Chapter 8

4.8K 355 73
                                    

Aku lupa ada rasa yang bernama malu tiap bersamamu.


Walaupun Zeva dipenuhi rasa takut, ia berusaha bersikap seolah baik-baik saja di sekolah. Ia merasa si Misterius ini mengawasinya di mana pun dan kapan pun. Kemungkinan yang paling mengerikan, si Misterius ini bisa saja satu sekolah dengan Zeva sekarang. Oleh karena itulah, Zeva sama sekali tak mau terlihat takut ataupun gelisah saat di sekolah.

"Wah, cantik banget tas rajutnya! Thanks, Zeva!" Vira terlihat sangat excited saat menerima oleh-oleh dari Zeva. Begitu juga dengan Kiran.

Zeva terpaksa berbohong kepada dua orang temannya bahwa ia berlibur selama dua hari di Bandung. Karena itu, ia menyempatkan mencari oleh-oleh sebelum ke stasiun. Ia tak mau Vira merengek jika tak dibelikan oleh-oleh.

"Gimana hubungan lo sama Pak Gibran?" tanya Kiran menyelidik.

Zeva menggaruk kepalanya. Ia sendiri tak yakin apa dirinya bisa dibilang punya 'hubungan' dengan Gibran. Sepertinya guru killer itu hanya menganggap Zeva sebagai pengganggu. Makin Zeva dekatin, guru killer itu malah makin menjauh. Pokoknya, mulai hari ini, Zeva akan lebih gencar lagi mendekatinya.

"Lancar. Selama gue di Bandung, dia nelfon terus. Kayaknya dia nggak sanggup kalo nggak lihat gue berhari-hari," kebohongan Zeva terdengar sangat meyakinkan. Nyatanya, dia bahkan belum punya nomor Gibran.

Untungnya, Kiran dan Vira percaya-percaya saja. Mereka tak minta diperlihatkan riwayat panggilan dari Gibran. Padahal, Zeva sudah menyiapkan jawaban bahwa riwayat panggilannya sudah dihapus jika mereka bertanya.

"Lo mau ke mana?" tanya Vira saat melihat Zeva berlari kecil ke luar kelas.

"Gue mau ke ruang guru dulu. Kalian duluan aja ke lapangan," Zeva sedikit berteriak agar Vira dan Kiran mendengar jawabannya.

"Kok Zeva akhir-akhir ini sering banget ke ruang guru?" kata Rachel curiga. Ia tak sengaja mendengar teriakan Zeva barusan.

"Dia mau jadi wakil ketua kelas yang bertanggung jawab," celetuk Reno, sok tahu. Rachel langsung mengangguk lega. Vira dan Kiran yang melihat kejadian barusan tertawa terbahak-bahak.

Sementara itu, Zeva sudah melesat menuju ruang guru. Karena ini hari Senin, seluruh guru pasti datang pagi-pagi untuk mengikuti upacara bendera, termasuk Gibran.

Lagi-lagi, tak susah menemukan Gibran karena ia sedang dikerumuni banyak murid. Kali ini bukan murid perempuan saja, melainkan ada murid laki-laki juga.

"Ada apa sih? Pak Gibran itu populer banget ya?" gerutu Zeva. Sekedar berbicara empat mata dengan Gibran saja susah sekali mencari waktunya, apalagi mendekatinya.

Dari jauh, Zeva menguping pembicaraan mereka. Ternyata, mereka sedang membicarakan olimpiade ekonomi yang sebentar lagi akan diselenggarakan. Tiap sekolah hanya boleh mengirimkan satu perwakilan sehingga mereka harus mengadakan seleksi untuk memilih siapa yang mewakili SMA Better Future.

Tak berapa lama, pembicaraan selesai. Murid-murid pun bubar. Zeva cepat-cepat mendekati Gibran. "Pagi, Pak," sapa Zeva sambil memperlihatkan senyuman termanisnya.

"Kenapa lagi, rambut bola kasti?" balas Gibran. Ia terlihat sedikit emosi melihat kehadiran Zeva yang menurutnya hanya menganggu.

"Bapak merasa kehilangan saya nggak beberapa hari terakhir?" Zeva melancarkan aksi PDKT-nya.

Gibran hanya berdecak kesal, tak berniat menjawab pertanyaan Zeva. Lalu, ia kembali membaca buku tebal yang kemarin terkena tumpahan kuah sop. "Belum selesai juga bacanya, Pak? Gimana sesudah pulang sekolah kita ke toko buku? Nanti saya beliin buku yang sama persis kayak gitu. Saya kan sudah janji." Tawar Zeva, modus.

Tak kunjung mendapat jawaban dari Gibran, Zeva menunduk untuk mengintip judul buku yang sedang dibaca Gibran. "Kri...minologi? Bapak tertarik belajar kriminologi, ya?" kata Zeva polos.

Gibran meletakkan bukunya dengan kasar. "Apa keperluan kamu ke sini?" tanyanya galak. Tapi, Zeva sudah mulai kebal dengan kegalakan guru killer di depannya ini. Ia sama sekali tidak takut dibentak atau dimarahi Gibran.

"Kemarin saya ke Bandung. Ini oleh-oleh buat Bapak." Zeva memberikan kotak pensil rajut berwarna coklat yang di tengah-tengahnya ada gambar buaya.

"Maksudnya apa?" tanya Gibran sambil menunjuk gambar buaya yang ada di kotak pensil.

"Buayanya lucu kayak Bapak," canda Zeva. Ia tertawa kecil, tak menyadari ekspresi guru ekonominya sudah berubah.

Gibran sudah pasti akan memarahi Zeva habis-habisan jika saja tak ada guru lain yang berlalu lalang di sekitar mereka. Lagipula, siswi yang sedang ada di hadapannya ini sepertinya tidak akan jera walaupun sudah dimarahi berkali-kali. Memarahi Zeva hanya akan membuat Gibran capek sendiri.

"Makan siang yang kamu bawa tiga hari lalu...."

"Kenapa, Pak? Enak ya? Mau saya masakin lagi?" sela Zeva. Dia terlalu excited saat Gibran membahas makan siang itu.

"Kok rasanya mirip dengan masakan di Rumah Makan Teteh Geulis?"

Glek. Zeva menelan air ludahnya dengan susah payah. Ia takut ketahuan kalau lauk yang ia bawa kemarin dibeli dari sana. Padahal, ia sudah sangat hati-hati dalam memilih rumah makan. Ia memilih rumah makan yang tidak terkenal tapi masakannya lumayan enak.

"Saya kenal dengan Teteh Geulis nya, Pak. Dia ngasih saya resep masakannya." Zeva mati-matian mencari alasan yang logis.

Tiba-tiba ada tangan yang menjewer telinga Zeva dari belakang. "Kenapa kamu belum ke lapangan, hah?" suara itu milik Aris, kepala sekolah SMA Better Future. Dia memang suka menjewer murid jika sedang marah.

Zeva menoleh ke arah Aris. "Bapak sendiri kenapa belum juga ke lapangan?" balasnya.

Sebagai jawaban, Aris makin kuat menjewer telinga Zeva. "Ternyata kamu, Zevanya! Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu godain Pak Gibran lagi, hah?" Aris terlihat sangat marah.

"Memang ada peraturan murid nggak boleh godain guru, Pak?" Zeva menjawab sambil terus mengaduh kesakitan.

"Kamu mau hukumanmu ditambah jadi sebulan penuh membersihkan wc?!" bentak Aris.

"Jangan, Pak! Saya mau belajar untuk olimpiade ekonomi! Bapak mau sekolah kita kalah karena saya sibuk membersihkan wc?" protes Zeva. Sejak mendengar tentang seleksi olimpiade ekonomi, Zeva merasa dirinya harus berjuang mati-matian untuk menjadi perwakilan sekolah dalam olimpiade ekonomi. Hanya itu satu-satunya cara agar ia bisa dekat dengan Gibran.

Aris yang merasa dirinya telah salah paham buru-buru melepaskan jewerannya. "Ya sudah, hukumanmu saat ini ditunda sampai olimpiade selesai." Aris menekankan kata 'ditunda'. Ia pun berlalu. Aris belum tahu saja Zeva sebenarnya baru mau ikut seleksi, belum tentu dia yang mewakili sekolah dalam olimpiade ekonomi.

Gibran hanya diam. Dalam hati kecilnya, ia sedikit kasihan dengan Zeva yang sering kena marah oleh kepala sekolah.

Zeva menoleh kembali ke arah Gibran. "Doain saya lolos seleksi ya, Pak," ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.

***

Dark Secret [Akan Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang