Susahnya Menjadi Penulis dengan Panic Disorder

209 6 3
                                    


Banyak alasan orang menulis, salah satunya untuk proses healing dari gangguan psikologi atau mental illness. Saya adalah salah satunya.

Sebelum ada media sosial, saya menulis di buku agenda pribadi. Tapi sejak ada gadget, curahan-curahan hati pindah ke aplikasi. Dan sejak ada media sosial, tulisan-tulisan saya pindah juga kesana.

Bedanya, menulis di buku agenda hanya kita dan orang-orang dekat saja yang bisa mengakses. Sedangkan menulis di media sosial, semua yang ada di friendlist bisa membacanya.

Atau jika tulisan dibagikan di grup-grup komunitas, anggota grup yang berjumlah ribuan itu bisa membaca tulisan kita, dan tentu saja merespon jika mereka tertarik.

Masalahnya, kita tidak tahu tulisan yang mana yang akan menyita perhatian banyak orang.

Seperti  yang terjadi pada saya kemarin sore.

Saya membuat sebuah tulisan yang sebenarnya cuma asal menulis, tidak pakai acara riset dan baca buku dulu, hanya sekedar ingin menuangkan geregetan di hati.

Selesai diketik terus dipost. Setelah itu saya tinggalkan laptop  untuk mengurus anak-anak.

Satu jam kemudian saya mellihat ponsel, notifikasi menunjukkan yang menekan tombol like untuk tulisan  satu jam lalu itu sudah lebih dari seribu, yang komentar ratusan orang, dan yang membagikan juga banyak.

Tahu tidak bagaimana keadaan saya waktu itu?

Detak jantung tiba-tiba bertambah cepat, tangan dan kaki gemetar, badan lemas, Alhamdulillah tidak sampai sesak nafas.

Melihat komentar 'murudul' membuat saya panik. Rasanya, seperti kita sedang diam di rumah sendiri, terus tiba-tiba didatangi banyak orang dalam satu waktu dan kita jadi ketakutan. 

Dengan tangan masih gemetaran, saya ketik sebuah komentar, “terima kasih yang sudah like dan komentar, maaf tidak bisa reply satu-satu.”

Setelah itu saya tinggalkan gawai dan mojok di kamar tidur. Pagi harinya baru berani buka facebook lagi.

Wallahi, tulisan ini bukan untuk menyombongkan diri, hanya menjelaskan keadaan saya.

Saya bukan orang yang suka melemparkan isu lalu pergi. Khawatir yang sudah komentar dan dan yang membagikan merasa diabaikan.

Tidak ada komentar negatif apalagi membully,  dan tentu juga tidak salah yang like, komen atau share. Ini semata-semata kekurangan saya pribadi.

Jadi, terima kasih yang sudah merespon tulisan saya sebelumnya, maaf saya belum selesai menekan tombol suka untuk begitu banyak komentar yang dituliskan, dan hanya menjawab beberapa saja.

Ini bukan lebay, tapi mungkin lebay sih, eh tapi tidak lebay juga, eh ya sudahlah terserah yang baca saja.

Saya sedang belajar, benar-benar belajar. Doakan ya agar saya punya mental sekuat baja.

Salam sayang
_Ummu Hafsah_
#CatatanUmmuHafsah

catatan :
Murudul adalah bahasa sunda untuk menyebutkan sesuatu yang jatuh secara bersamaan (rontok).

Self Love and MotivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang