Aku terdiam menahan rasa yang tak biasa. Rasanya tak bisa dijabarkan, antara bahagia, terharu dan malu.
Jujur, tak aku tidak pernah punya pengalaman berinteraksi lebih dengan lawan jenis. Bahkan berpacaran saja aku tidak pernah. Mas Reo adalah laki-laki pertama yang menjamahku setelah menghalalkan.
Kuremas seprai dan mengigit bibir bawah agar tidak bersuara. Antara rasa syukur dan haru, bahkan butir bening meleleh di pipi ini. Walau malu, kuberanikan untuk menatap wajah lelaki yang telah menghalalkan diri ini.
“Terimakasih, Mas,” ucapku lirih.
Namun sayang mengapa Mas Reo tidak menjawab ucapanku, dia justru terburu-buru memakai bajunya yang berserakan di lantai.
Apakah Mas Reo marah? Atau tidak puas dengan pelayananku? Maaf diri ini memang belum berpengalaman, namun setidaknya sudah menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Mahkota kesucian ini utuh kupersembahkan untuk suami tercinta.
Rasanya ada yang teremas di dalam dada. Sedih tak terkira. Lebih pedih daripada pertempuran sakral 30 menit yang lalu.
Bahkan kini tatapan wajah Mas Reo berubah. Dia tak lagi menatapku dengan mesra. Tatapan matanya berkilat penuh amarah dan kebencian. Ada apa sebenarnya?
Usai berpakaian lengkap Mas Reo bahkan masih mematung di tepi ranjang pengantin, tak ada tanda-tanda ingin memeluk dan tidur di sampingku.
“Ada apa, Mas?”
“Berhenti bersikap baik padaku. Aku muak. Mulai malam ini, kau, Farah Maharani binti Bambang Raharjo, aku jatuhkan talak,” ucap Mas Reo dingin dan penuh kemantapan.
Deg!
Aku terkejut bagai disambar petir dimalam hari badan ini mendadak menggigil, lemah terkulai. Bahkan untuk sekedar bersandar di sandaran ranjang pun rasanya tidak mampu.
Sungguh, bencana apa ini Tuhan? Kami baru saja menikmati indahnya malam pengantin. Bahkan bercak merah di seprai ini pun belum dibersihkan, namun kata-kata Mas Reo barusan seolah mencekikku. Tenggorokan ini terasa kering, lemah kehilangan daya, bernafas pun terasa sesak. Tuhan… tidak salahkah apa yang barusan kudengar?
Susah payah aku berusaha untuk duduk dan meraih tangannya, namun menyakitkan sekali karena tangan ini ditepisnya.
“Katakan, Mas, apa salahku?”
Mas Reo pun berbalik arah, menatap wajahku dengan tatapan menghujam. Sungguh kacau keadaanku, terisak-isak dengan rambut yang awut-awutan.
“Kau mau tahu?” jawab Mas Reo sinis dengan senyum menyeringai sangat menakutkan.
“Katakan, Mas, apa salahku?” ucapku nyaris menggumam menahan tangisan.
Mas Reo meremas kasar rambutnya, dia terlihat frustasi dan tak kalah kacaunya denganku.
“Baiklah kalau kau mau tahu. Kau dan ibu mu adalah kesalahan terbesar. Bahkan menghancurkan kalian berdua adalah tujuanku selama ini. Kau puas sekarang?”
“Mengapa kamu begitu tega, Mas. Aku sangat mencintaimu,” ucapku terbata-bata.
Sakit. Sangat sakit rasanya, ketika sebuah impian indah rusak dalam seketika. Aku begitu mencintai Mas Reo Abiguna, tetapi mengapa begini balasannya.
Bukankah dia yang lebih dahulu mengejar cintaku? Bahkan hari-hari indah sudah kami lewati bersama, mekipun bukan berpacaran seperti remaja-remaja pada umumnya.
Isak tangisku semakin menjadi, tak perduli apakah rintihan pilu ini akan membangunkan ibu dari istirahatnya. Aku tergugu di tepi ranjang tak mampu berkata-kata lagi.
Nanar kusaksikan Mas Reo bergegas menyambar kunci mobilnya di atas nakas. Lelaki gagah itu pun berlalu pergi dari kamar pengantin kami. Teganya kau, Mas!
Entah berapa lama air mata ini terus saja mengalir. Pilu rasanya. Bukan hanya fisikku yang sakit, hati inilah yang lebih sakit. Aku tergugu sendiri meratapi nasib. Entahlah apa maksud perkataan Mas Reo tadi. Apa salah kami salah padanya? Lalu mengapa harus aku yang mendapat balasannya? Berarti selama 3 bulan terakhir ini, kata-kata romantisnya hanyalah bualan semata. Tuhan... mengapa malang nian nasibku!
Lelah. Aku sangat lelah. Jiwa raga ini rasanya mati rasa. Ingin tumbang saja, tak mampu menatap dunia. Bagaimana esok tetangga akan bertanya tentang statusku? Aku sudah menjadi janda dalam 1 hari perkawinan. Aku malu. Sangat malu rasanya.
Apa yang harus kusampaikan kepada ibu tentang Mas Reo yang sudah menjatuhkan talak. Lalu bagaimana andai benih Mas Reo tumbuh di rahimku? Lelaki itu sudah merengut kesucianku dengan gagahnya tanpa pengaman. Bagaimana ini, Tuhan?
Usai letih meratapi kemalangan diri, meskipun berjalan dengan tertatih aku beranjak ke kamar mandi. Membersihkan diri dari hadast besar kemudian dilanjutkan dengan mengambil wudhu. Aku ingin mencurahkan semuanya kepada Allah Swt, karena hanya Dia tempat satu-satunya meminta.
Lekas kubentangkan sejadah panjang dan memakai mukena. Dengan dada berguncang aku memohon kepada sang pemilik hidup.
Air mata kembali menetes tanpa bisa kucegah. Aku tersedu, merintih menahan sakit. Mengapa rasanya sesakit ini? Berulang kali kusebut nama Mas Reo dalam doa, memohon kelembutan hati laki-laki itu. Meskipun beberapa saat lalu kata talaknya telah melerai tali pernikahan kami, salahkah andai masih berharap semuanya dapat diperbaiki.
Apakah salah jika aku masih berharap ada sebuah keajaiban? Masih berharap Mas Reo merujukku kembali. Tidak bolehkah aku berharap rumah tangga yang baru 1 hari ini dapat disatukan kenbali. Ya Allah… bantu hamba yang rapuh ini.
Mas Reo kembalilah, rintih hati ini saat bermunajat. Hingga letih dan rasa pusing akibat kurang istirahat malam ini semakin terasa. Aku tersungkur, tumbang dalam balutan mukenah.
.
.
.
Next?
Penasaran dan ingin lebih cepat membaca kisah Farah dan Reo, yuk ke KBM app, klik nama Eni Murdayani atau cerbung Talak Suamiku, di sana sudah sampai part 11. Happy reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Talak Suamiku
RomanceFarah Maharani, gadis malang yang harus menerima talak dari suaminya, Reo Adiguna disaat malam pertama mereka. Apa yang membuat Reo menjatuhkan talak pada Farah?