FERRIS WHEEL

3.4K 248 20
                                    

Tentang Minho dan Jisung dalam satu kapsul bianglala.

Romance

.

.

.

“Kak Minho! Mau naik itu!” ujar Jisung dengan senyum lebar terlukis di wajah. Jemari kurusnya sibuk menunjuk ke arah wahana berbentuk lingkaran besar dengan lampu kelap-kelip yang menghiasinya.

Minho mengikuti arah pandang sang kekasih, menatap bianglala yang menarik seluruh atensi Jisung. Kerumunan manusia berbaris rapi di sana guna menunggu giliran mereka.

“Ngantri banget, Sungie. Sayang buang-buang waktu,” jawab yang lebih tua berusaha memberikan pengertian. Sebenarnya, Minho hanya sedikit malas. Menurutnya, bianglala adalah salah satu wahana yang paling membosankan karena hanya menyajikan pemandangan di sekitar.

Namun, wajah cemberut Jisung dan kedua manik bulatnya yang menatap Minho penuh harap membuat yang lebih tua akhirnya menyerah. Mengiyakan permintaan dari tupai mungil kesayangannya.

Siapa juga yang bisa menolak kalau Jisung sudah mengeluarkan jurus andalan? Minho lemah, lah. Tolong diingat, Minho itu bucin tsundere tingkat akut.

“Yaudah iya. Jangan ngerengek pegel berdiri loh, ya? Kakak gak mau gendong.”

Dengan itu, cengiran lebar lagi-lagi terulas di wajah yang lebih muda. “Yeay! Kak Minho terbaik. Let’s go!

.

.

.

Setelah dua puluh menit mengantri dengan belasan keluhan yang Jisung lontarkan, tibalah giliran mereka untuk masuk ke dalam salah satu kapsul bernomor 25.

Jisung menempatkan tubuhnya di kursi bagian kanan dan Minho mengambil tempat tepat di depan Jisung. Kapsul itu ternyata sedikit lebih lebar dari perkiraan mereka. Setidaknya, lutut kedua anak adam itu tidak bertabrakan. Jadi mereka merasa nyaman di dalam sana.

Wahana itu bergerak naik dan berhenti secara konsisten, mengangkut penumpang untuk kapsul-kapsul lain.

Sementara sepasang kekasih dalam kapsul nomor 25 justru asik bersenda gurau. Membahas apapun yang terlintas dalam benak mereka mulai dari topik kuliah hingga topik kucing terbang.

“Sung, Sung!” Minho berujar panik dan bergerak untuk sedikit memutar tubuh, membuat Jisung juga ikut panik dan melihat ke arah pandang Minho.

“K—kenapa Kak?”

“Bantu garukin punggung, Kakak. Gatel, Sung.”

Jisung langsung melemparkan pukulan ringan di bahu yang lebih tua, disambut kekehan geli dari Minho. Meski begitu, tangan Jisung tetap menelusup masuk ke dalam sweater yang Minho kenakan. Menggaruk bagian punggung Minho yang gatal.

“Aa, iya situ.”

“Kak Minho kebiasaan. Gak bisa garuk sendiri apa?”

“Kan gampangan digarukin, sayang. Udah, Ji.”

Jisung mengeluarkan tangannya dari dalam baju Minho kemudian kembali menyandarkan tubuhnya.

Wahana sudah mulai berputar, tanda bahwa seluruh kapsul di bianglala sudah terisi penumpang.

Jisung tersenyum lebar, menikmati semilir angin sejuk yang menerpa wajahnya dan membuat surai tebal lelaki manis itu berantakan. Kedua manik bulat Jisung berbinar, memandangi sekitar kota yang bertabur cahaya lampu dari ketinggian. Langit yang sudah gelap mempercantik pemandangan itu.

Sementara Minho justru lebih tertarik memandang lelaki yang sudah empat tahun menjadi pacarnya itu. Binar kasih sayang dan penuh damba terlukis jelas dari matanya. Minho tersenyum kecil, diam-diam mensyukuri kehadiran Jisung yang penuh warna dalam hidupnya yang terkesan monoton dan abu-abu.

Sayang, momen tenang itu tidak berlangsung lama.

DING! DING! DING!

Wahana itu berhenti tepat ketika kapsul yang ditempati Jisung dan Minho menempati posisi puncak. Titik teratas dari wahana yang mereka naiki.

“Loh, loh. Kok mati?! Kok berhenti?!” ujar Jisung panik. Bagaimana tidak, ia saat ini berada di ketinggian 60 meter di atas daratan. Untuk seseorang yang memiliki acrophobia, Jisung tentu tidak merasa aman.

Sama pula dengan kekasih Jisung, Minho, yang juga takut pada ketinggian. Berbeda dengan Jisung yang panik, Minho justru lebih tenang walau wajahnya sudah berubah pucat. Ia menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan, berusaha menetralkan degup jantung. Bagaimana pun juga, Minho masih harus menjaga Jisung. Mau jadi pahlawan, katanya.

“Mohon maaf kepada seluruh penumpang Sunshine Wheel. Saat ini, wahana sedang mengalami gangguan teknis. Pihak kami sedang berusaha memperbaiki wahana dan diperkirakan maintenance akan memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya dan harap tetap tenang.”

Suara dari loudspeaker itu menggema, membuat dua anak adam yang terjebak dalam kapsul bianglala bernomor 25 itu membeku. Netra keduanya bertubrukan, saling melempar pandangan yang ketara gemetar karena takut.

“K—Kak, gimana dong...” Jisung bergerak gelisah. Membuat Minho tanpa sadar terlonjak karena kapsul mereka yang bergerak-gerak.

“Ji, jangan banyak gerak!”

Jisung lantas menghentikan pergerakannya, mengangguk cepat sambil menggumamkan kata maaf. Pikiran dua anak adam itu kalut, membayangkan bagaimana jika tiba-tiba mereka terjatuh. Mengerikan.

“Takut, Kak.”

Gumaman kecil itu menyadarkan Minho dari dunia imajinasi yang berlebihan. Dengan lembut, ia meraih telapak tangan Jisung dan menggenggamnya erat. Mengusap punggung tangan itu dengan ibu jarinya.

“Gapapa, jangan takut. Ada Kakak. Gabakal kenapa-napa, ok?” ujarnya berusaha meyakinkan Jisung. Walau sebenarnya, Minho ragu juga sih.

Kepala yang lebih muda kembali mengangguk sementara Minho berusaha mencari cara untuk mendistraksi pikiran mereka. Setidaknya, ia dan kekasih menggemaskannya harus lupa sejenak kalau mereka sedang terjebak di ketinggian puluhan meter dari tanah.

“Ji, gimana kalau... kita main jujur-jujuran? Truth or truth?

Jisung lantas menatap wajah lelaki Lee itu, sedikit bingung pada awalnya namun berakhir mengiyakan ajakannya.

“Um, oke. Truth, Kak.”

.

.

.

to be continued?

.

.

.

Aku dan kegabutanku menghasilkan tulisan nggak jelas kayak gini. AAAA.
Harusnya kelas malah nulis konten halu. 😢✋

Apa ini terlalu keju?

MINSUNG: ONESHOOT COLLECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang