Shani yang awalnya hanya bersantai sambil memikirkan gadis itu menoleh ke arah luar saat terdengar suara besi beradu, ada yang sedang bertarung. Shani langsung lari ke luar dan melihat satu pengguna api dan empat manusia biasa tergeletak di tanah dengan bersimbah darah.
Bukan hal yang mengejutkan, tapi masalahnya adalah, yang mengalahkan mereka adalah seorang misterius yang kini sudah memasukkan kembali pedangnya ke dalam tas dan lari. Shani masih ingat, orang tadi adalah orang yang baru saja keluar dari cafe miliknya.
"Siapa yang melakukan ini?" Kaget Zee.
"Tentu kau ingat dengan orang yang baru saja keluar dari cafe." Jawab Shani.
"Jangan bercanda bos. Dia manusia biasa." Kekeh Zee.
"Terserah mau percaya atau tidak, tapi itulah kenyataannya. Panggil Vivi dan Chika, singkirkan mayat itu dari sini." Perintah Shani.
"Baik bos." Zee mengeluarkan hpnya dan menelepon Vivi.
Vivi dan Chika datang dengan cepat, mereka bertanya siapa yang melakukan ini dan jawaban dari Zee membuat mereka terkejut. Reaksi mereka tidak percaya sama seperti Zee tadi saat diberi tau Shani.
***
Gadis itu tau bahwa Shani mengikuti dirinya sejak tadi. Jadi saat di gang sempit, dia berhenti dan bersandar di tembok menunggu Shani keluar dari persembunyiannya.
"Gue tau lo di sana Shani." Ucap gadis itu.
Shani tersentak mendengar namanya, bagaimana bisa gadis itu tau bahwa dia mengikutinya? Shani keluar dan mendapat kekehan dari gadis itu.
"Jadi ada apa wahai pemimpin bagian utara?" Sinis gadis itu.
"Apakah lo marah gue ngacau di tempat lo?" Gadis itu seperti tidak mempunyai rasa takut.
"Kamu siapa?" Tanya Shani.
"Jangan bilang lo lupa sama gue. Bahkan kita baru bertemu tadi." Kekeh gadis itu.
"Kamu....." Shani menghentikan ucapannya.
"Ya, ini aku." Gadis itu menurunkan kupluk hoodienya dan melepas maskernya.
"Anak dari Devan dan Veranda. Kamu mencariku bukan?" Gadis itu tersenyum tipis.
"Siapa namamu?" Tanya Shani.
"Ternyata ayah dan ibu benar-benar menjaga kerahasiaan namaku." Kekeh gadis itu.
"Aku tanya siapa namamu?" Shani mulai kesal.
"Untuk apa lo tau?" Sinis gadis itu.
"Aku jadiin manusia bakar mau?" Sarkas Shani.
"Uh takuut." Gadis itu menunjukkan ekspresi takut yang menyebalkan.
Shani mendekati gadis itu dengan wajah kesalnya. Gadis itu tidak bergerak dari tempatnya, tidak mundur sama sekali. Dengan sekali gerakan, tangan Shani menjewer telinga gadis itu.
"Aaawww..... aduuh... duh.. sakiiit woy." Gadis itu menepis tangan Shani.
"Kasih tau nama kamu, atau aku bakal bikin merah telinga kamu." Shani mendengus kesal, gadis itu sangat menyebalkan.
"Emang lo mau ngapain kalau udah tau nama gue?" Gadis itu bertanya balik.
"Aku disuruh jagain kamu sama orang tua kamu. Kalau kamu nggak mau kasih tau nama kamu, sini ikut aku." Shani menarik telinga gadis itu dan menyeretnya ke markas.
Gadis itu mengaduh sepanjang perjalanan, katanya mau dijaga, kok ini malah disakitin. Shani manusia paling aneh yang pernah ditemuinya.
Sampai di cafe, Shani masih menarik gadis itu menuju ke ruang yang biasanya digunakan untuk bersantai. Di sana ada Vivi, Chika, Zee, Ara, Dey, Oniel, Aya, Desy, Jinan dan Mira. Mereka semua terkejut melihat Shani membawa seseorang dengan cara tak wajar.
"Kalian semua." Shani menunjuk semua temannya. "Kalau bisa tau nama dia, gue kasih libur seminggu. Dia anaknya pak Devan sama bu Veranda."
"Demi apa Shan?! Lo bawa anak pak Devan pake cara kasar kek tadi, tak patut dicontoh." Kaget Desy.
Gadis itu duduk santai di kursi sambil menurunkan pedang dari punggungnya. Gadis itu menatap penuh tanya ke teman-teman Shani yang menatapnya aneh.
"Eh tunggu, elo yang ke cafe tadi kan?" Tanya Zee.
"Iya, kenapa?" Tanya gadis itu balik.
"Jadi elo yang habisin 5 orang di depan cafe tadi?!" Tanya Zee memastikan.
"Iya, mereka lemah banget lawan satu cewek aja kalah." Cibir gadis itu.
"Wah harus di umumkan nih? Seorang manusia biasa bernama..... siapa nama lo?" Tanya Zee.
"Gue gak punya nama." Gadis itu tau akal bulus Zee.
"Sialan, gagal dong." Dengus Zee.
"Punya nomer hp nggak?" Tanya Vivi.
"Punya." Jawab gadis itu.
"Minta, nih kasih nama yang bener." Vivi melemparkan hpnya dan ditangkap oleh gadis itu.
"Udah." Gadis itu melemparkan balik hp Vivi.
Vivi melihat hpnya, begitu juga dengan Chika yang ada di sebelahnya. Mereka menatap malas gadis itu mengetahui nomernya sendiri diberi nama 'manusia biasa'.
Ara berdiri dan langsung merangkul pundak gadis itu. Semuanya terdiam melihat kelakuan Ara yang pasti akan mengeluarkan jurus buayanya.
"Kamu cantik lho, mau dipanggil apa? Masa nggak punya nama sih?" Ara mengedipkan sebelah matanya.
"Nama gue........" Gadis itu menggantungkan ucapannya.
Semuanya bersiap menyiapkan telinga mereka baik-baik. Termasuk Shani yang langsung fokus pada gadis itu.
"Gue punya nama tapi gak ada niatan buat ngasih tau kalian." Ucap gadis itu pada akhirnya.
"Aku panggil sayang mau nggak?" Ara malah menggoda gadis itu.
"Terserah." Jawab gadis itu singkat.
Semuanya menghela nafas panjang, mereka kesal karena gadis itu kekeuh tidak ingin memberitahukan namanya. Gadis itu malah mengeluarkan pedangnya dari tas dan menariknya. Semua yang ada di sana langsung siaga, termasuk Shani.
"Kalian ngapain? Katanya mau tau nama gue. Nih liat." Gadis itu menunjukkan sebuah ukiran di pedang itu.
Shani mendekat dan membacanya. Hanya tertulis 'Ge, 31 Agustus 98'.
"Jadi nama kamu hanya Ge?" Heran Shani.
"Nama panggilan gue Ge, jadi silahkan kalian panggil gue pake nama itu. Nama panjang gue, itu rahasia." Ucap gadis itu.
"Ge terlalu pendek, gimana kalau Gege?" Ucap Chika.
"Ya terserah kalian." Jawab gadis yang sekarang diketahui bernama Gege.
"Oke, ayo tebak-tebakan. Nama yang awalnya ada Ge nya apa?" Tanya Desy.
"Geovany?"
"Geraldine?"
"Geisha?"
"Nama gue bahkan nggak ada kata Ge nya." Timpal Gege.
"Udah kan? Gue mau balik." Gege kembali menggendong pedangnya.
"Lo harus tinggal disini." Shani menahan lengan Gege.
"Males." Gege menghempas tangan Shani lalu keluar.
"Gue bakal ikutin dia, kalau ada apa-apa cepet telpon gue." Pesan Shani.
Kini Shani kembali mengejar Gege.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARA MERAH DAN BIRU [END]
FantasyAku belum pernah merasa sehancur ini. Melihat dia yang meregang nyawa di depanku hanya untuk menyelamatkan aku yang bahkan belum bisa memberinya sebuah kebahagiaan. Aku mengecewakan dia, aku membuatnya marah, aku membuat dia putus asa, dan kini aku...