duabelas hari

45 13 45
                                    

lagu untuk chapter ini : Location Uknown (feat. Beka) - Honne

Duabelas hari.

Ya, duabelas hari tanpa kabar sedikitpun dari David. Sejujurnya aku mulai khawatir. Semua pesan yang kukirim gagal dan setiap panggilan yang kubuat selalu mendapatkan jawaban yang sama.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan.

Satu hal yang nggak kumengerti, kenapa David memutuskan hilang begitu saja selama duabelas hari dan membiarkan orang-orang terdekatnya khawatir?

Pak Hadi dan Tante Hana pun hampir kehabisan akal untuk mencari keberadaannya. Mereka baru saja menikah, namun masalah yang cukup rumit menimpa mereka.

Dan entah mengapa, dua hari ini aku melihat Tante Hana seperti acuh akan keberadaan anak semata wayangnya itu. Dia seperti nggak mempunyai keinginan untuk mencarinya lagi. Justru sang suamilah yang masih berusaha. Apa yang salah dengannya? Apakah dia sudah begitu kecewa pada David?

"Biarlah anak itu melakukan apa yang dia suka. Dia sudah cukup dewasa untuk memilih jalan hidupnya. Aku sudah cukup sabar selama ini. Anak itu sekarang milik ayahnya."

Kalimat itu membuatku terkejut. Tanpa sengaja aku mendengarnya ketika menuju ke ruangan Pak Hadi di sekolah bakat miliknya, di waktu yang sama ketika Tante Hana berkunjung. Aku berpura-pura nggak mendengar apapun dan menyerahkan berkas laporan progres pembelajaran  siswa kelas melukis padanya , lalu meninggalkan ruangan.

Seorang remaja laki-laki berdiri tepat di depan pintu ketika aku keluar. Anak itu memandangiku dengan penuh tanya, dan spontan melontarkan sebuah pertanyaan yang cukup membuatku terkejut. "David pergi?"

"Ah, hei, kenapa kau disini?" tanyaku pada anak itu yang sepertinya juga mendengarkan pembicaraan kedua orangtua David, entah sejak kapan dan bagaimana aku bisa nggak menyadari keberadaannya?

Anak itu menyodorkan selembar kertas  yang penuh dengan gambar not balok yang sama sekali nggak kupahami. "Aku ingin mengumpulkan tugas yang sangat terlambat." jawab anak itu dengan nada datar.

"Biar aku yang memberikannya. Pak Hadi masih ada perlu." Aku menawarkan diri. Anak itu mengangguk dan ketika aku keluar, dia masih berdiri di sana menungguku.

"Kenapa kau tidak pulang? Bukankah jam pelajaran sudah berakhir?" tanyaku ramah.

"Kau belum menjawabku. David pergi? Kau tahu kenapa dia pergi?"

Aku lantas mengangkat alis, menatap anak itu dengan penasaran. "Kau kenal David?"

"Tentu saja. Dia dulu pengajar disini juga. Dia adalah guru favoritku. Penggantinya sangat menyebalkan." jawab anak itu sambil memutar bola matanya dan menunjuk ke arah seorang wanita dengan blouse merah muda yang berada dalam ruang kelas musik, sibuk dengan tumpukan berkas di atas mejanya.

"Dia orangnya?" tanyaku. Anak itu mengangguk.

"Kalau kau juga kenal dia, bisa tolong sampaikan bahwa aku marah padanya?"

Aku lantas tertawa geli mendengar cara bicara anak itu yang seperti bocah lima tahun sementara fisiknya menunjukkan bahwa umurnya sekitar sepuluh atau sebelas tahun.

"Baiklah, siapa namamu? Kalau aku bertemu dengannya, akan kusampaikan." aku berlutut di depan anak itu dan memegangi kedua pundaknya.

"Niko" jawabnya singkat.

"Baik, Niko. Boleh aku tahu kenapa kau marah padanya?"

"Dia pergi tanpa berpamitan. Dia satu-satunya temanku di sini."

Love, Hate, Future, and PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang