[Suzanne Millia]
Hentakan stik drum Jessica yang terakhir membuatku hampir melompat dari tempatku berdiri. Dia memukulnya keras sekali sampai-sampai aku mengira alat musik kesayangannya itu bolong. Sewaktu kuperhatikan, gadis itu terlihat resah, kelihatan sekali sedang menahan amarah. Rambut panjang Jessica ia biarkan menutup wajah, yang mana sangat jarang dilakukannya kecuali ketika ia sedang mengalami galau berat.
Jessica memainkan pedal di kakinya, memperdengarkanku pukulan seirama yang tak seharusnya ada di akhir tampilan. Tatapannya menerawang ke ventilasi basemen, satu-satunya sumber cahaya alami ruangan ini, yang menunjukkan suasana kelam di halaman rumah. Beberapa detik kemudian, pegangan Jessica menguat pada stik, lantas memukul timbal sekuat yang ia bisa. Seketika basemen seakan dilandaark gempa. Kalau ibuku sedang berada di rumah, aku yakin dia akan melompat kaget.
Aku menyatukan alis. "Kau ingin memecahkan kepala kita, ya?" tanyaku setengah membentak.
Tapi, Jessica tidak menjawab. Dia hanya menatapku nanar.
Aku meletakkan gitar di atas meja kopi yang ada di hadapan panggung kecil kami, lalu mengecek ponsel yang kusimpan di atas sofa.
Jam 6.43 P.M.
"Ini sudah hampir tiga jam." Suara Jessica terdengar gemetar. "Dan ini sudah ketiga kalinya Emilya Johnson tidak datang latihan."
Itu pertama kalinya aku mendengar dia memanggil Emilya dengan nama lengkap. Jessica selalu memanggil Emilya dengan Em dalam situasi apapun sejak pertama kali mereka berkenalan, malah bisa dibilang dialah yang membuat panggilan itu. Sehingga, situasi ini membuatku tahu kalau ada yang salah.
Tanpa basa-basi, aku langsung merebut stik drum dari tangan Jessica.
Jessica tidak protes, dia malah berkata, "Aku rasa Em tidak ingin kita mengikuti lomba ini."
"Omong kosong, Jess," ujarku sambil kembali ke sofa lalu mencoba memutar stik drum di tanganku seperti seorang mayoret, sayang stik itu malah jatuh. Aku heran bagaimana Jessica bisa mampu melakukan keahlian itu. "Kautahu dia sama bersemangatnya dengan kita."
Jessica mendengus tak suka. "Di bagian mananya?"
"Well, dia membantu Lara mendesain kostum kita," jawabku setengah ragu karena setahuku Lara-lah yang berinisiatif membantu kami, bukan atas bujukan Emilya. Aku juga tidak merasa pernah melihat Emilya bersama Lara untuk berdiskusi soal kostum. Diceritakan oleh Lara pun tidak. Malah, yang kutahu, Jessica adalah orang yang menyumbangkan ide pada Lara.
Memori itu membuatku memikirkan kejadian-kejadian belakangan dengan cepat. Emilya masih sering terlihat di sekolah, tapi kuantitasnya bersamaku mulai berkurang. Dia sepertinya punya masalah. Maksudku, Emilya memang tipe orang seperti itu, lebih senang mendengarkan curhat orang lain daripada berbicara soal dirinya. Padahal kami sudah berteman sejak selesai sekolah dasar.
Dari ekor pandanganku, Jessica memutar bola mata. Sepertinya, dia tahu kalau aku juga tidak yakin dengan jawabanku sendiri.
"Kautahu, aku harus pulang. Menu makan malam hari ini tahu rambut," ucap Jessica sembari beranjak dari kursinya. Dia mengambil ranselnya dari sofa, lalu melangkah ke pintu yang hanya ditutupi tirai setelah mengambil kembali stik drum dari tanganku.
Aku memetik senar gitar. Tetapi, berhenti ketika Jessica memanggilku. Aku mengangkat kepala untuk mendapati air muka Jessica yang tampak bengap. Dia menimang-nimang selama beberapa detik sebelum berkata, "Kau tidak ingin mengantarku hingga ke pintu?"
Dahiku berkerut. "Kenapa aku harus?"
"Karena aku adalah tamu?"
Itu pasti bukan yang ingin ia ucapkan. Jangan tanya kenapa, karena aku hanya tahu saja. Jadi, kuputuskan untuk mengikutinya hingga ke pintu depan.
Langkah kami terhenti sewaktu Jessica berkata, "Aku berharap semoga skenario terburuk tidak terjadi."
Kubiarkan ia melanjutkan tanpa memberi respons.
Jessica menarik dan menghembuskan napas panjang. "Kalau Emilya tidak datang di hari kompetisi, kautahu aku bisa bermain bass. Aku punya bass di rumah, akan kubawa. Aku juga bisa jadi sub-vocal, sementara kau tetap menjadi vokalis utama."
Aku tetap terdiam. Jessica memegang gagang pintu dengan gemetar.
"Aku--Maksudku, kautahu band ini sangat penting bagiku. Ini bisa jadi penunjangku agar bisa diterima di Berklee. Itu adalah impianku." Dia memberiku senyum simpul. "Kautahu itu, kan, Suz?"
"Aku mengerti, Jess. Aku sangat paham. Tapi, kita bisa pikirkan itu nanti. Aku masih percaya pada Em."
Ekspresi mukanya berubah kecewa.
"Kita tidak tahu masalahnya sampai Em berani bolos latihan. Kita akan mencoba mendengarkan alasannya. Apa kau bisa menerima itu?"
"Kau benar," tukasnya seraya menganggukkan kepala. "Tapi kurasa tidak ada salahnya mempertimbangkan ide ini. Aku akan merancang formasi barunya."
Aku menyetujui tanpa suara.
Jessica kembali memberiku senyum yang kubalas dengan seringai kecil. Dia lalu membuka pintu depan. Kami membeku ketika melihat siapa yang berada di baliknya.
Itu Emilya, masih memakai mantel yang sama dengan yang ia gunakan di sekolah. Dia tidak mengenakan sarung tangan atau topi. Ada sedikit jejak salju yang mencair di atas kepalanya. "Hai, kawan-kawan," sapanya.
Aku tidak melihat reaksi Jessica karena dia sedang membelakangiku. Kami hanya terdiam, menciptakan suasana canggung di antara kami. Jessica lantas mengucapkan selamat tinggal hanya padaku, kemudian setengah berlari menembus udara dingin. Aku tidak yakin dia mencoba untuk sekedar melirik Emilya.
Di sisi lain, Emilya hanya memperhatikan punggung Jessica. Tak tercerminkannya sebuah upaya untuk menjelaskan situasi darinya, menunjukkan kalau dia telah mendengar percakapanku dengan Jessica dan merasa bersalah karenanya.
Kemudian, Emilya menoleh ke arahku. "Suzzy, aku--"
"Kusarankan untuk mengatakan itu pada Jessica."
Emilya tersentak. Dia mengalihkan pandangan dariku.
"Kautahu kalau Jessica sangat menantikan kompetisi ini. Kau juga tahu karena dialah band kita terbentuk. Aku memang mencintai musik, tapi besarnya rasa sukaku tak akan mengalahkan hasrat Jessica pada sesuatu yang hanya kauanggap sebagai hobi sampingan ini."
"Aku akan datang besok. Kita juga masih punya beberapa hari." Emilya berujar cepat-cepat, menatapku lurus.
"Ya, kaubenar. Ini hari Selasa dan lombanya hari Sabtu. Kita memang masih punya beberapa hari," ujarku sarkas.
"Maaf."
"Pulanglah. Telepon Jessica setelah kau sampai di rumah."
Emilya memainkan jemarinya, tampak ingin mengatakan sesuatu.
"Sampai jumpa." Aku menutup pintu setengah dibanting.
Setelah mendengar langkah menjauh dari selasar rumah, kuputuskan untuk kembali ke basemen dan membereskan barang-barang secepat yang kubisa. Ponselku tidak sengaja terjatuh dari tas, berdebum di lantai batu sekali tapi untung tidak rusak. Lampu notifikasinya berkedip-kedip, membuatku langsung mengambil posisi duduk di atas sofa.
Ada pesan dari Conor O'Brien:
Kau tak akan percaya apa yang kulihat sore ini.
Aku mengerutkan kening, lalu membuka foto yang dikirim Conor bersama pesannya. Gambar itu membuatku langsung menekan tombol panggil pada nomor Jessica. Teleponku diangkat setelah dering ketiga.
Suzzy, jejakku saja belum sepenuhnya hilang dari halamanmu. Ada apa? cerocos Jessica dari seberang sambungan.
"Aku sudah berbicara dengan Em. Kita akan main berdua saja di kompetisi." []
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...