Chapter 18

4.4K 323 21
                                    

"Lo ngomong apa sih, Zev?" Kiran balik bertanya.

Zeva menyambar ikat rambut dengan pita norak berwarna ungu itu. "Jangan pura-pura bego, Ran. Gue pernah lihat lo pulang berdua sama Pak Gibran. Waktu itu, lo pakai ikat rambut ini." Zeva tertawa getir. Ia tak menyangka dirinya dikhianati untuk kedua kalinya oleh sahabatnya sendiri.

"Please, Zev. Jangan mikir yang enggak-enggak. Ikat rambut kayak gitu banyak jualannya di pasar." Potong Kiran. Karena sudah bersahabat sejak kelas sepuluh, Zeva sudah hafal gerak-gerik Kiran saat sedang berbohong. Kiran akan memainkan jempolnya. Sialnya, sekarang Kiran memainkan jempol kirinya.

Kejadian satu setengah tahun yang lalu membuat Zeva berjanji dengan dirinya sendiri tidak akan marah pada sahabatnya hanya karena seorang cowok. Tapi, ini Gibran. Gibran berbeda dari semua cowok yang pernah Zeva temui. Zeva benar-benar menyukainya.

Masa bodoh dengan janji itu. Tanpa pikir panjang, Zeva menjambak rambut Kiran. "Berani-beraninya lo ngerebut calon pacar sahabat sendiri! Gue bakal bikin lo botak!" marah Zeva.

Kiran berusaha melepaskan diri dari jambakan Zeva. "Maaf, Zev...." mendengar Kiran meminta maaf, Zeva malah makin marah. "Gue memang pernah pulang sama Pak Gibran tapi cuma sekali."

"APA? JADI LO NGAKU PERNAH PULANG BERDUA SAMA PAK GIBRAN?!" teriak Zeva. Ia makin menjadi-jadi menjambak rambut Kiran.

"Iya, tapi lo harus dengar dulu penjelasannya." Kiran berusaha mengajak Zeva bicara baik-baik. Tapi, sepertinya tidak bisa. Zeva sudah terlanjur marah.

Saat rambut Kiran sudah banyak yang rontok, pintu kamar dibuka oleh seseorang. "Ada apa ini ribut-ribut?!"

Zeva langsung melepas jambakannya. Ia tak takut jika yang datang adalah orang tuanya Kiran. Tapi, orang yang datang benar-benar di luar dugaan. "Pak Gibran? Kenapa Bapak ada di sini?" tanya Zeva kaget.

Melihat orang yang membuat keributan di rumahnya sama dengan yang membuat keributan di sekolah, Gibran langsung emosi. "Harusnya saya yang tanya begitu!"

Zeva yang masih belum mengerti situasi malah berbalik marah. "Bapak lebih milih cewek tepos ini dibanding saya?" ia menunjuk Kiran. Tadi pagi Rachel, sekarang Kiran. Ada berapa orang sih yang dekat sama guru killer ini?

"Selain killer, Bapak juga guru mesum!" Zeva menuduh sembarangan. "Besok saya laporin ke Pak Aris," ancam Zeva.

"Kenapa lagi?!" bentak Gibran. Ia frustasi menghadapi muridnya yang satu ini.

"Bapak nempel-nempel ke murid perempuan, Rachel sama Kiran. Mungkin saja masih ada yang lain." Tuduh Zeva. Ia sangat marah dan kecewa dengan Gibran. Ia tak peduli dengan fakta kalau Gibran itu guru paling killer di sekolah.

"Kamu kira saya lem?!" Gibran terlihat sangat marah. "Rachel, ya? Dia mau ikut olimpiade ekonomi makanya sering tanya-tanya ke saya. Kalau Kiran, memang dekat. Apa saya salah dekat dengan adik kandung sendiri?"

"A...apa? Adik kandung?" kata Zeva terbata-bata. Gibran dan Kiran. Kalau dilihat-lihat, mereka berdua memang mirip. Tampan dan cantik. Sama-sama tinggi, berkulit putih, dan berhidung mancung. Tapi ... "Ran, bukannya kakak lo itu cewek? Gue kan pernah lihat foto masa kecil kakak lo. Dia pakai baju warna pink, bando, terus rambutnya sebahu."

"Nyokap gue dulu pengen anak perempuan, tahu-tahu yang lahir cowok." Bisik Kiran. "Untung aja lima tahun kemudian gue lahir."

"Itu saya!" Celetuk Gibran. Mungkin karena malu, ia segera keluar dari kamar Kiran setelah memperingatkan Zeva, "Jangan jambak-jambak adik saya lagi dan .... jangan bilang dia tepos!"

***

Dengan telaten, Zeva membersihkan kaki Kiran ala-ala pedicure di salon. "Sesudah ini, pijatin kaki gue ya." Perintah Kiran.

"Iya, iya." Zeva mendengus kesal. Kiran benar-benar memanfaatkannya.

"Lo nggak ikhlas? Gue bisa aja nih berubah pikiran, nggak jadi maafin lo. Kalau lo bisa ngembaliin rambut gue yang rontok tadi..."

"Baik, Nona Kiran." Kata Zeva sambil memaksakan senyumnya.

"Kalau lo pijatin kaki gue tiap hari, mungkin gue pertimbangin ngerekomendasiin lo sebagai calon menantu ke orang tua gue." Tutur Kiran.

"Masih 'mungkin dipertimbangin' bukan langsung direkomendasiin?" Zeva memasang ekspresi horor. "Lagian, orang tua lo nyari calon menantu apa tukang pijat sih?" sindir Zeva.

Kiran nyengir. "Bagus dong kakak gue nanti punya istri yang pinter pijatin,"

"Alasan aja lo. Lo nggak tahu gojek punya yang namanya go-massage?" kata Zeva kesal. Kenapa gue jadi promosiin gojek ya? Pikir Zeva.

"Tahu lah, tapi lo mau Pak Gibran dipijatin cewek lain?" goda Kiran.

"Lo kira gue bego? Terapisnya kan bisa dipilih cewek apa cowok." Zeva berdecak kesal "Lo nggak usah pura-pura panggil 'Pak'. Biasanya juga panggil Kakak." Omel Zeva.

"Kak Gibran marah kalau gue nggak panggil dia Pak Guru di sekolah," ujar Kiran sambil tertawa geli.

Tiba-tiba Zeva berhenti memijat kaki Kiran. Ia baru terpikirkan sesuatu. "Kenapa lo nyembunyiin kalau Pak Gibran itu kakak lo?" tanya Zeva penuh selidik.

"Jadi nggak asyik dong taruhan kita," jawab Kiran cepat.

"Sejak awal, kenapa lo ngusulin Pak Gibran jadi taruhan kita selanjutnya?" tanya Zeva lagi.

"Kakak gue tuh nggak pernah mau dekat sama cewek, apalagi pacaran. Gue sama nyokap sampai khawatir dia nggak straight. Makanya, gue mau bikin lo ngejar-ngejar Kak Gibran. Caranya, gue bikin taruhan itu. Nggak nyangka lo jadi beneran suka sama Kak Gibran." Jelas Kiran panjang lebar.

Zeva menepuk dahinya sendiri. "Dengan kata lain, lo jadiin gue 'kelinci percobaan'?"

"Ya, gitu lah."

Zeva kembali menjambak rambut Kiran. "Aaaa! Stop, Zev! Maafin gue!" teriak Kiran.

"Gue maafin kalau lo bantuin gue dapetin Pak Gibran," Zeva mengajak Kiran bersekutu.

"Iya, serah lo dah!"

***


Fiuh.... nggak kerasa bentar lagi chapter 20.

Aku mau nanya nih. Kalian seneng cerita romance yang gimana sih?

Aku sendiri suka cerita romance yang ada fantasy nya dikit dan karakter ceweknya harus strong💪💪💪

Dark Secret [Akan Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang