11. ^Tidak ke Mana-mana^

70 40 1
                                    

*


*


*

Hai, selamat sore buat kamu yang berada di mana pun. Lagi ngapain? Kalau aku sih, lagi nulis ini buat kamu di kamarku.

Terkejut kan update sore-sore, biasanya suka malam-malam. Iya,  soalnya aku lagi rajin aja. Semoga part dapat menghibur ya.

Seperti biasa, permintaanku silahkan vote dan berikan komen banyak-banyak. Aku tuh suka sekali ngebaca komen kamu yang buat bisa senyum-senyum sendiri.

Oke, selamat membaca selamat menikmati.
^_^

*

*

*

Keraguaan akan membuat kita kalah, karena ragu dapat memicu tujuan menjadi samar sehingga bisa berubah dari tujuan yang ada di titik awal. Tiap langkah yang diambil pun jadi terasa semakin berat. Jadi, apa yang harus kita lakukan bila ragu itu datang menjelma seperti embusan angin lembut yang membuat kita terlena oleh kenyamanan yang dihadirkannya?

Sederhana, kita hanya perlu menghadapi dan melalui semua masalah yang datang. Tahu kah kalian ternyata fungsi masalah untuk menghadang kita menuju tujuan. Di saat itulah kita akan membuktikan diri apakah kita adalah orang yang mudah menyerah atau sebaliknya. Semuanya tergantung pada pilihan masing-masing. Dan aku memutuskan tidak akan menyerah kepada masalah juga keadaan yang terkadang membuat aku lupa apa yang sebenarnya yang ingin kuraih.

Benar kah dokter adalah panggilan jiwaku? Benar kah aku sangat menginginkan pria yang ada di depanku ini tetap akan ada di masa depanku? Tidak, sebenarnya tidak pernah terbesit sama sekali semua keraguaan itu. Bagiku keraguan adalah sebuah garis ilusi yang berbanding terbalik dengan kenyataan. Pertama, aku sangat menikmati jurusan kedokteran yang kupilih. Kedua, Gibran, aku sungguh ingin bersamanya saat ini dan juga nanti. Walaupun, aku tahu dalam beberapa jam lagi kami akan tersekat jarak.

Aku harus meyakinkannya bahwa kesempatan itu akan selalu ada. Karena apa? Karena aku akan tetap menunggunnya kembali kepadaku.

***

Gibran membuang putung rokoknya yang masih panjang. Asap yang tadinya mengepul dari mulutnya perlahan menghilang. Dia memang selalu begitu, setiap berada di dekatku, ia akan menjauhkan benda itu dariku. Sebisa mungkin Gibran berusaha agar aku tidak pernah melihat ia berteman dengan yang namanya rokok.

Dia mengusap wajahnya dengan kasar seakan-akan ingin mengenyahkan apa yang sedang di pikirkannya. Sayangnya itu percuma saja, karena masalah itu tetap menyesakan dadanya. Berulang kali juga ia menghembuskan napasnya di hadapanku, hingga aku merasakan aroma napasnya yang menerpa wajahku.

Sungguh, baru kali ini aku melihat wajah Gibran segusar ini. Padahal biasanya, ia selalu bersikap tenang setiap kali menghadapi apa pun di depannya. Gerak tubuhnya pun mulai menampakan kegelisahan yang sama. Entah apa yang sedang dipikirankannya saat ini. Aku benar-benar tidak bisa menerka isi kepalanya.

Kebingungan semakin melanda diriku. Aku tak mungkin pergi meninggalkan Gibran dalam kondisi seperti ini. Perlahan aku memegang tangannya yang terasa seperti es. Ia tersentak, lalu menatapku. Kedua bola mata hitamnya seakan ingin mengatakan sesuatu kepadaku, namun lidahnya enggan berujar. Aku memerhatikan kedua matanya dengan takjim, sinar mata yang selalu bisa menghanyutkan aku dalam euforia yang berbeda.

Peta Kata [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang