"Kata Mayang kemarin kamu diobati sama Bu dokter, Le? Apa benar? Tanya Ibu Tama saat Tama sedang menikmati sarapannya."Iya, Bu."
"Apa lukanya dalam?" tanya Ibu Tama dan melihat jari Tama yang dibalit perban.
"Tidak apa-apa, Bu. Ini hanya luka kecil, tidak usah khawatir," jawab Tama menyakinkan sang ibu.
"Antar ini ke Bu Dokter," ucap Ibu Tama dan menyodorkan rantang.
Tama menatap rantang itu dengan sejuta tanya dalam benaknya. "Anggap saja itu ucapan terima kasih," Ibu Tama menjawab pertanyaan dalam benak Tama.
"Jangan dilihat saja. Nanti antarkan, jangan sampai lupa," ucap Ibu Tama. Tama mengangguk tanda setuju, senyum ibu pun mengembang karenanya.
"Cie yang mau PDKT," ejek Mayang yang sedari tadi menguping pembicaraan Tama dan ibunya.
"Mayang," ucap Tama geram.
Mayang dan ibunya hanya terkekeh melihat tingkah Tama. Tama segera menyelesaikan sarapan paginya lalu pergi untuk melaksanakan tugas dari sang ibu--mengantar rantang berisi makanan ke rumah Alita.
Aku ini kenapa?
Sikapku jadi tidak karuan bila dikaitkan dengan Dokter dari kota itu.Sepanjang perjalanan Tama sibuk dengan pikirannya. Sejuknya suasana pagi hari tak dirasakannya. Yang ada hanya tanda tanya dalam diri yang perlu segera mendapat jawaban pasti.
Waktu yang ditempuh sekitar limabelas menit dengan berjalan kaki dari rumah Tama. Langkah Tama ditemani sinar mentari dengan kicau burung sebagai iringannya.
"Assalamualaikum," ucap Tama sedikit keras saat berada di depan rumah Alita.
Rumah itu terlihat lebih indah dari sebelumnya, beberapa bunga nampak baru ditanam di sana. Jenisnya yang berbeda-beda sangat memanjakan mata. Tama yang melihatnya tersenyum tanpa sadar.
"Waalaikumsalam," jawab Alita dari dalam tak lama kemudian.
Saat pintur terbuka, Alita terkejut melihat Tama yang ada di depan pintu rumahnya. "Em, kamu kan--"
Tama memotong pembicaraan Alita, karena ia tahu dari wajah Alita, Alita bingung menyebutnya apa. "Panggil saja saya Tama. Saya datang ke sini untuk memberikan ini," ucap Tama dan memberikan rantang yang dibawanya.
Alita menerimanya dengan pikiran yang berkelana. Lalu Tama berhasil menjawab tanyanya. "Ini dari ibu, terima kasih sudah mengobati luka saya kemarin."
"Tidak usah repot-repot. Kan aku sudah bilang, itu sudah kewajiban seorang dokter." Alita menjawab tidak menatap Tama, pasalanya bila ia menatap, ada jantung yang berdegup lebih cepat.
"Tidak repot. Sekali lagi terima kasih, saya permisi," ucap Tama lalu melangkahkan kaki untuk kembali ke rumahnya.
Di perjalanan wajah Alita terbayang dipikiran Tama. Tubuh Alita yang mengenakan baju tidur bermotif doraemon membuat Tama tersenyum. Di balik kata Dokter yang disandangnya, terdapat sisi kekanakan bagi Tama.
***
Pagi ini Alita dikejutkan dengan kehadiran sosok pria yang ditolongnya kemarin sore. Tidak itu saja, di tangannya terdapat sebuah rantang. Alita gugup namun harus bersikap biasa saja.
Mimpi apa aku semalam hingga dia sekarang datang ke rumah dan membawakan aku makanan.
Saat kepergian Tama, Alita menutup pintu dengan semburat kemerahan di pipinya. Hatinya menghangat, dan senyum merekah dengan sempurna di wajahnya.
Alita bergegas memindahkan makanan yang ada di rantang ke piring. Alita menatap makanan itu dengan mata berbinar. Hanya hidangan sederhana, jauh dari kesan mewah, tetapi makanan itu mampu membuat garis lengkung indah di wajahnya.
A
lita menikmati makanan pemberian ibu Tama. Pagi itu Alita tidak makan seperti biasanya, ia melupakan sejenak soal menjaga berat badan. Sebab memang rasanya sangat cocok di lidah Alita.
"Ini sangat enak, andai aku bisa merasakan masakan ini tiap hari," ucap Alita di sela sarapannya.
Setelah menyelesaikan sarapan, Alita bergegas bersiap untuk menjalani aktivitas rutinnya, yaitu sebagai dokter di puskesmas kampung. Pagi ini Alita berangkat bersama Bidan Eka.
"Kamu kenapa, Dek? Senyum-senyum terus dari tadi," tanya Bidan Eka penasaran. Bagaimana tidak, dari tadi Alita menunjukkan senyum menawannya.
"Eh, enggak apa-apa kok, Mba. Lagi senang saja," ucap Alita.
"Senang kenapa? Dulu ya, Mba pas lagi kasmaran itu seperti kamu sekarang ini. Eh, apa kamu sedang kasmaran, Lita?" tanya Bidan Eka dengan senyum jahilnya.
"Enggak, Mba. Cuma senang biasa saja kok, enggak ada kaitannya dengan kasmaran," elak Alita.
Alita tak pandai menutupi sesuatu dari orang lain. Bidan Eka dapat mencium dengan baik ada kebohongan di sana. Namun Bidan Eka hanya tersenyum, bila sudah saatnya ia yakin, Alita akan memberitahunya.
Keduanya membicarakan hal-hal yang tak jauh dari kesehatan setelah itu. Perjalanan yang menempuh waktu 45 menit tak terasa. Mereka telah sampai di puskesmas. Mereka menyapa orang-orang yang sudah berada di sana. Lalu mengisi daftar hadir dan mengecek obat-obatan.
Setelah itu mereka kembali berkeliling kampung, mendatangi warga yang kemarin belum sempat ditangani. Kebanyakan warga mengeluh melangalami sakit kepala. Alita menjelaskan beberapa hal yang menyangkut tentang sakit kepala. Sebagian lagi hanya kelelahan, Alita membagikan vitamin untuk warga yang mengalaminya.
Sikap Alita membuat warga desa senang, ada warga desa yang memberikannya sayuran ataupun buah-buahan, sebagai ucapan terima kasih katanya.
Alita senang, karena itu pula Alita tak perlu membeli sayuran dan buah-buahan setiap hari. Hal itu membuat Alita bisa menghemat pengeluaran dan bisa menggunakan uang itu untuk keperluan lain. Seperti untuk membeli lebih banyak obat dan vitamin untuk warga sekitar.
Note:
Le dalam bahasa jawa adalah panggilan atau sapaan untuk anak laki-laki.Terima kasih atas waktunya yang telah melanjutakan membaca ^^
Maaf baru sedikit kisah yang kuceritakan pada kalian :)
Semoga dimaafkan segala kesalahan dalam penulisan ^^
Serta jangan lupakan untuk memberi kritik dan saran 😘Salam aksara, salam kisah sederhana, salam bahagia dari Riana 🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah yang (Mungkin) Indah [SELESAI]
General FictionApa yang penting dalam sebuah hubungan? Kepercayaan? Atau Kesetiaan? Yang paling penting dalam sebuah hubungan yang dilandasi cinta adalah sebuah restu orang tua. Boleh saling percaya dan setia, tapi tanpa restu orang tua? Apakah akan berjalan mu...