setitik prahara

336 53 2
                                    

~(Thomas juga ingin menjadi berarti; memberi dukungan atau pertolongan apapun yang Newt butuhkan saat ini. Bukankah dia adalah orang terdekatnya? Dan Newt percaya padanya?)~

.

.

.

"Ada masalah apa, Thomas?" Minho bertanya, tetapi hanya keheningan yang menjawabanya.

Thomas agak merasa bersalah. Ia tidak bisa memberi jawaban pasti pada sahabatnya itu meskipun bisa menangkap rasa khawatir dalam nada suaranya.

Thomas sangat gelisah ketika ia menggeser punggungnya di bangku. Ini tempat yang cukup keras untuk berbaring. Benar-benar tidak nyaman. Sial. Tetapi ia tak punya pilihan lain.

Masih terekam jelas saat lima belas menit lalu ia merasa seolah ditusuk belati tepat di jantungnya ketika Newt memandangnya dengan tatapan marah.

"Pergi jauh-jauh dariku, Thomas." Suara Newt terdengar kasar dan tajam, dan ada sesuatu yang ganjil dari cara Newt memalingkan wajah dan menghindari kontak mata.

"Thomas? Kau mendengarku?"

Thomas mengerjapkan mata ketika suara Minho menariknya dari lamunan.

Di tempat tidur yang berjarak tiga langkah dari bangku, Minho berbaring menghadap ke arahnya. Jelas sahabatnya itu tengah mengerahkan usaha terbaik untuk membantunya.

Ia mengingat-ingat bagaimana akhirnya bisa mencapai ke sini. Wajahnya pasti sangat kacau saat lima menit lalu ia tersaruk di depan pintu rumah Minho.

"Ya, Min. Terima kasih. Aku tidak apa-apa."

Beruntung Minho dengan senang hati membukakan pintu dan merentangkan tangan untuknya.

Thomas menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Berusaha memasang senyum (terpaksa) untuk meyakinkan Minho.

"Jangan berbohong, Thomas."

Untuk sesaat, Thomas terpana. Itu kalimat yang sama milik Newt sebelumnya di suatu dimensi waktu yang lain. Kenapa Minho━

"Maksudku, kau ini sungguh payah, Thomas. Kau tidak perlu membohongi perasaanmu di depan sahabatmu."

Ketika akhirnya Thomas menyadari bahwa kemiripan kalimat itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Itu hanya kata-kata spontan yang Minho lemparkan untuk menanggapi keadaannya.

"Maaf, Sobat. Tapi aku memang sangat kacau."

"Nah, ceritakan padaku; apapun itu masalah kalian berdua. Karena sudah terlanjur di sini, secara tidak langsung kau melibatkanku, Thomas."

Minho menjeda sejenak, mempertimbangkan apakah ia perlu menawarkan bantuan lain.

"Atau kau ingin berganti tempat? Kau tidur di sini biar aku yang tidur di bangku━"

Thomas menggeleng cepat. "Tidak. Tidak perlu. Di sini sudah cukup, Minho."

Minho menaikkan alis. "Baik."

Lalu hening selama beberapa menit sebelum Minho bertanya dengan hati-hati. Ia menampakkan rasa simpatik-nya. "Apakah aku benar-benar menyaksikan kalian bertengkar untuk kali pertama?"

Thomas jelas benci ditatap dengan cara mengasihani seperti itu, bahkan oleh sahabatnya sendiri. Kemudian ia ingat, Minho pernah menatapnya dengan segenap perendahan yang jauh lebih buruk━kali pertama persinggungan mereka di labirin saat Thomas meluncur seperti katak yang masuk dalam jebakan bunuh diri.

"Ya. Aku diusir karena kami bertengkar. Sesuatu semacam itu." Thomas menarik napas tak berdaya.

"Kenapa?" Minho bertanya.

Kemudian Thomas mulai bercerita.

Ia ingat tatapan gelap Newt yang membuatnya takut. Itu mengingatkannya pada ... suatu malam dari masa berjuta tahun lalu di Kota Terakhir. Ia bergidik membayangkan urat-urat gelap, darah hitam kotor, dan mata yang buas. Semua ketakutannya yang nyaris merenggut Newt darinya.

Thomas sudah mencoba untuk menenangkannya; meminta Newt agar membicarakan masalahnya━komunikasi dua arah seperti yang sering mereka lakukan bersama. Alih-alih Newt malah bersikukuh dengan pendirian bahwa malam ini Thomas boleh tidur dimanapun kecuali di rumah.

"Maaf, Min. Sudah mengusik waktu tidurmu." Thomas menutup ceritanya dengan putus asa.

"Bukan masalah, Sobat." Tatapan prihatin Minho tidak terlepas. "Ambil waktumu di sini."

"Aku takut, Min." Thomas benar-benar butuh bantuan. "Aku takut dia membenciku atau bosan padaku."

Minho menggeleng. "Aku tak yakin, seseorang yang tampak memujamu setiap waktu akan bisa membencimu secepat itu, dan tanpa alasan yang kuat?"

"Apa? Apakah aku dan Newt terlihat seperti itu?"

"Kalian berdua bajingan seperti lem yang terus menempel dan tak terpisahkan setiap waktu, kau tahu?"

Thomas mengusap dahi dan mengacak rambutnya secara kasar. Frustrasi. "Lalu, mengapa sekarang dia ingin aku menjauh darinya? Aku tidak mengerti, Minho."

"Asumsi terbaikku adalah, dia hanya butuh waktu untuk dirinya sendiri. Mungkin ada sesuatu yang tak bisa dia bicarakan denganmu. Yakinlah, dia tidak akan membencimu."

"Tapi, kenapa dia tidak mau membicarakannya denganku? Kita selalu berhasil bicara sebelum ini?"

Thomas ingat, Newt selalu mau bicara, seperti pada sore berhujan di suatu kesempatan saat Thomas memergokinya termenung sedih dan tenggelam. Dan Newt selalu ada untuknya, mendukung dan membesarkan hatinya, seperti ketika Thomas nyaris putus asa menangani proyek pengadaan kamera sebelumnya. Jadi, Thomas juga ingin menjadi berarti; memberi dukungan atau pertolongan apapun yang Newt butuhkan saat ini. Bukankah dia adalah orang terdekatnya? Dan Newt percaya padanya?

Minho tampaknya ingin membuat Thomas memahami dengan cara lain. Dan bahwa kedekatan mereka adakalanya terhalang oleh sekat-sekat yang sangat rumit.

"Benar, Thomas. Apa kau mengira setelah semua berjalan sempurna, lalu segalanya akan mengikuti kehendakmu terus menerus? Kau sudah tahu jawabannya, bukan?"

Tentu, Minho jauh lebih mengerti sebab dia sudah mengenal Newt lebih lama bukan?

Tiba-tiba Thomas merasa iri. Ia menarik napas entah untuk kali keberapa. Ia benar-benar benci ini; perasaan tersingkir, dicampakkan, dan tidak berguna seperti sampah.

Ketika akhirnya Minho menutup petuahnya malam itu dengan kalimat penghibur, "Kalian akan baik-baik saja. Selama kau yakin itu bisa."

"Semoga saja begitu, Min."

"Baik. Sekarang, tidurlah. Masih ada waktu besok untuk menyelamatkan bahtera kalian."

Thomas diam-diam mengalihkan pikiran ketika hatinya dipenuhi oleh rasa terima kasih yang teramat dalam pada Minho. Melihat sahabatnya itu dalam kondisi terbaiknya; bugar, bahagia dan baik-baik saja. Ia diingatkan pada malam saat mereka terjebak di labirin. Momen yang kemudian mengikat mereka berdua dalam jalinan persahabatan seumur hidup. Ia menemukan teman terbaiknya di bawah ancaman yang merenggut nyawa. Mungkin itu seperti konsep keseimbangan yang dibawa oleh peristiwa-peristiwa buruk; ganjaran baik sebagai akibatnya.

Jadi ketika kemudian Thomas memejamkan mata━berusaha tidur seraya menguburkan rasa gelisahnya jauh ke dalam mimpi━ia bertanya-tanya dengan perasaan ngeri; apakah akhirnya, kita harus menerima kenyataan bahwa terkadang kita bisa tak berdaya? Tidak mampu mengulurkan bantuan pada orang yang kita sayangi bahkan di saat yang paling dia butuhkan?

Thomas hanya bisa berharap━karena hanya itu yang dia miliki. Harapan bahwa badai prahara yang mengancam bahtera rumah tangga mereka akan segera lenyap dan berlalu.

Semua Bintang di Langitmu | NewtmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang