12. Kopi dan Hujan

118 20 0
                                    

~Menangis di bawah rintik hujan adalah hal sederhana menyembunyikan luka~


Aku dan Laras sedang berada di foodcourt, menikmati seblak ceker yang panas. Suasananya pas, karena di luar sedang hujan. Asap yang mengepul dari seporsi seblak sungguh menggugah.

Aku suka hujan, dan segala sesuatu yang terjadi saat dan sesudah hujan. Disaat hujan, suasana hati bisa berubah tanpa dipaksa. Kenangan masa lalupun hadir tanpa diminta.

Netraku fokus menatap rintik hujan, anganku jauh menembus masa kala itu, memutar ingatan, membentuk bayangan antara aku dengannya, batinku berteriak 'aku rindu dia', manusia pecinta kopi dan hujan. Katanya, 'hujan itu anugrah dari Allah, kopi itu suatu kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Jadi bersyukurlah pada Allah atas anugerahnya dengan cara kamu menikmati pemberiannya. Jangan pisahkan kopi dengan hujan, karena sungguh keduanya saling melengkapi'.

"Ra, lo nangis?" tanya Laras membuyarkan bayangan itu. Terlalu jauh aku berjalan mendekati bayangan masa lalu yang mampu menggores luka lama yang hampir kering.

Aku usap bening yang hangat yang tergelincir di pipi. "Gak kok, kepedesan aja, sampai nangis," senyumku ragu. Bak anak kecil yang membohongi Ibunya. Aku yakin, tak semudah itu Laras percaya.

"Gue tahu lo bohong. Tapi gue gak bakalan minta lo cerita sekarang. Nanti seblaknya gak lo habisin, gue gak mau aja bikin mood lo naik turun sampe bikin seblaknya gak habis. Mohon maaf aja, itu seblak dibeli pake duit gue." Aku memukul tangan Laras. Ah, bisa-bisanya dia berkata seperti itu.

Aku kembali melanjutkan menikmati seblak gratis dari Laras, mencoba menikmati suap demi suapnya, merasakan pedasnya cabai, bawang putih dan kencur menari-nari di dalam mulutku.

Setelah satu porsi seblak habis, aku dan Laras bersiap untuk pulang, tapi hujan tak kunjung reda. "Hujan kek gini lama, Ra," ucap Laras.

"Ngopi yuk?" Laras menatap ku tajam.

"Ngeri! gue ngajak ngopi bukan ngajak judi."

"Kagak ada kenyangnya nih anak."

"Gue ngajak ngopi, bukan ngajak makan."

"Sama aja, kalau ngopi pasti ada pendampingnya, dan ujung-ujungnya lo bakal pesen roti bakar."

"Yaudah gak apa-apa. Satu porsi berdua aja, gue beneran cuma pengen ngopi, Ras," bujukku lagi. Laras mengangguk setuju, segera aku pergi ke parkiran mengambil motor, hujan tak terlalu deras, tapi tetap basah jika tak pakai jas hujan.

"Lo gak bawa jas hujan, Ra?" tanya Laras.

"Enggak, gue pake jaket kok gak apa-apa, ke cafe depan sana doang, Deket!"

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke cafe. Aku dan Laras memilih duduk di bangku pojok dekat kaca, menikmati hujan yang masih terdengar gemericik nya.

"Silakan!" Seorang pria dengan lesung pipinya tersenyum ramah dengan memberikan dua cangkir kopi hangat dan satu porsi roti bakar.

Di luar sana terlihat seorang remaja berusia sekitar 13 tahun dan seorang gadis kecil, yang bisa diperkirakan masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku pastikan mereka adalah pasangan adik kakak. Dengan wadah besar berisi kue di pangkuan sang gadis kecil.

"Lo kenapa sih, Ra? demi apa hari ini lo kayak galau gitu," kata Laras.

"Gak kok!"

Brukkk

"Ngopi gak pada ngajak," Sadam mendengus.

"Lo ngapain sih di sini?" ketus Laras.

"Ngamen! Pake nanya, ya ngopi juga lah. Gue bareng si Arun sama Rudi, kok."

Anak Kecil Ngomongin Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang