"Kita tidak pernah tau seperti apa orang menjalani hidup. Dan dengan seenaknya kita memberi label negatif pada seseorang. Padahal kita tidak benar-benar tahu."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
. . . ✨ . . .
Setelah selesai memuntahkan isi perut, Jundi bernapas lega. Kedua temannya masih membatu Jundi berjalan. Karena keadaan jundi belum stabil.
"Kalau tau seperti ini, tadi tidak usah naik kora-kora." Pak Yan menengok sebentar ke belakang. Dia berjalan mendahului ketiga pemuda di belakangnya.
"Benar-benar merepotkan." Keluh Jidan.
"Sudahlah, Lagian tadi Jundi berhasil bicara lagi sama Naomi. Akhirnya ada perkembangan." Jay tersenyum sambil membetulkan posisi tangan Jundi di pundaknya.
Sementara itu Jundi hanya bisa terdiam dalam dunia yang terus berputar. Pemandangan di depannya tidak pernah diam, membuat kepalanya semakin pusing.
"Baiklah, bagaimana kalau kita makan dulu. Sepertinya kalian perlu mengisi perutnya lagi."
Jay dan Jidan sama-sama melirik Jundi yang lemas. Lalu mereka mengangguk, mengiyakan tawaran Pak Yan.
. . . ✨ . . .
"Aku pikir kita akan makan di tempat lain." Jidan menghembuskan napas panjang.
Sekarang mereka sedang duduk bersama di restoran ayam tempat mereka bekerja. Pak Yan memutuskan makan di sini setelah bingung mencari tempat makan yang enak.
"Memangnya kenapa? Di sini'kan juga enak." Bibi memberi jempol untuk Jay. Memang cuma Jay karyawan terbaiknya.
"Kita juga bisa makan gratis di sini." Lanjut Jay yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari bibi.
"Enak saja gratis. Kalian tetap harus membayar makanannya. Ini sup spesial yang aku buat. Menu ini tidak pernah aku jual di restoran ayam."
Jay dan Jidan melirik Pak Yan. Tadi yang mengajak makan adalah Pak Yan. Jadi mereka pikir pria tua itu yang akan membayarkannya.
"Apa heh!? Kalian'kan sudah bekerja. Bayar saja makanannya sendiri."
"Tapi kami masih pelajar, Pak."
"Benar, uang kita pas-pasan." Jay mendukung argumen Jidan.
"Ey ... ayolah. Tuan, kau orang dewasa yang mengajak kami makan. Lagian tadi Anda dulu yang menghampiriku." Jundi memanfatkan kedatangan Pak Yan.
Pak Yan hanya mendesis. "Anak zaman sekarang memang mengerikan. Ya sudah terserah kalian."
Ketiga pemuda yang telah menghabiskan sup mulai tersenyum licik satu sama lain. Tidak sia-sia Jundi bertemu pria tua ini.
Sementara itu Pak Yan mengeluarkan dompetnya untuk membayar sup, sebuah foto ukuran 4 x 6 cm menyembul dari dalam dompet. Gerakan tangan Pak Yan cepat saat mengambil uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterthought
Teen FictionDunia terlalu sempit untuk lari dari masalah. Daripada dihindari dan membuat lelah, lebih baik mengadapi apapun resikonya. Namun, tidak semua paham akan makna sebuah masalah. Seperti halnya kisah seorang Pemuda bernama Jundi- yang menyalahkan ayahny...