Chapter 16. Pengakuan Cinta Viani

265 36 2
                                    

Sekarang adalah dini hari. Lebih tepatnya, sekarang adalah jam tiga pagi. Aku terbangun dalam gelapnya malam. Cahaya yang ada hanyalah cahaya bulan yang menembus tirai jendela.

Aku bangkit dari kasur. Merenggangkan tubuh dan menguap beberapa saat. Aku mengusap mata yang masih mengantuk itu dan berdiri. Jelas ada kotoran di kataku, tapi aku langsung mengusirnya. Kedua kakiku berjalan menuju pintu yang tertutup. Tak lama, aku sampai dan membuka pintu.

Di depan ruangan, ada lorong yang cukup panjang. Lorong itu gelap dan sedikit menyeramkan. Orang yang tidak terbiasa dengan ini akan ragu untuk melewati lorong gelap. Mereka mungkin menganggap lorong itu berhantu. Itu wajar. Aku pernah melihat beberapa hantu yang lalu lalang, tapi aku tidak memperdulikan hantu itu. Para hantu itu juga tidak pernah mengangguku.

Jika ditanya apa aku takut dengan hantu, aku akan jawab tidak. Hantu di rumah ini sudah kuanggap sebagai bagian dari keluargaku. Aku bahkan pernah memanfaatkan hantu untuk hal-hal kecil seperti menutup pintu kamar dan menyalakan keran. Apa mereka masalah dengan itu, aku tidak memperdulikan mereka. Jika mereka menggangguku, aku akan memanggil dukun dan mengusir mereka.

Aku bukanlah indigo atau memiliki indera keenam. Di rumah ini, bukan hanya aku saja yang bisa melihat hantu. Kedua orang tuaku juga bisa melihat hantu. Mereka sama seperti. Sejak mereka kecil, mereka sudah bisa melihat hantu bahkan sampai berinteraksi dan berteman. Itu mungkin menurun kepadaku. Sehingga aku bisa melihat mereka dan berinteraksi dengan mereka.

Aku berjalan di lorong gelap itu menuju lantai satu. Tujuanku ke sana adalah dapur. Ya, aku terbangun di pagi buta ini hanya untuk mengatasi hausku. Segelas air putih mungkin cukup untukku. Ya, ini sering terjadi. Terkadang, aku sedikit kesal karena terbangun hanya karena haus atau tidak tahan untuk pergi ke toilet. Tapi, aku tidak tahu harus kesal kepada siapa.

Jumlah anak tangga itu banyak. Karena aku malas menghitung jumlahnya, aku tidak akan mengatakan seberapa banyak anak tangga. Aku pikir itu ada dikisaran lima belas atau dua puluh. Entah lah. Aku tidak ingin mempermasalahkan jumlah anak tangga yang tidak penting untuk pengembangan karakterku.

Kakiku menuruni anak tangga satu persatu. Ruang tamu yang ada di bawah langsung terlihat. Tidak seperti lantai dua yang sangat gelap, lantai satu terang benderang. Lampu di ruang tamu, dapur, dan bagian lainnya tidak pernah dimatikan. Aku tidak tahu alasannya, tapi itu cukup menyilaukan mata karena aku sudah terbiasa melihat dalam gelap. Aku menutupi mata ketika cahaya dari lampu itu bersinar dan menghujam mataku. Hanya butuh beberapa lagi dan aku sudah tiba di lantai satu.

Di depan penglihatanku, itu adalah ruang tamu. Sofa, meja, televisi, dan rak berada dalam ruangan yang tadi siang aku tempati itu. Di kiri, aku sudah dapat melihat meja makan yang memiliki banyak sekali kursi dibandingkan anggota keluargaku. Meja itu berwarna coklat dan sangat panjang. Itu mirip seperti meja para bangsawan. Hanya perlu menambahkan lilin dan buah-buahan di tengah untuk menjadikan meja itu seperti meja bangsawan.

Sudah tidak perlu ditanyakan lagi, aku mengambil jalan ke kiri. Dapur berada tepat bersebelahan dengan ruang makan. Jadi, tentunya aku akan mengarah ke sana. Tidak mungkin untuk pergi ke ruang tamu karena dispenser air tidak ada di sana. Ya, mungkin di sana ada teko yang berisi teh yang digunakan oleh ibunya waktu sore tadi. Tapi, aku tidak begitu menyukai teh.

Ketika aku sampai di dapur, aku sempat mengusap mataku beberapa kali. Mencoba memastikan penghilatanku benar atau salah. Itu tidak pernah aku duga sebelumnya. Bahkan, aku tidak mengetahui kapan ia ada di sini. Seorang wanita cantik berambut hitam panjang yang digerai mengenakan piyama berwarna biru dengan motif kepala iblis sedang meminum susu langsung dari bungkusnya. Itu adalah Viani.

"Vi-Viani, kau bangun juga?" tanyaku dengan sedikit gugup.

Saat itu, aku mengutuk kegugupan dalam kata-kata itu. Walau aku tahu Viani merupakan wanita yang sangat cantik, aku tidak tahu mengapa aku tergugup. Yang pasti aku tidak terpesona dengan kecantikannya. Aku bisa pastikan itu. Jika aku terpesona karena kecantikan, seharusnya aku sudah jatuh cinta kepada Desi atau Bella yang menempel padaku. Atau aku akan jatuh cinta pada Tania ketika dirinya memperkenalkan diri pertama kali.

Viani yang menyadari kehadiranku melepaskan susu itu dari bibir merah mudanya. Ia mengelap bibirnya menggunakan ujung lengan piyama. Ia menatapku beberapa saat dan kemudian mengangguk. "Aku haus, jadinya aku mencari sesuatu di kulkas."

Tapi, itu susuku!

Ketika aku ingin berteriak seperti itu, mulutku tidak mengeluarkan suara itu. Ya, aku tidak mempersilahkan siapa saja meminum susuku itu. Tapi, Viani langsung meminumnya tanpa menuangkan susu itu ke gelas. Ya, aku sering melakukannya sih. Namun tetap saja, itu sedikit mengangguku.

Setelah mendengar jawaban dari Vaini itu, aku berjalan untuk mengambil gelas. Gelas bening yang terbuat dari beling aku isi dengan air putih. Kemudian, aku meminum air itu dalam sekali teguk. Seketika itu juga, rasa segar menyebar ke seluruh tubuh. Dahaga yang tadinya mengganggu kini menghilang tanpa jejak. Membuatku lega karena sudah menyelesaikan misi.

Gelas itu kutaruh di wastafel seperti biasa. Setelah itu, aku memandangi Viani yang sedang menaruh susu kembali ke kulkas. "Hey, Viani! Kau tahu mengapa Bella dan Desi memperlakukan diriku seperti majikan mereka?"

Jelas itu mengejutkan Viani. Itu bisa dilihat dari ekspresi terkejutnya dan matanya yang melebar. Walau begitu, kecantikannya masih tetap terjaga. "Ada suatu alasan untuk itu."

"Apa itu?"

"Apakah kau akan mempercayai kami?"

Aku sedikit memiringkan kepala, mencoba untuk memahami perkataan dari Viani. "Tenang saja. Aku akan mempercayai dirimu."

Dibandingkan dengan yang lain, aku lebih mempercayai Viani. Viani terlihat bisa lebih diandalkan untuk segala hal. Seolah dirinya ada untuk berguna bagi seseorang. Penampilannya yang anggun begitu juga dengan sikapnya semakin membuatku lebih mempercayai dirinya dibandingkan yang lain. Sedangkan Desi atau yang lain, aku tidak bisa mempercayai mereka begitu saja. Mereka terlihat ceroboh, dan seakan bermain-main. Di antara mereka, mungkin aku bisa mempercayai Firman yang terlihat jenius.

Setelah mendengar jawabanku, Viani mengembuskan napas berat. Kemudian, ia mendekati diriku yang masih menunggu jawaban darinya. "Karena kau sebenarnya adalah tuan kami."

Hey! Bukankah itu sama saja tidak menjawab pertanyaanku?

"Apa maksudmu aku adalah tuan kalian?"

Tanpa aku sadari, Viani sudah berada tepat di depanku. Wajahnya sangat dekat sehingga napasnya bisa kudengar dengan jelas. Itu membuat jantungku berdebar dengan cepat. Ini adalah jarak yang paling dekat dibandingkan dengan Desi dan Bella. Jika ada penggaris, mungkin jaraknya adalah tiga sampai lima senti.

"Karena kau adalah sosok yang menyelamatkan kami. Dan aku mencintai dirimu."

Tiba-tiba, Viani menciumku. Bibir merah mudanya menyentuh bibirku. Itu sangat lembut, sehingga aku tidak menyadari berapa lama kami berciuman.

Bagaimana Mungkin Aku Adalah Raja Iblis?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang