Hari senin berlangsung seperti biasanya. Saat menuju kelas, kulihat panggung sudah dibongkar dan lapangan sudah bersih dari sisa-sisa sampah semalam. Yang berbeda di hari senin ini hanyalah tidak ada upacara bendera.
Aku masuk ke dalam kelas dan mendapati situasi yang bahkan lebih normal dari bisasanya. Kelas 12 IPA 1 yang berisi dari anak-anak unggulan memulai pagi hari sebelum pelajaran dengan membaca buku atau sibuk mencorat-coret kertas. Dua tiga orang saling berbicara dengan suara rendah, mendiskusikan soal.
Theo yang memulai pagi dengan menelungkupkan badan di meja paling belakang melihat kedatanganku lalu melambai kelewat ceria. Jimmy yang sedang fokus pada ponselnya mengangkat kepala lalu nyengir.
"Semalem lo pulang jam berapa Khaf?" sepertinya Jimmy tak merasa bersalah sudah meninggalkanku dikeramaian kemarin malam. Kebetulan, aku juga tak masalah dengan hal itu.
"Gue pulang cepet. Kalau lo?"
Jimmy hanya nyengir.
"Gue liat sih Jim pas lo nonton kembang api dari lantai dua."
Aku menoleh ke suara bariton yang berasal dari belakangku. Meja dibelakangku yang awalnya kosong kini diduduki Theo. "Anak IPA 5 bukan sih?'
Jimmy terlihat salah tingkah. Dia mengusap belakang kepala sambil menjawab malu-malu. "Ya itulah."
Theo cekikikan mengejek. Aku sendiri tak tahu harus bereaksi apa karena masih bingung siapa yang dimaksud Theo. Aku makin bingung saat Theo bertanya kepadaku. "Jadi gimana Ara?" dia menaik-naikan alis. Bibirnya mengulas senyum jahil. Sudah jelas Theo tahu dan bermaksud meledekku.
*
Seperti dugaan Theo, Ara menolak bergabung. Dia tak bilang alasannya, hanya langsung menolak, dengan tegas.
"Maaf Kak aku nggak tertarik."
Hanya itu.
Tanpa mengucapkan kalimat lainnya dia meninggalkanku begitu saja di depan gerbang. Aku menunggu beberapa saat menengadah sampai lampu kamarnya di lantai dua dinyalakan. Benar-benar ala drama korea. Bedanya, seberapa lama-pun aku menunggu, Ara tak mungkin membuka jendela lalu menjulurkan kepala.
*
"Kan udah gue bilang"komentar Theo setelah mendengar ceritaku.
Saat ini kami ada di balkon lantai dua, basecamp kami setiap jam istirahat. Karena upacara bendera ditiadakan, jam pertama kosong. Daripada didalam kelas bersama anak-anak gila belajar Theo mengajak kami kesini.
"Emang kenapa harus ngajak Ara?"tanya Jimmy bingung. "Dia kan emang nggak mau kalau harus manggung lagi."
Theo nyengir lalu menunjukku dengan dagunya. Senyumnya jelas bermaksud mengejekku. "Khafa mau jadi vokalis kalau Ara ikutan."
Ditatap penuh tanda tanya oleh Jimmy aku segera membantah. "Gue cuma mikir bakalan lebih rame kalau bikin band berempat. Daripada bertiga"
"Kita jadinya nge-band bertiga?"Jimmy melongo bingung.
Aku menoleh pada Theo. Dari ekspresi wajahnya yang kaget, sepertinya Theo lupa belum memberitahukan Jimmy soal bandnya. "Gue lupa bilang band gue udah bubar."
"Lah kapan?"Jimmy kaget. "Brian juga nggak mau ikutan?"Wajah Jimmy jelas sekali menunjukkan kekecewaan.
Aku yang tak terlalu paham tentang Brian lebih memilih makan snack daripada terlibat perbincangan. Sebelum ke basecamp kami sempat mampir ke kantin membeli beberapa makanan ringan dan minuman kaleng.
"Brian sibuk les, nggak bisa sambil ngeband. Lagian dia juga nggak mau kalau vokalisnya bukan Meyra."
"Padahal dia kalau main bass keren banget."Jimmy mencomot snack yang baru saja aku buka bungkusnya. "Bakal keren banget kalo kita berempat sama Brian."
Theo menepukkan tangannya beberapa kali. "Nah, intinya kita bikin band, bertiga. Gue main gitar, Jimmy drum, Khafa vokalis. Nggak usah pakai bass juga kita udah keren."
Jimmy yang awalnya lesu tiba-tiba berubah bersemangat. "Jadi, nama band kita apa nih?"
"Silver?"ucapku asal
"Butterfly?"Jimmy ikut berceletuk.
"Adagio?"
"Adagio apaan?"Jimmy menaikan alis, bertanya padaku,
"Itu istilah musik klasik." Jelasku singkat sebelum mengunyah remah-remah kripik.
Jimmy masih memasang wajah bingung menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Ntar dulu lah nyari namanya. Kita harus nyamain tujuan dulu."Theo menengahi.
Aku dan Jimmy saling berpandangan. "Harus?"
"Haruslah."Theo bersikeras. "Gue males juga kalau kita cuma main-main doang tapi nggak ada tujuannya."
Jimmy mengusap-usap dagunya. "Apanya? Gue cuma pengen ngelakuin yang gue mau sebelum kuliah."
"Oke, diterima."Theo beralih menatapku. "Lo?"
Aku menelan ludah. Tujuanku, apa? "Hm... itu..."
Theo dan Jimmy malah jadi mencondongkan badan fokus menatapku.
"Gue juga kayak Jimmy."meski bukan alasan sebenarnya, tapi itu tak sepenuhnya salah juga. Kapan lagi aku bisa bermain-main seperti ini? Mencoba apapun yang bisa tanpa di kontol siapapun. Untungnya ayah tak pernah ambil pusing tentang kegiatannku. Cukup memastikan ibukku tak tahu hal ini. Hal yang sangat mudah sebenarnya. Ibu terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan beliau ada diluar kota.
"Oke."Theo menganguk-angguk. "Sekarang giliran gue."Theo menarik nafas dalam. Wajahnya berubah serius. Agak dramatis sebenarnya. "Gue mau ikut fesival band akhir tahun." Oke, memang cukup dramatis.
Aku baru membuka mulut saat Theo menambahkan "Festival nasional."
"HAH?"
Wajah Jimmy terlihat memucat, mungkin begitu juga denganku. Festival nasional? Skala yang benar-benar diluar dugaan. Festival band di dalam kota saja aku tak yakin bisa apalagi nasional?
"Nggak papa kan?"tanya Theo enteng
"Gue bukan drummer."Jimmy emosi.
"Kan lo pernah les drum pas SMP. Latihan dikit juga pasti inget"bantah Theo.
"Gue baru pertama kali jadi vokalis."Sebelum terlambat aku harus mengutarakan pendapat.
"Lo bagus kok nyanyinya. Ara juga bilang gitu."Theo meyakinkanku.
Theo mengibaskaan tangan. "Santai lah. Masih ada beberapa bulan."
Aku menghela nafas panjang.
"Kita harus lolos seleksi dan manggung di festival nasional."Theo menepuk bahuku dan bahu Jimmy dengan keras.
To be continued....
Masih selow dulu ini mah alurnya.
Yuk follow akun ini yuk biar aku makin semangat nulis karena merasa ditungguin orang-orang hehehe
Subscribe channelku juga ya gaes... Untuk sekarang ini aku bikin konten cover lagu (kebanyakan bts tapi mostly emang kpop. kalau mau request juga boleh...), review buku & tutorial biola. Lagi nyoba seminggu upload 3 kali biar cepet 100 subs.
Sedih aku ternyata mau jadi youtuber nggak segampang itu huhuhu...
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...