Ruang

218 18 4
                                    







Senja, 01 Desember 2018.


Deru ombak menyeruak menyentuh kakiku, menempel malu malu pada ujung jari. Dipadu sinar jingga yang nampak berani menampakan keindahannya menyaingi seru pantai di sore hari.

Aku menunduk, melihat tangan kekar yang masih menjeratku dalam pelukan. Tangan yang selama ini ku genggam, berjalan beriringan menapaki jalan jalan kehidupan. Tangan yang selama ini selalu memeluku, menghapus tangisku, mengusap lembut kepalaku. Aku mengelus lembut tangan itu, kemudian menolehkan wajahku kesamping. Melihat si pemilik tangan yang sedang nyaman menikmati senja dibahuku.

"Jiminie."

"Hmm."

"Kamu tahu apa persamaan kamu dengan senja?"

Aku menaikan satu alisku. Senja?

Aku menggeleng menjawab pertanyaannya.

"Kamu dan senja sama sama indah, selalu berhasil menyedot perhatian massa, membawa ketenangan dan senyuman. Kamu dan senja adalah puisi yang tak akan habis untuk dipuisikan"

Aku sedikit memerah mendengar perkataannya. Selalu seperti ini, tingkah mengejutkannya selalu membuatku berdebar, membawa pipiku merona merah karena salah tingkah.

"Hyung, jika diberi pilihan kau akan memilih senja atau aku?"

Dia menoleh padaku, menatap wajahku dari samping kemudian tersenyum kecil.

"Aku tidak bisa memilih, kalian sama-sama hal terindah di dunia ini." walaupun aku merona, tetap saja kesal karena kukira dia akan memilihku.

"Aku lebih indah dari senjamu hyung, harusnya kau memilihku!"

"Ya, kau memang lebih indah dari senjaku Jiminie, puas?"

Dia mengeratkan pelukannya pada perutku. Semakin membuatku tenggelam dalam hangatnya rasa, disaksikan oleh jingganya senja dan deru ombak pantai. Kami menabur bahagia disore itu, saling mendekap membagi hangat, menyesap rasa satu sama lain, mengalirkan tahta cinta dalam keindahan dunia dan membagi tawa pada angin yang menyaksikan kita.

Hujan, 29 November 2019.


Hujan di penghujung bulan menciptakan riuh ramai di malam hari. Bunyi rintikan yang menggema digelapnya malam seolah menjadi alunan indah penghantar mimpi.

Aku berdiri ditepian jendela, melihat embun hujan yang menempeli kaca. Langit gelap menjadi warna rindu yang menyejukan, namun juga pilu.

Aku sedikit tersentak ketika merasakan ada tangan yang merayap di perutku. Dia mendekapku erat, sembari ikut menonton hujan di balik kaca jendela.

"Kamu tahu apa hal romantis dari hujan?" tanyanya, memecah keheningan di atas ramainya rintik hujan.

"Tidak, memangnya apa?" aku menggelengkan kepalaku tidak tahu, memangnya apa yang romantis dari hujan.

"Dia selalu mau kembali meski tahu rasanya jatuh berkali kali. Hujan itu selalu dirindukan, tapi tak diharapkan terlalu lama keberadaannya. Tak ada murka, dia bahkan tak pernah bosan tuk kembali meski tahu sakitnya jatuh berkali kali." 

Dia menjatuhkan kepalanya pada bahuku, matanya masih menerawang pada hujan deras di depan sana.

"Kenapa terdengar menyedihkan hyung?"

"Kenapa kau menangkapnya secara menyedihkan, Jiminie?"

Bukannya menjawab dia malah balik bertanya padaku.

Senja,hujan dan kamu [Yoonmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang