t i g a

821 147 8
                                    

Suka duka memiliki anak gadis pasti ada. Teguh akui, ada.

Menyenangkan memang.

Ia tidak perlu repot-repot mempekerjakan asisten rumah tangga karena ketiga putrinya inisiatif membersihkan rumah sebelum berangkat sekolah.

Tidak perlu juga menghabiskan uangnya untuk delivery makanan karena ketiga-tiganya pandai memasak.

Bahkan dengan mudah mendapat diskon saat makan di tukang bubur langganan.

Mengapa?

Kalau menurut si tukang bubur, sih, anak-anaknya cantik dan baik.

Sayangnya, ada satu minggu dalam sebulan yang paling dibenci Teguh.

Seperti minggu ini.

BRAK

"Ren! Bisa diem nggak, sih?! Suara lo sampe ke kamar gue!"

"Lo nggak usah banting-banting pintu ya, Ca! Gue lagi nugas!"

"Kalian berdua mending keluar, deh! Jauh-jauh sekalian dari rumah!"

Teguh berdiri canggung di tengah mereka, berusaha melerai sebisa mungkin.

Sayang, yang ia dapatkan adalah:

"Papa diem! Nggak usah ikut campur!"

Jika sudah begini, Teguh akan menyendiri di kamar. Menikmati keributan yang terjadi di luar sambil menyesap secangkir kopi.

Atau memilih keluar rumah. Seperti sekarang.

Teguh mendorong troli belanjaan sambil bersenandung pelan.

Ia sempat mengecek isi kulkas sebelum pergi.

Hanya telur, bakso, dan sosis yang habis. Membuktikan seberapa sering mereka makan nasi goreng untuk sarapan pagi.

"Om Teguh?"

"Lho? Panji?"

Bocah SMP yang terlampau tinggi itu berlari menghampiri Teguh. Menyeret sang ayah di belakang.

"Hai, Panji," Teguh mengusak lembut surai hitam Panji lalu beralih menjabat tangan temannya, "Yo, Er!"

Erwin tertawa. Menenteng keranjang belanja yang mayoritas diisi oleh bungkus snack.

"Ngapain, Er?"

"Biasa. Ini bocah minta jajan karena nilai matematikanya 100."

"Widih, keren kamu, Ji!"

Anggukan antusias Panji berikan. Bocah itu senang dipuji.

"Nggak sama Mbak Caca, Om?"

"Nggak. Kenapa? Kamu suka sama Caca? Bukannya kemaren sukanya sama Rena?"

Wajah Panji memerah, bersembunyi di balik tubuh sang ayah.

"Jangan digodain anak gue, Guh. Bidadari-bidadari lo kok tumbenan nggak ikut?"

"Bidadari gue lagi pada metamorfosis jadi setan."

"Anjir."

Erwin tertawa lagi. Agak terlalu keras. Karena sekarang mereka menjadi pusat perhatian.

"Yaudah, Guh. Gue duluan, ya? Si Panji ada bimbel soalnya."

"Iya. Hush! Pergi sana! Gue mau nguatin mental dulu."

"Nguatin mental buat apaan?"

"Biasa."







































Cerita Kita!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang