26. Areta Pergi Bekerja di Luar Kota

29 5 0
                                    

Sudah dua tahun Prakoso koma. Selama itu juga Areta masih setia menunggu Prakoso sadar.

"Ibu, uang sekolah aku sama Una belum dibayar, ya? Bu Nadine udah nanyain," ujar Siti pelan.

Siti tahu Areta juga sedang mengirit. Melihat kondisi Prakoso yang masih koma di rumah sakit dengan biayanya yang tak cukup murah itu, ditambah tidak adanya penghasilan dan hanya mengandalkan tabungan Prakoso membuat Areta frustasi. Namun, mau tak mau Siti harus bicara ini pada Areta karena ia diancam guru galak itu.

Siti teringat ucapan Bu Nadine.

Saat itu ….

"Kamu sama Una udah nunggak dua bulan uang SPP sekolah. Kalau kalian akhir bulan enggak bayar, Una akan saya skors. Kamu akan Ibu pindahkan kelasnya dengan Imam dan duduk dengan Imam di depan juga harus merubah Imam menjadi lebih baik."

Siti mengernyit bingung. "Apa hubungannya dengan Imam, Bu?"

"Dia kadang enggak perhatiin Ibu saat Ibu menjelaskan materi. Siapa tahu kalau di sebelahnya ada kamu dia akan fokus memperhatikan materi."

Siti menggelengkan kepala mengingat itu.

"Sit, apa Ibu cari kerja di luar kota aja, ya? Supaya bisa ngehidupin kalian juga."

Siti tidak setuju. "Jangan Bu, nanti kalau kita semua kangen sama Ibu gimana?"

Areta menunduk, ia juga bingung harus berbuat apa.

***
Siti berjalan gontai menelusuri lorong perpustakaan. Ia mengambil satu buku novel yang menarik perhatiannya, novel itu berjudul Ayah Koma, Ibu Tak Lagi Sama.

Siti tiba-tiba teringat Prakoso yang koma dan Areta yang memilih bekerja di luar kota kemarin. "Apa Ibu bakal kayak gitu juga?"

"Enggak-enggak. Ibu enggak akan kayak gitu," lanjut Siti pada dirinya sendiri.

Siti membuka halaman per halaman hingga ia tak sengaja membuka dan membaca satu halaman yang membuatnya kaget sekaligus takut.

Halaman itu berisi dialog saat sang Ibu mengatakan ia hamil dengan pria lain di luar kota. Lebih parahnya, ia mengatakan itu pada suaminya yang baru saja bangun dari koma.

Siti jadi khawatir Areta akan seperti itu. Siti takut, apa yang ada di novel ini juga terjadi di dunia nyatanya. Siti berusaha menghilangkan pikiran negatif dalam dirinya. "Gak, novel ini hanya fiksi. Enggak akan terjadi di dunia nyata, apalagi di kehidupanku."

Perasaan Siti tetap gelisah, Siti memutuskan mengambil ponsel dan berjalan keluar perpustakaan berniat menelepon Areta. Namun, ia malah menabrak seseorang yang tengah membawa setumpuk buku. Membuat buku-buku tersebut jatuh berserakan.

"Eh, maaf-maaf." Siti tidak melihat sosok yang ia tabrak. Ia langsung mengambil buku-buku itu, namun satu tangannya dicekal.

Orang yang ditabrak Siti tersenyum miring melihatnya, ada satu ide yang terlintas di pikirannya. "Lo kalau jalan pake mata dong. Seenaknya banget, sih!"

Siti mengenali suara itu. Siti melepaskan cekalannya pelan dan mendongak. "Maaf, Mam. Gue buru-buru."

Setelah mengambil semua buku-buku yang jatuh, Siti lantas pergi keluar perpustakaan. Imam sedikit berteriak, "Woi, tanggung akibatnya nanti!"

"Jangan teriak-teriak, Aa! Ini perpustakaan bukan pasar," tegur petugas yang menjaga di perpustakaan.

Siti sempat mendengar itu saat ia ada di ambang pintu. Siti terkekeh kecil. Ia memainkan jemarinya di atas ponsel, mencari nomor Areta dan meneleponnya. Dalam waktu lima detik, telepon itu sudah tersambung.

"Halo, Bu?"

"Iya, ada apa, Sit? Ibu lagi di kantor nih."

"Ibu hati-hati, ya. Jangan–di sana jaga diri baik-baik, Bu. Aku khawatir sama ibu."

"Iya, Nak. Kamu juga jaga diri baik-baik di sana, bilangin Rizka sama Una juga. Jangan khawatirin Ibu, Ibu di sini pasti baik-baik aja. Tunggu Ibu udah punya banyak simpanan uang, ya. Supaya Ibu enggak perlu kerja lagi dan bisa sama kalian terus. Jangan lupa terus kabarin tentang perkembangan Ayah kalian, jangan lupa juga terus doain Ayah kalian."

Siti menahan air mata yang sudah ada di pelupuk matanya. "I–iya, Bu. Aku sayang Ibu. Jaga kesehatan di sana ya, Bu."

"Ibu juga sayang banget sama kalian semua. Kalian juga jaga kesehatan, ya. Ibu matikan dulu teleponnya." Terdengar lirihan dari seberang sebelum akhirnya sambungan telepon terputus.

Siti kembali berjalan menuju perpustakaan, tiba-tiba ia teringat ucapan Imam yang mengatakan Siti akan tanggung akibatnya nanti. Siti pun berbalik menuju kantin.

Kala ia berjalan, Siti melihat Risqi dan seorang pria yang tidak dikenalnya. Kelihatannya mereka sangat akrab. Siti pun memanggil, "Risqi! Siapa tuh? Udah punya doi ceritanya, nih?"

Risqi menoleh dan menggelengkan keras kepalanya, sedangkan orang yang di sebelahnya malah mengangguk. "Semenjak enggak sengaja nabrak orang yang salah kamar mandi ini jadi ketemu orang yang sama mulu. Diminta tugas barenglah, diminta tanyain ini-itu barenglah. Bahkan, ya, aku sama cowok aneh ini mau dicalonin jadi pengganti OSIS dan wakil ketua OSIS coba. Padahal Ketos kita juga enggak ngelakuin yang aneh-aneh."

Cowok yang dibilang aneh itu pun tersenyum tipis. "Jodoh kali. Eh? Ogah jodoh sama orang yang bikin gue malu."

Risqi mendorong bahu cowok itu kasar. "Lo pikir gue mau?"

"O-g-a-h," lanjut Risqi mengeja kata ogah.

Siti bertanya, "Siapa namanya, Qi?"

"Cowok aneh!" celetuk Risqi cepat.

Cowok itu tertawa kecil. "Itu panggilan sayang dia buat gue. Nama asli gue Hidayat."

"Oh Hida–"

"Namanya emang cocok. Namanya Hidayat, cocok buat dikasih hidayah biar lebih benar!"

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang