Bab 1 : Tanah Perjuangan

2 0 0
                                    

"Yakin mau diambil?" tanya Papa kepada Diandra yang masih terdiam sambil menggenggam SK penempatan nya di daerah antah berantah.

"Kalau Dian tidak ambil, kami tidak akan marah." Kali ini Mama yang unjuk bicara.

Tetap saja gadis manis berlesung pipi berwajah lembut ini tidak bergeming. Mata bening berbingkai alis indah berhias bibir tipis yang ranum menggoda tetap saja terlihat muram. Tidak ada kebahagiaan di sana. Padahal bekerja sebagai abdi negara dengan mengalahkan ratusan pesaing seharusnya menempatkan gadis yang biasa dipanggil Dian ini merasakan kebahagian. Namun yang dihadapinya kini justru jauh panggang dari pada api.

Kegelisahan jelas tergambar dari wajah oval miliknya. Bibir yang indah sekarang tetap saja berbentuk kerucut dengan bingkai kening yang berkerut. Papa dan Mama yang berada didekatnya merasakan ketidaknyaman tersebut. Namun, mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Tetap saja keputusan harus diserahkan sepenuhnya kepada anak gadisnya. Sepahit apapun nanti keputusan yang diambil gadis ini, mereka sebagai orang tua tetap akan mendukung dan mendoakan yang terbaik.

"Di, butuh waktu!" Hanya itu yang disampaikannya pada kedua orang tua yang sedari tadi menunggu keputusannya.

"Waktu berjalan, Nak. Secepatnya keputusan harus diambil."

"Iya, Pa! Secepatnya keputusan final akan Dian ambil." Sebuah janji terucap sudah, sebuah pernyataan yang nanti pasti akan diminta pertanggungjawaban. Namun untuk kali ini, Diandra tidak bisa menjanjikan apa-apa, keputusannya belum bulat, ia masing bimbang dan sangat ragu.

Tanpa terasa hari ini berlalu begitu cepat. Tadi pagi ketika mereka berdiskusi dan tidak memberikan hasil, sampai akhirnya ketika langit sebelah barat sudah ditaburi oleh warna jingga. Mentari yang tadinya bersinar terik, sekarang perlahan redup dan tenggelam.

Masih dengan tempat yang sama yaitu taman belakang rumah mereka, dan masih tetap dengan orang yang sama. Mereka bertiga, duduk di teras belakang yang langsung berhubungan dengan taman bunga yang sengaja dirawat khusus oleh tangan lembut Mama.

Beraneka ragam tumbuhan dari bunga, daun sampai buah semua tersaji di sini. Warna hijau yang rimbun membuat mata sejuk memandangnya. Duduk berlama-lama di sini sungguh sebuah keindahan yang nyata. Apalagi sambil menikmati minuman hangat dan cemilan ringan hasil olah dapur Mama. Tidak ada yang mampu untuk dikatakan selain, nikmat mana lagi yang akan kau dustai.

"Sudah dapat keputusannya?" Papa adalah sosok yang apa adanya. Beliau tidak akan mampu membuat bahasa-bahasa pengalihan yang membuat orang semakin penasaran. Tipe Papa selalu tidak ada basa basi.

"Bagaimana? Dian sudah punya jawaban?" Lagi-lagi sebuah pertanyaan yang unsurnya adalah ketidaksabaran.

"Papa ini! Kalau anaknya belum mau bicara jangan dipaksa," Mama mencoba menetralisir keadaan dengan mencoba menenangkan pasangannya.

"Insyaallah, Dian akan ambil pekerjaan ini, Pa!" Akhirnya apa yang dinanti ke dua orang tuanya tersampaikan juga.

Walau masih ada ragu, tapi ia yakin bahwa apa yang sudah diperolehnya kini adalah sebuah takdir dari Yang Maha Kuasa. Terlalu sombong kalau takdir itu ditolak atau diabaikan. Semoga keputusan ini membawa berkah bagi dirinya dan keluarga mereka.

"Jadi selanjutnya?" Kali ini Mama yang bertanya.

Diandra pun tidak tahu menjawabnya seperti apa. Yang pasti segala adminstrasi harus diselesaikan. Selanjutnya ia belum mampu menjawab apa-apa.

Sejenak kebimbangan kembali menyelimuti hatinya. Sampai usianya yang memasuki 23 tahun pada tahun ini. Namun, tidak pernah sekalipun Diandra jauh dari Mama dan Papa. Kesempatan yang didapatnya sekarang adalah sebuah perubahan yang akan terjadi. Inilah kali pertamanya Diandra akan tinggal berjauhan dari Mama dan Papa.

