Pening, pusing, mengantuk, lemas, lelah.
Apalagi yang harus Dinda sebutkan?
Seharusnya ia sudah terbiasa. Mengingat sekarang ia sudah di tingkat tiga.
Sayangnya, Dinda tetap mengalami mental breakdown di momen-momen tertentu.
Tak memiliki semangat ataupun tenaga untuk melakukan apapun. Bahkan makan pun harus dipaksa.
Untunglah, sekarang ia sudah tidak menyandang status jomblo.
Jadi, jika begini, Johnny biasanya akan duduk manis di kantin Psikologi. Mengundang jerit dan pekik tertahan karena visualnya.
"Sayang!"
Dinda menoleh. Berlari kecil menghampiri Johnny di sana dan Johnny terkekeh karenanya.
"Jangan lari-lari."
"Aku nggak lari, kok."
"Terus?"
"Cuma setengah?"
"Setengah apa?"
"Setengah lari...hehe."
Johnny mengusap gemas rambut sang kekasih. Hitung-hitung sebagai dosis kecil penyemangat bagi Dinda.
"Makan," sepiring nasi uduk disodorkan, "Kata Papa tadi pagi kamu nggak sarapan."
Johnny tidak tahu bahwa panggilannya pada Teguh tadi sukses memerahkan pipi Dinda. Perempuan itu menunduk malu.
Padahal ia sudah berkali-kali mendengar Johnny memanggil Teguh dengan sebutan 'Papa'.
Tapi tetap saja. Jantungnya berdebar aneh.
"Skripsi kamu gimana?"
"Proses. Nanti mau ketemu dosbing sih."
"Bukannya waktu itu udah? Bab yang sama?."
"Iya. Biasalah, ada koreksian. Tapi nggak banyak, jadi bisa lah nemenin kamu dulu."
Dinda mengangguk paham. Menyantap makanannya dalam diam. Paham betul bahwa Johnny tidak suka berbicara saat makan.
Johnny ikut menyeruput es teh manisnya. Tampak kesulitan karena rambutnya.
Srak
Pria itu mematung.
Lengan Dinda melingkari lehernya. Membuat harum parfum perempuan itu tercium lebih jelas.
Ia hanya bisa diam selagi Dinda mengikat rambutnya dengan telaten.
"Rambutmu udah panjang banget sekarang."
"Iya. Mama kemaren protes jadi serem katanya."
"Dikuncir aja, sih, Yang. Kalo gondrong gini ya serem juga."
"Nggak bisa nguncir sendiri."
"Kalo mau ngampus ke rumahku dulu berarti. Nanti aku kuncirin."
"Kamu gapapa rambut aku panjang gini?"
Dinda duduk kembali, "Gapapa. Emang kenapa? Tambah ganteng kok."
"Nggak cemburu kalo ada yang liatin aku?"
"Fungsi mata kan emang buat liat," pipi Johnny ditepuk pelan, "Lagian buat apa cemburu? Kamu kan punyaku."
Mampus.
Ini, sih. Jantung Dinda iya tenang. Jantung Johnny yang jadi tidak tenang.
"Sayang."
"Hmm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kita!
FanfictionHanya keseharian Bapak Teguh dan ketiga anak gadisnya ■lokal■ ■nct x tbz■ ■genderswitch■ ■kapal lintas alam■ ■kapal hantu■ ■probably kinda short chapters?■