Di depanku terdapat soal yang harus kukerjakan, namun aku hanya bisa mengembuskan napas. Bukan karena itu adalah soal yang sulit. Itu malah adalah soal yang sangatlah mudah. Aku berani jamin anak sd kelas dua bisa mengerjakan ini dengan sangat mudah. Mau bagaimana lagi, soalnya adalah tambah-tambahan.
Satu tambah satu sama dengan ...
Dua tambah dua sama dengan ...
Rasanya, aku kembali ke masa sekolah dasar dulu. Tapi, bukankah aku sekarang siswa SMA? Kenapa aku harus mengerjakan soal seperti ini? Apa kau meremehkanku?
Aku tahu kalau nilai dalam mata pelajaran matematika aku selalu remed. Itu tidak dapat dipungkiri. Sejak SMP, aku sudah kesulitan dalam mengerjakan matematika. Rasanya seperti kita yang sudah terbiasa main di level easy, tiba-tiba memainkan level kesulitan hard. Mungkin nanti ketika aku kuliah, kesulitan itu berada di tahap God Level. Matematika itu rumit.
Kenapa aku harus mengerjakan soal ini? Jawabannya terletak pada keempat perempuan itu. Mereka yang tertawa ketika mendengar tes matematika. Pastinya mereka merencanakan sesuatu. Aku tahu itu. Itu pasti berhubungan dengan rekan mereka. Rekan yang paling jenius bahkan sampai pada tingkat yang mendekati Maha Tahu. Sosok iblis yang ingin memiliki segalanya. Mereka berempat mencoba meyakinkan kalau diriku adalah tuan dari iblis itu.
Sebenarnya, aku mengetahui rencana mereka. Itu ketika mereka mencari tahu tentang nilaiku dalam mata pelajaran matematika. Saat mereka melihat itu, mereka terkejut bukan main. Sebuah bulatan oval besar berwarna merah tergambar dengan indah di pojok kiri atas kertas ulangan. Itu adalah nilai nol besar yang kudapat ketika ulangan harian. Ya, materinya sangatlah rumit dan membuatku pusing. Jadi, menurutku wajar aku mendapatkan nilai nol.
Masalahnya terletak pada itu. Mereka tidak mengenal tuan yang bodoh. Tuan yang mereka kenal adalah tuan yang jenius, bijaksana, dan cerdas. Sosok yang bisa dikatakan Maha Tahu. Itu berbanding terbalik denganku. Benar-benar berbeda 180°. Aku tidak tahu tuan mereka itu sangatlah sempurna. Tidak bisa dibandingkan dengan diriku yang tidak sempurna ini.
Maka dari itu, mereka membuat skenario ini. Mereka akan membuatku mengerjakan soal yang sangat mudah. Lalu, Sorizan akan memberi nilai seratus dengan kertas soal yang sama dengan yang lain. Walau aku terdapat salah dalam mengerjakan soal ini, aku akan tetap mendapatkan nilai seratus. Walau aku salah semuanya, aku akan mendapatkan seratus. Jika aku mengosongkan kertasnya, aku akan tetap mandapatkan nilai seratus. Betapa mudahnya itu.
Bagaimana aku mengetahui itu, karena itu adalah insting. Tidak mungkin seorang pelayan mau mempermalukan tuannya. Mereka pasti akan melakukan segalanya untuk membuat tuan mereka tampak sempurna. Ketidaksempurnaan adalah dosa bagi para pelayan. Mereka yang tidak bisa melakukan itu lebih baik tidak mengharapkan apa-apa. Itu adalah yang seharusnya pelayan lakukan untuk tuan mereka.
Jadi, aku tidak mengerjakan soal ini. Mau bagaimanapun, aku akan mendapatkan nilai seratus. Mau aku tidak mengerjakan atau mengerjakan, aku akan tetap mendapatkan nilai seratus. Mau aku mengerjakan dengan asal-asalan atau dengan teliti, aku akan mendapatkan nilai seratus. Tindakan apapun yang aku lakukan, akan membawa ke hasil yang aku perkirakan. Begitulah.
"Tu-tuan?" panggil Desi yang berada di sampingku.
Aku langsung menengok ke samping dan menatap wajahnya. Jelas aku memasang ekspresi malas karena di panggil ketika melamun. "Kenapa?"
"Tuan ngga mengerjakan soalnya?" tanya Desi dengan suara sedikit terbata-bata, namun itu masih terdengar halus di telinga.
"Bagaimanapun aku akan mendapatkan nilai seratus, bukan? Buat apa aku mengerjakan soal ini?"
Jika ditanya kenapa aku mengatakan hal seperti itu, aku akan menjawabnya kalau itu adalah untuk memastikan sesuatu. Masih ada kemungkinan kalau bawahan Desi, Sorizan, tidak akan memberikanku nilai seratus. Pasti mereka hanya memberikanku soal yang sangat mudah untuk dikerjakan. Mereka tidak memiliki niat, atau lebih tepatnya tidak terpikir untuk memberikan nilai seratus kepadaku. Tapi, itu lebih tidak mungkin daripasa mungkin.
"Mau bagaimanapun juga--."
"Ho? Kau sangat percaya diri dengan pengetahuannmu ya, Devan?"
Itu adalah Firman yang berada di depanku. Ia nampaknya terpancing karena ucapan yang kukatakan. Aku dapat melihat ia menatapku dari sudut matanya dengan sinis. Bahkan, aku dapat merasakan kalau kacamata yang ia kenakan bersinar ketika mendengar perkataanku. Ia nampaknya adalah sosok yang sangat percaya diri dengan pengetahuannya.
Dulu, aku kira kalau Mammon adalah iblis yang hanya menyukai harta. Itu karena ia adalah iblis keserakahan. Namun, ternyata ia serakah dalam segala hal. Mau itu harta, takhta, ataupun pengetahuan. Akhirnya, ia menjadi iblis yang paling jenius di dunia bawah. Setidaknya, itu adalah yang kutahu dari Viani tadi pagi.
"Ya, aku cukup percaya diri dalam berbagai hal. Mungkin salah satunya belajar," jawabku dengan nada malas. Sejujurnya, aku tidak mau menjawab pertanyaanku. Tapi, melihat para wanita itu berjuang, aku akan melakukan yang terbaik dalam meyakinkan Firman.
Ada alasan dibalik nama Firman. Dalam Bahasa Arab, Firman memiliki arti perkataan atau ucapan. Itu merujuk ke dirinya yang sangat berpengetahuan. Sehingga segala yang ia ucapkan selalu mengandung pengetahuan. Itu sulit dipercaya, tapi sepertinya begitulah kenyataannya. Ia memiliki karisma sebagai seorang jenius.
"Begitukah? Aku sangat menantikan hasilnya, Devan." Firman kembali mengerjakan soalnya kembali.
"Jangan terlalu berharap kepadaku. Itu agar kau tidak terlalu kecewa nantinya."
Aku sengaja mengatakan itu supaya segalanya tepat seperti yang kukirakan. Setidaknya, aku memiliki beberapa jalur rencana yang dapat dilakukan tergantung situasi. Setiap rencana memiliki peluang keberhasilan hingga seratus persen. Jika menyimpang, itu akan menjadi nol persen tentunya. Kenapa seratus persen, itu karena rencananya akan berhasil. Namun, terkadang ada sesuatu yang tiba-tiba merusak segalanya. Jadi, rencana yang tadinya memiliki peluang seratus persen bisa menjadi nol persen jika ada sesuatu yang merusak rencana tiba-tiba.
Tentunya tidak mungkin akan ada yang merusak rencana yang kubuat. Walau aku terbilang bodoh dalam matematika, aku cukup ahli dalam membuat strategi. Terima kasih kepada game karena aku begitu jenius dalam hal ini. IQ yang kumiliki terakhir aku tes juga cukup besar. Itu berada pada tingkatan hampir jenius kurasa. Ya, bagaimanapun aku adalah jenius yang tertunda.
"Jadi begitu. Serahkan padaku, Tuan!" ujar Desi yang mendengar obrolan kami berdua. Nampaknya, ia mengerti apa yang aku katakan kepada Firma.
Aku tidak tahu apa ia mengerti atau tidak, aku akan membiarkannya. Untuk jaga-jaga, aku akan mengerjakan soal ini. Ini untuk kelancaran rencana yang lain jika rencana yang satunya gagal. Ini ibarat 'sedia payung sebelum hujan'. Begitulah kurasa.
Setelah mengerjakan soal itu, tes matematika selesai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bagaimana Mungkin Aku Adalah Raja Iblis?
FantasySeorang siswa SMA bernama Devan Steviano menjalani kehidupan sekolahnya yang monoton. Ia menyukai kehidupan klise yang ia jalani setiap harinya. Suasana damai adalah yang ia nikmati. Merasakan damai dengan setiap bagian dari tubuhnya. Namun, itu sem...