Mampukan ia menghadapi semuanya ini? Sekarang Diandra tidak mampu memberi jawaban pasti. Setidaknya, keputusan untuk menerima pekerjaan ini adalah satu langkah untuk menghadapi perubahan tersebut. Selanjutnya apa yang terjadi Diandra pasrahkan ke tangan Tuhan.

***

Setelah hampir dua minggu menyelesaikan segala pernak dan pernik adminstrasi, akhirnya semuanya selesai dengan baik dan lancar. Surat menyurat yang dibawa Diandra ketempat tugas yang baru sudah diselesaikan dan sudah diserahkan pada Kantor Dinas Pendidikan di cabang terdekat.

Sekarang tinggal memutuskan, kapan dan bagaimana datang ketempat tugas tersebut. Sebuah daerah yang tidak pernah ada dalam pemikiran Diandra selama ini. Daerah yang tidak pernah ada dalam khayalannya. Tidak mengenal dan tidak mengetahuinya. Di ujung minggu sebuah kabar diterima Diandra, sedikit menyejukkan hati dan memberikan ketenangan pada kedua orangtuanya.

[Ini nomor telepon yang bisa, Ibu hubungi. Pak Abidin adalah kepala sekolah tempat Ibu bertugas]

Begitu isi pesan yang masuk ke gawai Diandra melalui aplikasi WhatsApp miliknya. Bukan hanya pesan tapi juga nomor kontak dan alamat dari Pak Abidin yang nanti akan menjadi kepala sekolahnya nanti.

"Bapak yang jumpa waktu ambil SK." Begitu panjang identitas yang disematkannya pada nomor kontak tersebut. Tidak sempat ia menanyakan nama atau sekedar berbasa-basi.

Diandra hanya mengenal sosok yang memberikan informasi ini, adalah seorang laki-laki berusia awal 30 an, berkulit sawo matang, dengan kumis tipis yang menghiasi bibirnya. Dari kesemua tampilan itu ada satu yang disukai Diandra, yaitu mata teduhnya.

[Terimakasih informasinya, Pak]

Seperti itu Diandra membalasnya. Formal dan biasa saja. Tidak ada keinginan untuk sekedar bertanya nama si pemberi informasi itu siapa. Artinya nama sebagai identitas tidak akan tergantikan. Tetap sebuah nama pengingat kejadian yang disematkan kepada dewa penolong tersebut.

Perjalanan panjang dan melelahkan sudah membawa Diandra dan kedua orangtuanya mengunjungi daerah yang belum pernah sama sekali didatangi. Ada kebingungan tapi lebih banyak rasa penasaran. Seperti pergi berwisata, mereka bertiga begitu menikmati perjalanan. Jarak tempuh ratusan km dengan waktu tempuh lebih kurang lima jam mengakhiri perjalanan mereka disebuah kecamatan Simpang Kanan. Sebuah daerah diujung kabupaten Rokan Hilir.

Entah karena doa yang selalu dipanjatkan atau juga mungkin karena memasrahkan diri dihadapan Tuhan, tiga hari menjelang keberangkatan, Mama mendapat kabar bahagia.

Salah seorang dari siswa Mama di sekolah ternyata Ayahnya adalah camat di kecamatan tempat Diandra akan mengabdi. Seluk beluk daerah, akses masuk dan kebiasaan semua informasi itu menjadi bekal bagi Diandra untuk berada di daerah baru tersebut. Jadi selain orang yang memberikan nomor telepon Pak Abidin, Pak Camat ini juga orang yang berjasa untuk Diandra.

Tawaran untuk tinggal di rumah dinas camat, disambut Diandra dengan baik, setidaknya untuk sementara. Mama dan Papa yang hanya mengantarkan menitipkan gadisnya dalam pengawasan Pak Joko dan Ibu, seperti itu kami memanggil Pak Camat tersebut.

***

Walau sudah berusaha menahan air mata, tapi pada akhirnya jatuh dan tumpah juga. Setelah di Minggu pagi Mama dan Papa pamit untuk pulang dan kembali ke rumah. Ada berbagai macam rasa yang tak terungkapkan oleh Diandra saat ini. Sedih harus berpisah dengan mereka. Di rumah pun nanti Mama dan Papa akan tinggal berdua, karena anak mereka hanya ia seorang. Begitu juga Diandra di tanah perjuangan ini. Ia akan menjadi manusia mandiri yang harus bijaksana dalam mengambil keputusan, harus pandai membawa dan menjaga diri, harus pandai menyikapi permasalahan.

"Kita datang bukan untuk mencari lawan ya, Nak. Tapi kita datang untuk mencari teman." Nasihat Papa yang sangat membantu dalam kehidupannya di sini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KISAH KITA TELAH USAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang