"Gue Reno. Salam kenal" ujar orang tadi sembari mengulurkan tangan kanannya. Ingin bersalaman, niatnya.
"Lo ngapain ngasih gue minum?" bukannya menerima uluran tangan Reno, atau sekadar menjawab 'gue Sekar'. Sekar justru merespon dengan pertanyaan yang tergolong sadis kepada orang yang baru saja menolongnya dengan memberi sebotol minum.
Karena merasa dianggurkan, Reno tarik kembali tangan kanannya. Lalu ia tersenyum. "Gue tadi liat lo lari, terus muka lo keliatan kecapean. Gue perhatiin lo belum minum sama sekali, yaudah deh gue beliin" Reno menjawab sambil mendaratkan tubuhnya disisi Sekar.
"Sok peduli banget. Baru juga kenal" ucap Sekar pelan. Sangat pelan. Bahkan ia ragu Reno dapat mendengarnya.
"Lo gak pengen memperkenalkan diri?" Tanya Reno ketika keheningan sempat menyapa mereka.
"Gue yakin lo udah kenal gue. Gak perlu buang tenaga buat perkenalan" Sekar menjawab cuek.
"Hahaha, iya sih" Reno tertawa singkat dan hambar. "Yaudah deh, ini minum buat lo, ambil aja." Lanjut Reno seraya memberikan botol minum yang tinggal setengah kepada sekar.
"Dan juga, sehabis lari jangan lupa minum. Nanti lo kehabisan tenaga, pingsan deh, gue juga yang repot." Ucapnya sembari bangkit dan beranjak pergi meninggalkan Sekar seorang.
Sepeninggal Reno, Sekar memandangi punggung Reno yang semakin menjauh. Ia baru sadar bahwa Reno memakai baju olahraga sama sepertinya. Berarti Reno satu angkatan dengannya, karena di sekolahnya membedakan seragam olahraga tiap angkatan.
Kemudian ia menatap sekeliling lapangan. Teman-temannya masih asyik menonton lomba lari estafet dadakan itu. Tak jauh dari sekumpulan temannya, ada gerombolan lain yang sepertinya adalah anak kelas lain yang sedang melakukan olahraga tolak peluru. Sekar melihat Reno diantara gerombolan itu.
"Anak ips?"
Gumaman kalimat tanya meluncur pelan dari bibir sekar kala melihat Doni, salah satu anak Ips yang cukup terkenal di sekolahnya, berada dalam satu lingkup bersama Reno.
"Cihh, bodo amat" lanjutnya kemudian, mengusir rasa penasaran yang sempat menghinggapi pikirannya.
*****
Perkara Reno tadi pagi tak Sekar ceritakan pada teman-temannya. Ia tak berminat dan merekapun tidak membuka pembicaraan terkait hal itu, mungkin mereka tak menyaksikan peristiwa tadi siang atau mereka tak ingin membahas lebih lanjut. Entahlah, intinya, Sekar bersyukur terhadap sikap teman-temannya.Pelajaran olahraga telah berlalu, kini jam istirahat kedua telah menyapa diikuti dengan ucapan pamit dari pak Dimas selaku bapak guru matematika yang tercinta. Bohong deng. Hanya Raga--teman sekelas Sekar yang otaknya memang encer, seencer kuah bakso--yang cinta kepada matematika. Yang lain, mah, mana ada yang suka sama matematika, malah bisa dibilang banyak yang benci.
"Matematika udah terlalu sering bikin sakit hati, ogah amat gue kasih hati" ujar Ria suatu ketika.
Tak lama setelah pak Dimas menghilang dari balik pintu kelas, anak-anak kelas mulai riuh menyuarakan suara yang sedari tadi mereka tahan akibat aura mencekam yang dikeluarkan oleh pak Dimas.
Ada yang balik badan menyapa teman yang berada dibelakang bangkunya, ada yang berdiri menghampiri teman yang berada di bangku barisan lain. Ada yang langsung ngacir keluar kelas, entah kemana. Kebanyakan sih, mereka mempersiapkan diri menuju mushola sekolah. Memang sudah waktunya ibadah shalat dzuhur. Sebentar lagi juga adzan pasti berkumandang.
Diantara mereka yang mempersiapkan diri, Sekar dan teman-temannya ikut andil dalam rombongan itu. Mereka sekarang tengah berjalan beriringan membentuk dua shaf dengan Sekar, Tyas dan Merlyn di shaf pertama, disusul Anggun, Cika dan Ria di shaf kedua.
Mereka segera masuk mushola guna meletakkan mukena lalu bergegas menuju tempat pengambilan wudhu.
Setelahnya mereka masuk kembali ke dalam mushola dan duduk manis dan berbincang pelan mengingat posisi mereka sekarang.
Ketika tengah asyik berbincang akan suatu hal, gema adzan pun akhirnya berkumandang. Sontak keenamnya diam dan memerintahkan indra pendengarannya untuk fokus mendengarkan suara tersebut.
Sekar tersenyum dalam diam. Hatinya menghangat mendengar seruan adzan kali ini. Setiap kata yang terucap sangatlah indah. Sekar rasa muadzin kali ini berbeda dari yang biasanya. Karena suaranya sangatlah merdu dan enak untuk didengar.
Bukan maksud Sekar muadzin yang biasa tidak merdu suaranya. Bukan. Bukan itu. Namun memang tak bisa ditampik, Sekar seperti jatuh hati terhadap suara si pengumandang adzan.
Hei, ini bukan cerita dengan genre religi romantis ya haha. Sekar hanya tiba-tiba teringat dengan salah satu novel religi yang dibacanya semalam tentang jatuh cintanya seorang perempuan kepada seorang lelaki lewat lantunan ayat sucinya, padahal si perempuan tidak tau siapa lelaki itu, masih mudakah? Sudah beristrikah?
Sekar rasa ia masih terbawa euphoria alur ceritanya sampai sekarang. Sampai-sampai ia sempat berfikir bahwa si muadzin adalah jodohnya. Hahaha. Astagfirullah, berdosa banget Sekar.
Posisi sekar saat ini memang tak memungkinkan dirinya untuk melihat lelaki yang menyuarakan adzan barusan. Karena memang shaf putri dan shaf putra dipisahkan oleh kain hijau setinggi dua meter. Hanya telapak kaki yang terlihat dari bawah.
Demi apa, Sekar benar-benar mengintip telapak kaki lelaki itu dari bawah celah kain.
Dan yang terlihat hanyalah telapak kaki telapak kaki kaum adam. Tak ada yang berbeda, kecuali jenis warna dan ukurannya. Bahkan Sekar tak tahu yang mana kaki si muadzin.
"Ci, tadi yang adzan siapa, sih? Lo kenal suaranya gak?" Sekar bertanya kepada Cika ketika mereka tengah membereskan peralatan shalat.
"Enggak, Se. Kenapa emang?"
"Eh, gak papa, sih. Kayaknya suaranya beda ya dari yang adzan biasa?" Ini sebenarnya bukan mutlak suatu pertanyaan sih. Sekar lebih ke menyuarakan pendapatnya.
"Iya, Se. Kan yang biasa adzan si Romy. Hari ini kayaknya dia lagi ikut lomba tahfidz di kabupaten" jelas Cika yang memang lebih dekat dengan anak-anak pengurus mushola, mereka pun berdiri dan hendak menyusul Anggun dan Tyas yang sudah ada di luar mushola.
"Oalah. Suaranya tadi bagus ya, Ci?" Akhirnya Sekar jujur pada Cika tentang hal yang membuatnya tertarik. Kali ini mereka sudah berada dekat rak sepatu dan tengah memakai sepatu masing-masing.
"Masak sih, Se? Perasaan yaaahhh, biasa aja deh. Hehehe" kali ini Merlyn menjawab Sekar dengan cengiran pelan.
"Ih, iya tau, Mer. Lo mah gak dengerin dengan khidmat ya tadi? Sumpah bagus banget tau, gue aja sampai merinding dengerin suaranya" Sekar menunjukkan bulu-bulu halus di tangannya seraya bergidik mengingat saking indahnya suara tersebut.
"Lo jatuh hati ya sama kakak muadzinnya? Hahaha" ejek Tyas dengan suara tawa lepas karena mereka sekarang sedang berjalan kembali ke ruang kelas.
"Heh, enggak lah, Yas. Ngawur aja"
"Udah, gakpapa, Se. Siapa tau jodoh"
"Nanti kita tanya yuk sama Awan, tadi siapa yang adzan" Tyas menyuarakan pendapat ketika keenamnya sampai di pintu kelas.
"Iiihh, apalaaah. Gue bilang gak usah. Tiyaaasssssss..." suara Sekar melengking ketika ia melihat Tyas tengah membuka percakapan dengan Awan, teman sekelasnya.
"Apasih lo, Se. Rese deh" Tyas bersungut dan hendak melanjutkan kalimatnya yang terputus karena ulah Sekar.
"Mau ngomong apa, Yas?" Awan akhirnya buka suara setelah terkekeh melihat ekspresi kesal Sekar.
"Gak jadi, Waann. Gak jadi ngomong Tyasnya. Dah yuk Yass balik ke meja" sekar menarik tubuh Tyas untuk menjauh dari Awan. Bisa bahaya kalau Awan tau yang kepo terhadap si muadzin adalah Sekar.
Sebenarnya Sekar belum siap mendengar siapa orang tersebut. Bukan apa-apa sih. Hanya saja, sepertinya lebih baik begini saja. Toh, Sekar hanya kagum mendengar suara adzannya kan? Tidak lebih.
Hope you enjoy it guys 🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
For You From Love
Teen FictionNanti dulu, Sekar masih enggan untuk membuka lembaran cinta yang baru jika yang lama masih berdebu dengan tipis. Biarkan saja dulu Ia seperti ini, menikmati sepi dalam kesendiriannya. Namun jika dipikir lebih dalam, Sekar tak kesepian. Sekar justru...