Kok Pulang?

5 3 0
                                    

Baru sebentar aku merasakan pelukan Bunda, tapi di hari kedua Bunda harus pulang ke Jogja lagi. Ya, pastinya karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Saat ini aku sedang membantu Bunda mengemasi barang-barangnya.

"Bun..."
"Hm...?"
"Kok pulang?" tanyaku dengan nada merengek layaknya anak kecil yang menginginkan balon.

"Kok malah jadi kayak anak kecil gini, sih, anak Bunda?"
"Ish! Bunda..."
"Ya gimana? Bunda, kan, kerja,"
"Bun?"
"Hmm?" sahut Bunda yang masih memasukkan bajunya ke dalam koper.

"Pernah ketemu Bayu?" tanyaku dengan sidikit ragu.

Bunda terlihat kebingungan saat ingin menjawab. "Loh, kamu, kan, pacarnya Bayu, harusnya tau dong."

Ternyata Bunda tidak tahu bila Bayu sudah bukan menjadi pacarku. Aku sedikit lega, bila bunda tidak tahu hubunganku dengan Bayu, jadi keadaan Bayu memang baik-baik saja.

"Bunda beneran enggak tau?"
"Yang jadi pacarnya, kan, Nara?"
"Bukan, Bunda enggak tau kalau Bayu sudah bukan menjadi pacar Nara?"
"Sejak kapan?"

Akhirnya, kekhawatiranku akan keadaanmu tidak benar, Bayu.

"Sejak pindah ke Bandung," jawabku dengan tersenyum kecut, aku yang sedang melipat baju bunda kini berhenti dan duduk di tepi kasur. Melihat aku yang sedang terdiam, bunda ikut duduk di sampingku dan mengelus lembut pundakku.

"Apapun yang terjadi, Nara harus bisa menerimanya. Bayu pasti punya alasan kenapa mengakhiri hubungan kalian," kata Bunda menenangkan. "Yaudah, bantuin Bunda lagi dong, nanti malah ketinggalan pesawat."

"Semoga aja ketinggalan, ya, Bun?" aku terkikik kecil.

"Itu, sih, mau kamu,"

***

"Iya, Bulek. Dulu Nara dekil banget, terus ingusan gitu," kata Mas Galih dengan tertawa karena sedang menceritakan masa kecil kita. Bukan cerita yang bagus-bagus, tapi malah menceritakan semua aibku. Menyebalkan.

"Ih... Mas Galih..." aku merengek meminta agar Mas Galih berhenti menceritakan hal yang memalukan.

Cerita, tawa, rengekan, sedang memenuhi seisi mobil yang sedang dikendarai oleh Mas Galih. Aku yang duduk di sampingnya terus memukul pundaknya pelan, karena sedari tadi tak henti-hentinya menceritakan semua yang membuatku malu. Juga dengan Bunda dan Budhe, bukannya membantu atau membelaku, tapi malah ikut memperkuat cerita yang Mas Galih buat.

"Tapi pas udah gede cantik!"  pembelaanku.

"Mana coba, mana? Mau liat aku," Mas Galih mendekatkan wajahnya ke wajahku, karena kesal, aku mendorongnya. Untung saja ini di lampu merah.

Sangat disayangkan, kami sudah sampai di bandara, dan itu artinya bunda akan segera pulang. "Bun..."

"Apa sayang?"
"Bun..."
"Kenapa?"
"Bu- emm..." mulutku dibekap oleh Mas Galih.

"Ban bun ban bun lagi, aku bawa ke tempat jahit."
"Galih..."

Aku menatapnya malas, memang menyebalkan. Untung saudara, kalau saja bukan, muka tampannya akan berubah menjadi monster mengerikan yang banyak luka cakaran di wajahnya.

Ini sudah saatnya bunda terbang. Ya, ada rasa kecewa yang terbesit di benakku. Lagi dan lagi, aku harus jauh dari bunda, harus tidak makan masakan bunda, harus tidak mengecup tangannya, harus tidak mendengar suaranya, dan harus bisa menahan rindu lagi.

"Aku pulang, ya, Mbak, Lih," kini bunda mendekat ke arahku. "Bunda pulang, ya, Sayang? Jangan ngerepotin Budhe, rajin belajar, jaga diri baik-baik." Kata Bunda diakhiri mengecup keningku.

BISU : Antara Rasa dan Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang