Setelah ini, bagaimana? Sudah larut sebenarnya malam ini. Akan tetapi, sepasang telinga itu masih ingin mendengar perjalanan ini sampai tuntas. Tidak ada yang istimewa sebenarnya pada November. Pun, dengan semesta yang sudah mulai sering menangis. Mungkin ia senang dan sedih. Soalnya, kisah-kisah itu akan abadi di dalam tapak tilasnya.
Naya dan teman-temannya sedang berada di kafetaria kampus. Kumpulan calon-calon pejuang skripsi itu sedang merencanakan tentang liburan akhir tahun ini akan pergi ke mana dan berapa lama. Kalau Naya boleh mengutarakan keinginannya, gadis itu ingin sekali pergi ke Jogja. Tidak tahu saja.
"Jadi, ada yang punya saran, nggak, kita mau liburan ke mana tahun ini?" tanya Abil, salah satu dari dua laki-laki yang ada di sana. Perawakannya sedikit kurus dan putih. Namun, rambutnya gondrong dan selalu diikat ke belakang menyisakan anak rambutnya.
"Si Naya diam aja, tuh, dari tadi. Pasti dia punya destinasi. Cuma malu buat ngomongnya," celetuk Riska.
"Ah, kayak ke siapa aja. Tenang aja, kali, Nay. Kita 'kan udah bareng dari semester satu. Masa masih malu-malu?" tukas Raihan dengan nada yang sedikit usil.
"Aku bukannya malu, ih, Ris. Siapa tahu aja, 'kan, yang lain punya saran yang lebih bagus, gitu. Aku mah nanti-nanti aja," ujar Naya.
"Justru itu, Nay. Di otak tuh sebenarnya banyak banget tempat yang pengin kita kunjungi. Tapi, saking banyaknya kita bingung mau pergi ke mana," ucap Abil sambil sedikit tertawa.
"Kalau aku, sih, nggak tahu kenapa lagi pengin liburan ke Jogja."
"Jogja?" jerit Riska, "Ih! Mau."
"Kalau Abil sama Raihan gimana?" tanyanya.
Kedua laki-laki itu hanya menganggukkan kepala lalu Abil menjawab. "Oke, kita ke Jogja."
Mungkin, saat Naya dan teman-temannya sepakat untuk pergi ke Jogja, semesta sedang tersenyum kepadanya. Kita tidak pernah tahu bentuk dari sebuah akhir akan jadi seperti apa dan bagaimana. Biarpun cakrawala akan menangis nantinya, biarkan saja hanya dia. Kita harus tetap tersenyum. Karena akhir adalah awal yang datang terlambat. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada memulai perjalanan baru dengan sebuah senyum dan lapang.
***
Damara bersama karyawan yang lain sedang berkumpul di ruang makan. Bahkan beberapa atasan pun turut hadir. Kata Pak Asep, katanya akan ada rapat dadakan. Damara tidak tahu apa yang akan dibicarakan petang ini. Hanya saja, ia sedang merasa bahwa hari ini akan menjadi hari yang baik untuknya. Tidak tahu kenapa. Karena sepanjang perjalanannya menuju kantor tadi pagi, cakrawala seolah sedang tersenyum kepadanya.
"Baik, sudah kumpul semua, ya?" tanya Pak Adi, laki-laki berusia sekitar 50 tahunan itu adalah pimpinan di kantor Damara.
"Sudah, Pak," jawab Damara dan Karyawan lainnya.
"Sebenarnya ini tidak terlalu serius untuk di sebut rapat, jadi kalian santai saja. Tidak perlu tegang begitu wajahnya." Pak Adi mengambil napas sebentar, lalu melanjutkan, "Berhubung bulan November sebentar lagi akan berakhir, makan tahun ini akan benar-benar berakhir setelah Desember. Bapak tidak mau melewatkan kenangan dengan kalian sedikit pun. Karena Bapak lihat, kalian sudah bekerja dengan giat untuk perusahaan yang Bapak rintis dari nol. Maka dari itu, agar kalian lebih semangat lagi kerjanya, Bapak ingin memberi kalian hadiah. Tidak seberapa sebenarnya, dan Bapak juga tidak akan memaksa. Tahun baru nanti, Bapak akan mengajak kalian untuk berlibur bersama di Jogja selama satu minggu. Bagaimana, kalian berkenan?"
Satu kantor kali ini dibuat terkejut dengan Pak Adi. Cukup lama hening berselang, hingga perkataan Damara memecahkan kesunyian, sorak tanda kesenangan terdengar lantang dan riuh.
"Tapi, Pak. Kami tidak punya biaya untuk berlibur selama itu," ucap Damara.
"Kamu tenang saja, Damara. Kalian juga tidak usah memusingkan soal pengeluaran. Karena semua biaya akan ditanggung oleh kantor. Kalian hanya perlu membawa uang secukupnya saja dan boleh mengajak siapa pun."
"Bapak serius, Pak?" tanya salah satu karyawan di sana.
"Bapak serius. Sebenarnya Bapak ingin melakukan ini dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi, perusahaan kita belum terlalu memadai. Anggap saja ini adalah berkah dari Tuhan untuk kalian melalui Bapak. Karena perusahaan kita mengalami progres yang cukup baik dari masa ke masa, dan itu pun berkat kalian semua. Jadi Bapak rasa, ini adalah hal yang wajar."
Namun, yang ada di kepala Damara bukanlah tentang Jogja, tetapi Naya. Kira-kira, Naya mau tidak, ya, ikut bersamanya ke Jogja? Sesaat, Damara sempat berpikiran seperti itu sebelum ia menggeleng dan tersenyum kecil. Tidak Damara, tidak harus Naya. Tidak tahu saja ketika kota Jogja terngiang di kepalanya, nama dari gadis itu yangu muncul pertama. Mungkin, ibu adalah orang yang paling tepat untuk ia ajak ke Jogja bersamanya.
Pun ketika Damara sibuk dengan nalarnya, hari turut menghitam dihantam malam. Kantor sudah mulai sepi. Hanya tinggal Damara dan beberapa karyawan yang mungkin sedang lembur. Ia mengembuskan napas pelan. Pekerjaannya sudah selesai. Ia harus segera pulang dan memberi tahu sang ibu tentang hal ini.
***
"Assalamu'alaikum, Ibu. Damara pulang," salamnya sambil membuka pintu rumah dan melepas sepatu.
"Waa'alaikumsalam, Kasep. Tumben pulang cepat?" tanya sang ibu.
"Baru selesai isya, Bu?"
"Iya, Dam." Kemudian Damara menyalimi sang ibu dan mengajaknya duduk di ruang keluarga.
"Iya, Bu. Hari ini Damara pulang cepat. Pekerjaan Damara sudah selesai semua."
"Sebentar, atuh, Kasep. Ibu buatkan minum, ya?"
"Tidak usah, Ibu. Damara cuma mau mengobrol sebentar dengan Ibu. Damara gerah. Pengin cepat-cepat mandi."
"Ya udah, ada apa memang?"
"Jadi gini, Bu. Damara diajak liburan bareng sama Pak Bos dan orang-orang kantor selama seminggu. Damara mau mengajak Ibu. Ibu mau ikut?"
Sang ibu tersenyum, lalu menggeleng. "Ibu, mah, bukannya tidak mau, Dam. Sok aja Damara, ya. Ibu sudah terlalu tua buat pergi jauh-jauh. Tidak kuat Ibu, mah. Takut nyeuri cangkeng."
"Tapi, Pak Bos bilang, Damara boleh mengajak siapa aja, Bu."
"Kan tidak harus Ibu atuh, Kasep. Sok, ajak siapa aja. Teman kamu, atau kabogoh, mungkin?"
Damara terkekeh. "Damara belum punya kabogoh, Ibu. Makanya mengajak Ibu."
"Makanya, cepat-cepat nyari, Dam."
"Iya, Ibu. Damara pasti carikan calon menantu buat Ibu."
"Nah, gitu dong."
"Jadi, Ibu tidak akan ikut sama Damara?"
"Tidak, ah, Dam."
"Tidak apa-apa ditinggal sama Damara satu minggu?"
"Tidak apa, Dam. Asal pulang nanti langsung bawa jodoh, ya."
"Ibu bisa saja."
Damara bukanlah orang yang tergesa dalam menemukan hal-hal yang sebelumnya belum pernah ia sentuh. Ia ingin berjalan secukupnya. Akan tetapi, malam itu ia tertawa dengan sang ibu untuk yang kesekian kalinya dan semakin memiliki ingin tentang perjuangannya. Mungkin memang sebaiknya aku mengajak Naya saja.
Yeaaaaay bisa update damara 🌸🌸🌸🌸
Hope you enjoy!! 👼Nyeuri cangkeng: sakit pinggang
Kasep: ganteng
Kabogoh: Doi (yg pasti sengaja gapeka)
KAMU SEDANG MEMBACA
andai, jika
RomanceKita seperti gelap dan terang. Yang saling menenggak jarak, mencari-cari sebuah kepantasan antara manusia paling tidak memiliki dan dicintai. Perpisahan kita bukan milik selamanya. Namun, akan kupastikan jika selamanya adalah milik kita.