Luka yang Terkuak

51 19 2
                                    

Baiklah. Sudut pandang Aruna tentang Mahesa diusaikan untuk sampai disini. Mulai sekarang aku akan pakai sudut pandang orang ketiga 😊

Seperti halnya sebuah tumpukan perkamen usang nan berdebu dengan tulisan yang mulai meluruh membentuk huruf acak tak jelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seperti halnya sebuah tumpukan perkamen usang nan berdebu dengan tulisan yang mulai meluruh membentuk huruf acak tak jelas. Barangkali, hubungan Aruna dan Mahesa tidak sampai selama itu. Tidak sampai benar-benar mengenal diri masing-masing kendati kedekatan yang sudah tidak bisa untuk tidak diketuk palu. Bahkan dengan gosip murahan yang tersebar seantareo kampus. Berita mengenai Aruna yang dekat dengan Mahesa sudah menjadi buah bibir nyaris untuk seluruh angkatan mahasiswa jurusan matematika murni tersebut.

Sebenarnya bukan perihal dekat yang menjadi topik hangat untuk dibicarakan. Jika saja dua manusia itu hidup normal, aman, damai, dan sentosa, mungkin saja topik mengenai kata "dekat" yang selalu disanding itu hanyalah sebuah angin lalu seperti halnya gosip pasangan lain di luar sana.

Masalahnya, Aruna bahkan sampai harus menutup telinga. Bahkan terang-terangan menghindar manakala seseorang mencarinya, mengejarnya dengan pertanyaan yang ia sendiri tak bisa menjawabnya.

"Kemana Mahesa?"

Terhitung sudah hari ketiga. Lelaki itu tidak juga menampakkan batang hidungnya kendati semua orang gentar mencari. Perkara kehadirannya yang sudah pasti kosong, pun tugas-tugasnya yang harus dikumpulkan.

Namun seolah enggan untuk menunjukkan presensinya pada dunia. Mahesa hanya datang ke kampus untuk pengumpulan tugasnya. Menaruh di loker dosen atau meletakkannya di meja kerja dosen yang bersangkutan. Tanpa kabar. Tanpa kepastian. Membuat semua orang seolah begitu semangat untuk semakin membicarakannya. Seolah dengan ketidakhadiran Mahesa, ada tambahan satu hal yang bisa dijadikan sebagai buah bibir untuk disebarkan ke setiap sudut kampus.

"Kemarin aku lihat Mahesa lagi gabung sama anak-anak geng motor."

"Aku sekilas lihat Mahesa waktu itu kayak ada tawuran geng. Pokoknya gitu, deh. Nggak gitu jelas, sih. Cuma perawakannya mirip dia."

"Sayang banget, pinter, tapi akhlak nggak ada."

"Padahal dia ganteng. Cuma kalau datang ke kampus rambut nggak pernah rapi gitu percuma. Nggak tau sopan santun. Kerapian aja nggak dijaga."

"Dulu dia anak baik-baik, lho."

"Aruna!"

Seruan dan tepukan pada bahunya membuat Aruna spontan terlonjak kaget membuat earphone yang ia gunakan tertarik. Berdecak kesal dan melemparkan satu pukulan manakala dua wajah yang tanpa dosa itu justru terkikik geli menertawakan kekagetannya.

"Jangan diam-diam begitu, Ru. Nanti kalau kesurupan nggak lucu. Malah bikin malu."

Memang Lestari dengan mulutnya yang mengalahkan ributnya ayam di musim kawin. Aruna merotasikan bola matanya. Menyeruput segelas kopi yang berada tak jauh darinya dan memusatkan atensi penuh pada tumpukan kertas yang harus segera ia selesaikan.

Malam & Mahesa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang