yang tidak ia kenal itu.

"Bicara dengan ku?" tanya Nathan pada akhirnya, saat menyadari bahwa hanya ada dirinya dan perempuan di sampingnya ini yang duduk di jajaran kursi ke dua. Dan mungkin saja, perempuan itu memang berbicara dengannya.

Araya menghela napas kasar. Kesal! Rupanya lelaki itu tidak mengenalinya, padahal Araya selalu ingat padanya. Duh, kenapa jadi menyesakkan?

"Aku juga mau pergi padahal aku gak mau pergi." Sebenarnya, Araya merasa aneh dengan perkataannya barusan. Namun, hal itu memang benar adanya bukan? Lagipula peduli atau tidak, Araya tetap ingin mangobrol dengan lelaki itu sebentar. Setidaknya sampai keduanya saling mengenal.

Nathan mengangguk, meskipun tak mengerti kenapa perempuan itu berbicara sesuatu yang tidak ia mengerti maksudnya. "Memangnya kamu mau pergi ke mana? Jika tidak mau kenapa memaksa harus pergi?" Nathan merespon. Dengan berusaha menjadi teman baik untuk seseorang yang tidak ia kenal itu, yang ia tebak mungkin sedang mempunyai masalah.

Araya mengedikkan bahu. "Ya, namanya juga seorang anak yang harus menuruti keinginan orang tuanya. Maka tak ada pilihan lain, bukan?" Ingin sekali Araya tersenyum, tetapi ia mencoba untuk menahannya.

Tapi aneh juga, kenapa lelaki itu peduli? Ah, Araya tidak mau banyak berpikir, mungkin tabiat lelaki yang ia sukai itu memang sangat baik—lelaki idaman—lebih tepatnya.

"Ya, benar, itu memang suatu kewajiban apalagi jika untuk kebaikan kamu sendiri. Maka tak ada alasan lain untuk membangkang 'kan?"

Ucapan lelaki itu berhasil membuat hati Araya seakan berbunga meski tak kasat mata. Senang luar biasa, saat terindah yang ia nantikan akhirnya terwujud. Entah, harus berapa banyak Araya bersyukur akan hadiah dari buah rasa sabar yang ia tanam selama ini.

"Tapi aku suka tempat baru, kamu tahu alasannya? Dari sana kita bisa menemukan banyak hal," ujar Nathan seraya menengadah melihat langit biru di luar jendela besar sana. Harapan ia simpan, akan masa depan yang kelak memberi perubahan baik dalam hidupnya.

Namun, berbeda dengan Araya karena perempuan itu justru merasa khawatir. Apakah pertemuan ini akan berakhir di sini saja? Karena nyatanya lelaki itu pergi, bahkan Araya juga akan pergi. Kenapa sesulit ini?

"Apa Kakak akan kembali?" tanya Araya kemudian, seraya menoleh ke arah lelaki itu. Menyadari bagaimana lelaki itu tampak bingung saat melihatnya. Membuat Araya lantas kembali berucap, "Aku Araya, pasti Kakak lupa. Perempuan yang kakak tolong waktu itu."

Nathan terdiam beberapa saat mencoba mengingat nama yang perempuan itu sebutkan. Araya?

Sampai akhirnya ingatannya terlempar ke beberapa bulan yang lalu. Saat ia melihat seorang perempuan SMA yang tengah dimarahi oleh wanita tua di depan banyak orang yang hanya diam menyaksikan.

Ah, iya, Araya Maharani. Nama lengkap yang ia temukan di sebuah name tag yang terapit di kerudung perempuan SMA itu. Nathan mengangguk berulang kali, satu tangannya mengusap dagu.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang