BAB II - Deduksi (Bagian 2)

704 47 17
                                    

"Aku belum pernah mendengar lembaga ini seumur hidupku", komentarku.

"Karena lembaga ini tidak boleh diketahui oleh publik. Dan aku baru saja mengajakmu ke suatu tempat yang menurutku, sangat berbahaya untukmu. Kau bisa mati hanya karena menyebutkan nama INS", tanggapnya.

Aku melihat ke arah belakang, terdapat dua pintu yang berdampingan satu sama lain, lengkap dengan kaca buram dan lampu sorot redup dari arah luar, layaknya aku tidak boleh melihat ke luar sana.

Adrian menghilangkan lamunanku dengan gerakannya. Aku mengikuti jalannya. Kami menuju sebuah lift. Adrian menekan tombol 4 dan pintu lift tertutup.

Pintu lift terbuka dan kami sudah berpindah tempat. Sekarang ruangan di lantai ini terlihat seperti ruangan polisi di film-film barat.

Aku mengikuti gerak Adrian. Kemudian kami memasuki ruangan kecil. Disana kami bertemu seorang pria yang cukup berumur, dengan rambutnya yang sudah agak memutih.

"Rama", sebut Adrian sambil menjabat tangan pria itu.

"Ya, Adrian. Terima kasih sudah datang. Siapa dia?" Pria itu-yang bernama Rama-melirik ke arahku.

"Dia ini kolegaku."

"Kolega? Sejak kapan kau memiliki kolega?" Terlihat ekspresi pria itu berubah.

"Itu tidak penting. Sekarang, apa yang bisa ku bantu?"

"Mari, silahkan duduk dulu. Nah, begitu. Oke, jadi baru saja terjadi peristiwa yang sangat mengherankan. Jam 7 pagi tadi, pihak kepolisian mendapatkan telepon dari seorang pejabat yang tidak ingin dipublikasikan statusnya. Ia berkata bahwa akan segera terjadi pembunuhan."

"Dan sudah jelas mereka menganggap itu sebuah lelucon, kan?" balas Adrian.

"Ya. Tapi ternyata, setengah jam kemudian, ada laporan dari salah satu tetangga beliau bahwa mereka mendengar suara ledakan keras di lingkungan mereka. Lalu kami bersama BIN pergi untuk memeriksa lokasi tersebut. Dan benar, telah terjadi pembunuhan."

"Kau memanggilku ke sini hanya untuk mendengarkan curhatanmu itu? Apakah tidak ada hal yang lebih penting lagi? Kalau tidak, mari Cantik, kita pergi dari sini", sahut Adrian. Raut wajahnya terlihat tidak puas.

"Tapi, tunggu! Kau pikir itu pembunuhan biasa, kan? Lalu mengapa tidak ada mayat satupun di rumah itu?"

Adrian yang tadi ingin keluar dari ruangan tersebut seketika berhenti. Ia terdiam, dan kemudian kembali duduk. "Itu yang aku tunggu-tunggu dari tadi" ujar Adrian.

"Mari, kita langsung pergi ke TKP", ajak Adrian.

-

Kami bertiga telah sampai di tempat kejadian, sebuah rumah dua lantai yang agak kecil yang berada di sebuah perumahan elite. Sudah ada garis polisi yang menutup rumah itu. Mengenai perjalananku ke tempat ini? Aku menaiki mobil SUV hitam dengan kaca yang sangat gelap dan pemisah antara kami dengan supir. Setelah turun dari mobil, Rama menawarkan kami sarung tangan khusus yang biasa digunakan untuk mencegah adanya sidik jari menempel di TKP.

"Prof. Eka Nirmala pulang ke rumahnya, menemukan pintunya sudah jebol dan suaminya, yang ternyata DR. Bestari Pratomo, menghilang. Iya, itu Nyonya Eka disana." Rama menunjuk ke arah ruang makan, mengarah ke seorang wanita berusia 35 tahunan yang sedang duduk dan diberikan pertanyaan oleh para agen.

Aku melihat ke pinggir lorong masuk terdapat bekas kerusakan pintu serta bercak sepatu di pintunya.

"Dia adalah seorang psikiater di Rumah Sakit Promina. Ia berkata ia sedang tidak ada dirumah karena ia harus berangkat pagi jam 4 dikarenakan keadaan darurat, dan baru pulang sampai jam 8 pagi.'

DEDUCTIONISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang