Suvenir #8: Museum Mimpi Buruk

31 0 0
                                    


"Memangnya ada pengaruhnya kalau dibegituin?" tanya Diva pada Zico yang sejak tadi mencoba menepuk-nepuk bagian sisi ponselnya, mencoba mencari sinyal internet dengan harapan agar aplikasi peta kami dapat berfungsi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Memangnya ada pengaruhnya kalau dibegituin?" tanya Diva pada Zico yang sejak tadi mencoba menepuk-nepuk bagian sisi ponselnya, mencoba mencari sinyal internet dengan harapan agar aplikasi peta kami dapat berfungsi.

"Kadang-kadang ada pengaruhnya," jawab Zico jengkel sambil matanya tetap berfokus pada ponselnya, tak sedikitpun melirik Diva.

"Iya, kalau masalahnya ada di receptor sinyal hapemu, Bambang!" Diva berseru dengan kesal, "lihat sekeliling kita. Padang rumput ilalang semua. Ini mah nggak ada sinyal! Mau ponselmu dijepretin kayak apa juga nggak akan ada bedanya!"

"Kamu punya ide yang lebih baik, nggak?" laki-laki berambut cepak dan dicat berwarna kemerahan itu akhirnya memalingkan wajahnya menatap Diva sambiil melotot.

"Jalan aja terus, mana tahu nggak lama lagi kita akan mulai dekat pemukiman. Yang semestinya ada sinyal," ucap gadis berambut ikal dan panjang sepunggung itu sambil menepuk-nepuk bahu Genzo yang bertugas memegang kemudi. "Siap, bos!" sahut laki-laki berkacamata bulat dan berwajah oriental itu dengan nada suara dan ekspresi wajah agak sarkastik. Genzo kelihatan mulai letih dengan pertengkaran Zico dan Diva sejak beberapa kilometer yang lalu.

Ketika mobil kami kembali melaju, kupandangi pemandangan sekitar kami. Lahan-lahan terbukanya hanya berupa padang rumput ilalang. Di kejauhan nampak hutan-hutan kecil dan pegunungan. Tidak tampak tanda-tanda ada pemukiman dalam beberapa meter ke depan. Kami nampaknya tersesat di antah berantah.

Bagaimana kami sampai bisa berada disana?

Yah, awalnya kami bermaksud mengantar salah satu sahabat kami, Laudya kembali ke kampung halamannya. Ia baru saja mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia karena sakit yang sudah cukup lama dideritanya. Ia dekat sekali dengan ayahnya itu.

Kami pikir, daripada ia pulang sendirian, menempuh perjalanan sekitar 10 jam dengan perasaan terluka karena kehilangan ayahnya, alangkah baiknya jika kami mengantarnya. Menemani dan berusaha menenangkannya selama perjalanan.

Dan perjalanan keberangkatan itu berjalan baik-baik saja.

Selesai upacara pemakaman, kami berempat pamit pulang, sementara Laudya tetap tinggal di kampung halamannya untuk beberapa hari ke depan. Jalur propinsi yang kami lewati dalam perjalanan pulang macetnya luar biasa. Nyaris tidak bergerak. Belum lagi cuaca yang panasnya minta ampun. Rasanya ingin marah-marah saja.

Setelah mengambil voting dan mengecek aplikasi peta, kami memutuskan untuk berbelok di jalur alternatif terdekat. Ini bukan pertama kalinya kami, dalam grup atau individual, menempuh jalur propinsi dan mengambil jalur alternatif. Kami optimis akan menemukan jalur keluarnya.

Kadang-kadang, memang, menjadi terlalu optimis itu tidak selalu bagus hasilnya.

Entah sudah berapa puluh kilometer jauhnya kami berkendara, kami sudah melewati dua desa kecil. Desa terakhir yang kami lewati sudah berjarak sekitar 12 kilometer di belakang. Tentu, di era internet seperti ini, kami lebih optimis. Karena aplikasi peta yang sangat bermanfaat ada dalam genggaman kami. Kami juga sudah menyiapkan cukup stok power bank.

SUVENIR DARI NERAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang