Ketika Pesan Langit Sampai Padamu (BAB 1)

34 9 9
                                    

“Ah, aku lelah sekali dengan hidup ini.”

Aku hentakkan cukup kuat langkah terakhirku di lantai depan meja kerjaku. Berkas pasien yang menumpuk dalam pelukanku pun bernasib sama, karena ruangan kerjaku sudah kosong membuat suara tumpukan berkas yang dibanting itu cukup terdengar dengan keras. Berapa detik kemudian, aku menjatuhkan tubuhku di lantai sembari memeluk lutut. Semua kejadian belakangan ini membuat aku cukup terpuruk rasanya. Semua hal sudah aku lakukan dengan maksimal, tapi tak satu pun membuahkan hasil yang sesuai harapan.

“Kerjaanmu berantakan sekali. Kamu disini masih magang, lho. Kinerja kamu kalau selalu begini, gimana kami mau pertahankan?” ucap kepala ruanganku siang tadi

Aku tak bisa menjawab sedikit pun ucapan kepala ruanganku. Tak ada pembelaan yang dapat aku lontarkan. Aku sendiri pun tidak mengerti kenapa semua hal baik seakan-akan tidak berpihak sama sekali kepadaku. Sedangkan aku sangat butuh pekerjaan ini, aku tidak pernah bisa membayangkan jika aku dikeluarkan. Banyak biaya kebutuhan orang tuaku yang sedang berobat rutin. Belum lagi permintaan adikku yang baru-baru ini sangat mengganggu pikiranku. Ia meminta telepon genggam untuk menunjangnya belajar secara online. Ya, salah satu dampak paling umum yang dirasakan anak sekolah setelah pandemi ini merajalela.
Di tengah kepalaku yang mulai memberat, samar-samar sebuah suara menghampiri telingaku. Membuat seluruh kesulitan yang tengah aku rasakan menari-menari di kepala. Seakan diputar secara otomatis tanpa henti. Air mata yang sejak tadi kutahan agar tidak tumpah, nyatanya tak mampu lagi menahan diri. Seketika ia menghambur menghampiri pipiku lalu mendarat dengan sempurna di lantai. Suara itu belum selesai. Masih menggema di seantero rumah sakit tempatku bekerja. Meski samar-samar, namun setiap kalimatnya terasa jelas di dadaku. Bagaimana tidak, suara itu sudah aku dengar sejak pertama kali aku rilis ke dunia. Ya, suara itu adalah suara adzan yang tengah dikumandangkan.

“Kali ini aku nggak mau salat. Untuk apa salat? Tak akan membuat semua permasalahan ini selesai.” ucap suara pertama di hatiku tiba-tiba

“Eh, tapi kalau aku malah jadi tambah susah gimana ya?” kata suaraku yang lain

“Tidak. Selama ini kamu berjuang sendiri. Bukannya selama ini kamu selalu salat? Buktinya saat ini kamu tetap mengalami kesulitan.” jawab suara pertama

“Hei, tapi apa iya kamu mau susah di dunia dan susah pula di akhirat? Akhirat jauh lebih beratkan?” timpal suara kedua

Seketika aku usap dengan sedikit kasar wajahku. Mengambil posisi berdiri sesegera mungkin sebelum suara-suara jahat sibuk menghampiri teligaku lagi. Ya, kakiku pun terasa berat sekali kali ini untuk melangkah menuju masjid rumah sakit. Tapi rupanya rasa takutku pada azab akhirat yang sejak kecil ayah dan ibuku kabarkan lebih menguasai. Meski sedikit dipaksa dan berjalan dengan amat lamban, aku tetap akan melakukan kewajibanku itu. Kali ini aku sekaligus ingin mempertanyakan langsung kepada Pencipta, “kenapa harus aku yang menerima semuanya?”

Usai mengambil wudhu, aku berpapasan dengan seorang wanita berpakaian serba salem. Ia tersenyum dengan teramat lepas padaku. Orang seperti dia rasanya tak akan mengalami kesulitan-kesulitan yang aku alami. Ia seperti wanita berpendidikan tinggi, wajah dengan skincare mahal dan barangkali dompetnya penuh dengan kartu ATM dan kartu kredit yang isinya mau membengkak. Beda sekali denganku, pikirku. Setelah sibuk dengan analisisku, aku segera menghambur ke dalam masjid. mengambil mukena dan segera menyusul imam yang mungkin sudah mulai membaca surah pendek.

Sujudku kali itu cukup lama sekali. Aku melemparkan banyak sekali pertanyaan kepada Allah. Mengeluhkan banyak hal. Meminta banyak harapan. Menagih banyak pengabulan. Tak berhenti, sampai aku mulai merasakan kakiku kram. Mukena dan sajadahku sudah basah oleh air mata, membuat warnanya berubah lebih gelap ketika aku mengangkat wajahku dari sujud. Belum usai aku melipat mukena, aku layangkan sebuah pernyataankepada seorang teman via whatsapp.

“Aku capek banget ngejalanin hari-hariku. Meski aku udah berusaha tapi ternyata tetap sulit banget buat mencintai kehidupanku.” beberapa detik kemudian sebuah balasan yang tak pernah aku bayangkan datang darinya

“Allah bilang, siapa yang nyuruh kamu mencintai kehidupan kamu? Cintai Allah, maka Allah berikan semua kemudahan hidup untukmu.” seketika aku terdiam membacanya. Hatiku seperti dihunus pedang milikku sendiri.
----

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Pesan Langit Sampai PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang