Jelek Bukan Main

535 48 9
                                    

Harry meghela nafas disela lamunannya. Mengutuk apapun itu yang baru saja membuatnya tersentak. Suara 'cemplung' kecil sebuah biji cemara Black Lake membuyarkan kilasan tujuh hari penuh di awal bulan November, yang akhir-akhir ini sering terputar ulang dibalik matanya. Tanpa sadar terus muncul dalam pikiran, mirip lagu pop musiman ala remaja muggle cengengesan diluar sana. Terbukti, 3 menit saja memutar memori yang sama bukanlah ide yang bagus.

Kantung belakang celananya sedikit basah akibat bertemu dengan beberapa batu kecil. Kerikil yang lembap diselimuti sedikit bagian dari jutaan tetes air tawar diseberangnya. Agaknya permukaan kerikil tersebut tajam, tapi bisa disamaratakan dengan sedikit kenyamanan, lantaran tak banyak pilihan.

Hamparan air tawar yang seperti sore-sore lainnya, menampilkan pantulan perpaduan jingga dan pink, kadang ungu, bersama sebuah lingkaran cahaya keemasan yang turut membuat permukaannya berkelip, adalah hal yang selalu bisa membuatnya melupakan sensasi tak menyenangkan dari beberapa ujung kerikil yang menyapa pipi bokongnya yang dilapisi celana lusuh bekas-bekas sepupu muggle tercintanya.

Selain riak kecil air dan gemerincing daun hijau kemerahan yang diterpa angin musim gugur di sisi-sisi danau, derak acak kerikil yang berpindah posisi akibat langkah kakinya adalah suara lainnya yang ingin ia simpan dalam memorinya dan ia putar lagi disaat-saat yang diperlukan, terlebih di waktu-waktu terburuknya.

Ketenangan selalu bisa ia dapatkan disini. Alasan masuk akal lain untuk menjadikan tempat ini favoritnya. Selalu bisa, sampai dengan satu, dua... empat bulan kemarin. Namun, untuk kedua kalinya Harry tersentak. Kali ini sebabnya adalah suara kerikil yang diinjak oleh sosok selain dirinya, diikuti sebuah bayangan yang perlahan menyatu dengan miliknya.

Bagus, terapinya tak berhasil. Hanya berselang delapan detik setelah sosok itu meniru persis posisinya saat ini, Harry akhirnya berpaling. Mengalihkan pandangannya ke manik keabuan lain yang ternyata sudah menatapnya duluan. Jarak si 'penyusup' kurang lebih sekitar tiga jengkal dari paha kanannya. Sudah cukup untuk membuat Harry bersusah-susah memblokade air asin yang membuat matanya sepat dalam sekejap. Heran akan betapa payah dirinya dalam menepati janji, termasuk yang satu ini. Begitu payah sampai-sampai Hermione dengan putus asa menawarkan mantera Obliviate padanya. Tentu, ia tolak mentah-mentah. Menepati janji untuk melupakan seseorang yang membuatmu rela menggadaikan nyawamu, kurang lebih sama rumitnya dengan kelas ramuan di tahun pertama. Obliviate hanya akan semakin memberi beban, karena suatu saat pasti ingatan yang hilang akhirnya dicari-cari. Berkedok 'ingin tahu kebenaran'.

-pandangan Harry masih terkurung pada iris abu yang membias kebiruan akibat sedikit paparan matahari sore musim gugur Hogwarts. Tiga..empat.. persetan! Ia sudah kehilangan hitungan. Sampai akal sehat menyapanya ramah, terlewat ramah sampai mirip dengan aunty Marge secara personal.

"Ah, kenyataan selalu kejam padaku. Skizofrenia di tahun terakhir Hogwarts? Briliant." Pada akhirnya terdengar suara yang ia percaya adalah suaranya sendiri, berbisik lirih. Kurang lebih menggambarkan keadaan dirinya saat ini. Terucap diluar kendali, tapi tak disesali setelah disadari.

Begitu katanya, sambil melihat reaksi lawan bicara yang sekarang terlihat berpikir. Sepertinya ragu-ragu untuk bicara-

".... Kau tahu? Tak ada yang menghalangimu untuk sedikit berpikir atau sedikitnya bertindak egois saat ini. Memikirkan kesehatan diri sendiri mungkin? Kudengar penyakit jiwa sulit disembuhkan."

-'ah, ternyata bisa bicara' pikir Harry dungu.

"Tak pernah kuharapkan seseorang menyuruhku bertindak layaknya anak manja. Terlebih dari ilusi sepertimu. By the way, thanks for the funfact."

"Mhm, anytime. Takut kehilangan bukan alasan bagus lagi buatmu untuk memperhitungkan nafas satu-dua orang lain, lagi. Kau tahu itu. Semua sudah berakhir." Ujarnya sok tenang.

Jelek Bukan MainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang