12. Ingat

57 23 5
                                    

Tanpa kita sadari dan ketahui, banyak dari mereka yang masih mengingat kita bahkan membantu kita tanpa terlihat oleh mata.

●○●○●

Sebut saja Adya ini orang yang tak sabaran dan sulit berlama-lama menyerap nasihat dari seseorang. Buktinya sekarang, ia sudah kembali gelisah dengan angka-angka yang terpampang di samping cover cerita yang bertuliskan 'Sinar untuk Kita' itu hanya karena melihat viewers temannya yang jauh lebih banyak darinya. Padahal baru beberapa hari yang lalu Zion menasihatinya.

Adya menatap sebuah tulisan 'batalkan publikasi' yang tertera di layar ponselnya. Haruskah ia mengkliknya saja agar rasa tak enak dalam hatinya hilang?

Adya mengerang frustasi. Tidak, jangan sekarang. Sekarang yang ia butuhkan terlebih dahulu adalah pendapat Aji akan hasrat dalam hati yang sangat membimbangkannya ini.

Adya beralih pada aplikasi bernama kontak, lantas mencari username Aji dan menelponnya.

"Maaf, siapa, ya?"

Adya mendengus jengah mendengar sapaan Aji yang malah bercanda. Padahal dirinya sedang tidak ingin bercanda dan tertawa untuk saat ini.

Terdengar Aji mendesis geli di seberang sana. "Hih, gitu aja ngambek, ya? Ambekan, lo!"

"Gue lagi nggak mau becanda!" ucap Adya kesal.

"Emang siapa yang becanda? Nggak ada tuh."

Adya mengeratkan gigi-giginya. Bukannya membuatnya tenang, Aji malah semakin membuatnya tak karuan. "Serah, lo! Nggak jadi gue mau minta pendapat! Bay!" Ia mematikan panggilan secara sepihak. Namun hanya selang beberapa detik, Aji balik menelponnya. "Apa lagi?!" tanyanya sewot.

"Tadi katanya mau minta pendapat gue. Apa?"

"Nggak jadi!"

"Ish! Lo 'mah ambekan. Maaf deh, maaf. Ayo ngomong. Apa? Mau minta pendapat soal apa?"

"Dya?" Aji berusaha sabar dengan berujar lembut saat Adya tidak kunjung berbicara. "Adya Sasmi ... sahabatku yang paling cantik di dunia, ayo ngomong! Jangan diem aja kayak kaleng rombeng. Eh, kaleng rombeng 'mah berisik, ya? Salah." Aji terbahak sendiri. Sementara Adya, menatap layar ponselnya dengan sorot mata malas bercampur tak minat.

"Lo yang kaleng rombeng!" Akhirnya Adya menyahuti sebab bibirnya terasa sudah gatal ingin memaki laki-laki di seberang sana. "Berisik, bawel, kayak cewek!"

"Ya 'kan gue gini juga karena melengkapi, lo. Kalo lo-nya sok cool, zaim, ddm alias diam-diam menghanyutkan, maka gue-nya harus gini." Jeda sejenak. "'Kan kata para Ustadz yang ceramah di masjid kalo jum'atan, jodoh itu saling melengkapi. Kalo kita kurangnya, maka si jodoh lebihnya. Kalo kita lebihnya, maka si jodoh kurangnya," ucap Aji bak seorang pendakwah. Lalu, merasa belum tuntas, ia melanjutkan lagi ucapannya tanpa memperdulikan Adya yang sudah lelah mendengarkannya yang malah berbicara ke mana-mana. "Tapi ngomong-ngomong soal jodoh itu saling melengkapi, gue juga jadi inget kata-kata kalo jodoh itu cerminan diri. 'Kan kalo cerminan diri, otomatis si jodoh itu sama kayak kita. Bertolak belakang sama penjelasan kalo jodoh itu saling melengkapi. Gue jadi bingung. Lo bisa kasih penjelasan, Dya? Lo 'kan pinter."

INSECURE [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang