Ara menggowes sepedanya lagi meninggalkan deretan rumah Cila dengan sedikit sedih ketika om Indra mengejarnya, dia berjalan bersisian dengan Ara lalu mengatakan. "Nona, kita harus pulang sekarang, tuan Mikail dalam perjalanan pulang ke rumah."
"Hah!." Ara menganga. "Loh? Bukannya daddy udah ngizinin gue naik sepeda?."
Om Indra menggeleng. "sepeda ini adalah pemberian tuan Dante--."
"Hah!!." Ara memekik terkejut, saking terkejutnya Ara sampai terjatuh. Dia mencium aspal dengan naas, Ara merasakan yang dialaminya seperti mimpi. Ara merasa seperti dia tidak sungguh-sungguh terjatuh, seperti ini ilusi dan tidak nyata. Dia baru meringis ketika merasakan telapak tangannya yang tergores aspal terasa perih. "Awww!." Om Indra terburu-buru turun dan melempar sepedanya begitu saja, bisa di pecat jika tuan Mikail tau perbuatannya mengizinkan nona Ara bersepeda malah membuatnya celaka.
"Nona." Om Indra membantu Ara berdiri, Ara berdiri meringis ketika daddy tau-tau datang entah dari mana. Ekspresinya sangat cemas, seperti Ara nyaris saja tertabrak kereta. Dia berjongkok di depan Ara yang terjatuh.
"Daddyyyyy." Ara merengek memanggilnya. Daddy menghembuskan nafas, dia mengulurkan tangannya mengendong Ara, bukannya diam saja dan menurut Ara malah memukul lengan daddy yang menggendongnya. "Daddy kok bisa ada di sini?." Daddy tidak menjawab, dia meneliti luka gores di kulit-kulit Ara lalu meringis. Astaga. Hanya karena bersepeda putrinya memiliki luka gores seperti ini. Kayak gini mau dibiarkan pergi sendiri, apa yang akan terjadi nanti pada dunia kalau Ara pergi sendiri nanti. "Daddy nggak jawab pertanyaan aku!." Ara mulai tersulut emosi.
"Daddy tadi baru saja pulang lalu melihat kamu bersepeda, baru saja daddy merasa bangga, anak daddy ternyata bisa bersepeda tapi kamu malah membuat atraksi sambil terjatuh."
"Itu bukan atraksi namanya." Daddy membawa anaknya masuk ke dalam mobil.
Daddy tidak menjawab, dia menghela nafas panjang. "Kenapa sih kamu masih mengomel?." Daddy meneliti luka gores di kedua telapak tangan Ara. "Apa nggak sakit?." Lalu mendongak melihat putrinya.
"Rasanya panas. Panas aja tapi nggak sakit." Ara menjawab dengan cemberut.
Daddy menunjuk bibir Ara dengan dagunya. "Bibirmu ini loh, nggak bisa apa senyum senyum gitu liat daddy."
"Apa daddy baru aja berkhayal!." Daddy tidak menjawab. Dia melihat lutut Ara yang sobek.
"Ara, ini nggak sakit?." Ara mengikuti arah pandang daddy. Lalu memekik.
"Hah! Berdarah!." Daddy menonyor kepala Ara.
"Kamu yang punya lutut kok malah nggak sadar."
Ara mengangkat bahu. "Yah, manakutahu, aku nggak ngerasain apa apa tadi, baru kerasanya sekarang."
"Mungkin sakitnya nanti kalo udah di kasih obat." Daddy berganti meneliti lengan Ara. Dia menghembuskan nafas ketika tau Ara juga punya luka di kedua sikunya. "Ini juga nggak sakit?." Ara menggeleng. "Lain kali, pakek sepeda virtual aja, nak."
Ara memalingkan muka sambil menjawab. "Lebih baik, aku nggak usah sepedaan."
Daddy ikutan mengangguk. "Nah itu daddy setuju." Ara malah memukul lengan daddy. Daddy tertawa sangat keras. "Ara, Ara kapan sih kamu dewasanya."
***
Begitu daddy menurunkan Ara di kursi ruang tamu, mama langsung terburu-buru turun, wajah cantiknya terlihat khawatir, rupanya seseorang memberitahu mama, dia langsung menyongsong ketempat Ara. "Astaga nak, kamu kok bisa sih kayak gini." Ara memberengut.
"Aku jatoh dari sepeda." Mama menghembuskan nafas, dia melipat lengan dress panjangnya, meletakkan ponsel di meja meja ruang tamu lalu duduk di sebelah Ara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Kampret
Romance"Daddy nggak akan punya anak lagi sebelum kamu menikah!." ~ Daddy, ayah tiri yang umurnya hanya berjarak lima tahun lebih tua dari Ara. Ara menyemburkan kopi yang diseduhnya lalu menjerit nyaris berteriak. Ia tahu Daddynya masih trauma, tapi ini ber...