Namaku Isna, seorang gadis belia berusia 18 tahun. Bapak memberiku nama Isna diambil dari kata Isnain artinya senin dalam bahasa Arab karena aku lahir pada hari Senin. Begitu sederhananya Bapak dan Ibu memberikan nama, sesuai dengan keadaan kami. Bapak dan Ibu bekerja sebagai buruh tani di lahan pesawahan milik Juragan Brata, penguasa hampir seluruh lahan pertanian di desa kami.
Penghasilan kedua orang tuaku hanya bisa mencukupi kebutuhan harian keluarga kami. Bapak dan Ibu memiliki empat orang anak perempuan. Aku adalah anak paling kecil alias bungsu. Ketiga orang Kakakku semuanya sudah berkeluarga dan sudah hidup terpisah dibawa oleh suaminya masing-masing.
Aku baru lulus dari sekolah menengah atas. Beruntungnya aku bisa bersekolah sampai bangku SMA karena ketiga Kakakku hanya bisa bersekolah sampai SMP bahkan Kakak tertuaku hanya lulusan sekolah dasar. Hal ini disebabkan penghasilan kedua orang tuaku tak bisa mencukupi kebutuhan sekolah kami. Alhasil mereka tidak melanjutkan dan semuanya menikah pada usia muda belia.
Dibalik ketebatasan kemampuan orang tua, aku memiliki cita-cita yang tinggi. Ingin menjadi seorang guru. Semenjak duduk di bangku SMA pun aku sering memberikan les privat untuk anak-anak yang berada disekitar tempat tinggalku. Sebagian besar anak-anak di kampungku ditinggal orang tua mereka yang bekerja ke luar negeri. Bekerja sebagai TKI menjadi pilihan yang lain selain sebagai buruh tani seperti orang tuaku. Harapan mereka bisa mendapatkan uang yang banyak untuk mencukupi semua kebutuhan.
Ditinggal orang tua membuat motivasi belajar anak-anak sangat rendah untuk bersekolah karena tak ada yang membimbingnya. Mereka kebanyakan tinggal bersama nenek, atau saudaranya. Dalam benak mereka sudah tertanam pilihan pekerjaan yang ditekuni kedua orang tua. Aku sangat ingin menjadi guru yang bisa mengajak dan memotivasi anak-anak ini supaya memiliki cita-cita lain yang bisa diraih.
“Aku mah mau kerja ke Saudi, Teh, seperti Mamah,” ucap Naswa, remaja dua belas tahun yang memiliki bola mata indah.
“Apakah tidak ada cita-cita yang lain?” tanyaku pada anak-anak yang sore ini sedang belajar bersama.
“Ada, Teh. Jadi mantunya juragan Brata,” sahut si centil, Risa.
Impian menjadi mantu juragan Brata menjadi harapan bagi gadis-gadis di kampungku. Mereka berharap dengan menjadi mantunya hidup mereka akan berubah. Impian itu sudah tertanam pula pada bocah sekecil Risa.
“Cie … cieee Risa, mau jadi istrinya Den Arya,” goda Memey.
“Siapa yang mau nolak kalau jadi istrinya Den Arya. Sudah ganteng, pinter yang lebih penting dia kaya,” jawab Risa.
Suasana riuh pun mewarnai percakapan kami sore itu.
“Ish, kenapa jadi ngomongin juragan Brata sih.” Aku menempelkan telunjukku pada bibir, sebagai kode mereka bisa konsentrasi lagi pada pekerjaan mereka.
“Tuh! Risa yang mulai.” Memey menunjuk remaja berkaos merah muda.
“Memey juga goda aku,” kilah Risa.
“Sudah … sudah! Sekarang kita bahas PRnya. Mana, coba Teteh lihat!” pintaku.
“Asyiaaap,” jawab mereka serentak menirukan gaya Atta Halilintar, si Youtouber pemilik pengikut terbanyak di Indonesia.
Akupun tersenyum melihat tingkah polos mereka. Itu alasan kenapa, besar keinginanku bisa menjadi guru, supaya bisa mengajak mereka keluar dari kebiasaan di kampung tempat tinggalku. Bahwa hidup tak semata hanya sebatas buruh tani, menjadi TKI atau berharap menjadi mantu juragan Brata.
Bersambung.
Bagaimana cerita selanjutnya. Pantengin terus buku ini ya !
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Cinta dan Pengabdian
RomanceIsna Nuraeni adalah seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Ia memiliki keinginan yang kuat untuk terus melanjutkan sekolahnya sampai tinggi. Dalam keadaan yang serba kurang, kedua orang tuanya bersusah payah mewujudkan impian putrinya y...