INSECURE

2 1 0
                                    

Panasnya udara di dalam studio musik, tidak membuat band kami merasa malas berlatih. Apalagi, minggu depan ada lomba yang harus kami ikuti. Siapa tahu bisa menang dan maju ke tingkat selanjutnya. Jika demkian, impian bersama untuk masuk dapur rekaman dan menjadi band papan atas bisa terwujud. Aamiin.
“Kalian harus kompak agar bisa memenangkan lomba ini.” Pak Aditya, sang manager memberi semangat.
“Baik, Pak!”, seru kami berlima.
Beliau mengamati latihan kami dengan tenang. Ia tersenyum dengan kekompakkan yang kami perlihatkan. Hal itu membuatku yakin jika bisa menang nantinya.

Hari perlombaan pun tiba. Kami berangkat menuju tempat yang telah ditentukan dengan berboncengan motor. Hanya memerlukan waktu sekitar lima belas menit. Setelah sampai, Pak Aditya mendaftarkan band kami dan mendapatkan nomor undian tiga.
“Selanjutnya, kita saksikan bersama penampilan Alaya Band!” teriak pembawa acara. Itu tandanya kami harus naik ke panggung.
“Silahkan pilih angka berapa untuk menentukan lagu yang akan kalian bawakan.” salah satu dewan juri memberi instruksi.
Rama mengambil undian dan membukanya.
“Lima belas.” jawabnya.
“Lagu yang akan kalian bawakan adalah Kenangan Terindah dari Samson.” fiuh, untung kemarin baru saja latihan lagu itu.
Saat sampai di tengah lagu, suara Rama jadi tidak sesuai dengan instrumen. Tanganku yang sedang memegang stik drum basah karena keringat dingin akibat khawatir. Aku takut gagal. Wajah teman-temanku yang lain ikut cemas, tapi kami lanjutkan sampai lagu berakhir. Padahal, sampai selesai pun, Rama tidak menunjukkan perbaikan terhadap penampilannya itu.

Kami melihat penampilan band lain dari kursi penonton sambil menunggu pengumuman pemenang. Menurutku, banyak yang berpenampilan sangat baik dan pantas menjadi juaranya.
“Juar ketiga, jatuh pada… Topi Band!” teriak pembawa acara. Aku tahu jika penampilan mereka cukup memuaskan. Jelas bisa kalah kalau begini.
“Untuk juara dua adalah… Love Band!” teriaknya lagi.
“Sudahlah, ‘gak mungkin menang juga. Pulang aja kalau gitu.” mukaku sudah kusut, begitu juga yang lainnya. Kami pun berdiri dan hendak keluar dari ruang audisi.
“Dan pemenangnya adalah…” hatiku cukup deg-degan, tapi tetap berjalan saja.
“Alaya.. Band!” apa, nama band kami dipanggil? Tidak salah ya?

Kami berlima naik ke atas panggung dengan hati bahagia bercampur kaget dan tidak percaya.
“Terima kasih atas doa yang telah kalian berikan untuk kami sehingga dapat memenangkan perlombaan ini.” Rama sampai mengucurkan air mata bahagia.
“Ini piala untuk kalian.” kami memegang bersama piala itu.
“Jangan lupa, bulan depan kalian harus mengikuti perlombaan di tingkat provinsi agar bisa maju ke tingkat nasional.” katanya lagi.
“Baik. Terima kasih kami ucapkan sekali lagi.” ucap kami bersama

Kami berlatih hampir setiap hari. Beberapa lagu sudah bisa dikuasai dengan baik. Hanya tinggal melatih kekompakkan agar sempurna. Alasannya cuma satu, yaitu agar bisa memenangkan lomba dan melanjutkan perjuangan ke tingkat yang lebih tinggi lagi dan menggapai cita-cita sebagai band papan atas negri ini.

Hari perlombaan hanya tinggal menghitung hari. Akan tetapi, vokalis kami, Rama, justru menunjukkan sikap yang buruk. Ia tidak mengikuti latihan sama sekali. Jika sehari, mungkin bisa ditoleransi, tapi ini sudah hampir dua mingguan! Apa maksud dia sebenarnya yang ia pikirkan sehingga melakukan hal ini?

Maaf, hari ini aku tidak bisa latihan karena ada kepentingan mendadak. Itulah bunyi pesan yang ia kirim setiap harinya. Kesabaran kami hampir habis jika seperti ini terus. Semoga saja Rama berubah dan berlatih kembali. Jika sampai kalah dan berantakan, jangan harap kami maafkan!

Pak Aditya sengaja menyewa mobil agar kami cepat sampai ke tempat perlombaan. Aku sedikit takut karena kontestan yang akan maju nantinya pasti sudah terpilih yang terbaik. Bahkan mungkin kami tidak ada apa-apanya dinbandingkan mereka. Belum lagi, vokalis kami jarang sekali berangkat latihan tanpa alasan yang jelas.

Suasana semakin menegangkan beberapa saat sebelum tampil. Angga sudah terlalu emosi dengan sang “vokalis malas” itu.
“Kamu itu gimana sih? Berangkat aja ‘gak pernah! Kalau ‘gak menang, apa kamu mau tanggung jawab?” Angga benar-benar dalam puncak emosinya.
“Iya, kamu ‘gak menghargai kami yang sudah capek latihan selama ini, mengorbankan waktu luang, untuk Alaya Band. Kamu yang vokalis ’gak peduli semua itu!” aku ikut marah padanya. Rama masih tidak menjawab.
“Tahu kalau bakal kaya begini, lebih baik kita cari vokalis cadangan dari dulu. Percuma mengandalkan kamu, tapi malah disia-siakan seperti ini.” tambahnya lagi. Kulihat Rama sudah menitikkan air mata. Semoga ia sudah menyesali perbuatannya itu.
“Jangan dilanjutkan lagi! Kita sudah hampir maju. Tunjukkan penampilan kalian secara maksimal, jangan terbawa emosi. Tetap optimis walaupun kemungkinan kecil.” kata Pak Aditya di tengah kemarahan kami semua.
“Tapi kelakuan Rama sudah keterlaluan, Pak! Kita semua bisa rugi karena kelalaiannya itu!” kata Angga sedikit tenang.
“Yang penting sekarang kalian harus fokus dan tampilkan yang maksimal. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.” tambah pelatih kami lagi.
“Baik, Pak.” kami semua mengangguk.

Akhirnya, aku dan lainnya naik ke panggung. Aku bersyukur saat suara Rama bisa seimbang dengan instrumen walaupun mengalami salah di beberapa bagian. Paling tidak, lagu yang kami bawakan sudah pernah digunakan untuk latihan dulu, mungkin inilah yang menyebabkan ia bisa melakukannya dengan baik.

Ketenangan kami berubah saat lagu hampir selesai. Tiba-tiba, Angga melakukan kesalahan fatal saat memetik gitarnya. Korda lagu bait terakhir banyak yang terbalik, bahkan beda sama sekali. Sudah pasti, para juri mengetahui hal ini, begitu pula penikmat musik yang lain. Terlihat ia menangis sambil meneruskan lagunya. Keringat dingin terus mengalir dari dahiku, tidak berbeda dengan yang lainnya. Rama yang tadi sudah baik, sekarang jadi berantakan lagi, konsentrasinya buyar. Bisa dipastikan kami akan kalah tanpa membawa piala kemenangan.

Kami turun panggung tanpa ada sepatah katapun keluar. Teman-temanku sudah pucat pasi menahan malu saat di panggung tadi. Aku yakin jika aku juga seperti itu. Angga masih terus menyalahkan dirinya sendiri di ruang tunggu. Pak Aditya hanya menenangkan sebisanya saja. Kami tak bisa mengatakan apapun saat ini. Perasaan begitu kacau dan pesimis yang tinggi.

Saat pengumuman pemenang saja, Angga menutup telinganya agar tidak mendengar siapa saja yang akan menjadi juaranya. Sedangkan Rama, ia mondar-mandir di depan kami, yang lain hanya pasrah menghadapi kenyataan yang akan menimpa semuanya.
“Yang menjadi juara dua adalah band dengan nomor undian sepuluh! Beri tepuk tangan untuk Alaya Band!” pembawa acara meneriakkannya dengan semangat, seperti sebelumnya. Suasana hening di antara kami berubah menjadi kekagetan yang luar biasa. Bagaimana tidak, baru saja nama band kami dipanggil! Apa ini nyata, apa aku tertidur tanpa menyadarinya?
“Ayo naik ke panggung, kalian sudah dipanggil! Terima piala kalian!” kata Pak Aditya dengan mata berkaca-kaca seolah tak percaya. Akhirnya, kami naik dengan wajah bahagia.

Piala sudah berada di tangan. Tidak ada satupun dari kami yang mengira akan mendapatkan juara dua. Bisa dibilang, kemungkinan untuk membawa pulang sebuah piala saja tidak ada karena peristiwa tadi. Kami bersyukur atas kemenangan ini. Mungkin, perjalanan lomba ini hanya sampai di tingkat ini saja, tapi kami tahu jika jalan lain masih menanti kami di depan. Oleh karena itu, kami bertekad untuk lebih baik ke depan agar bisa meraih impian bersama.

~ TAMAT ~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

💐CERPEN💐 Tema: 🦋 PESIMIS 🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang